Jangan-jangan anak mereka dapat nilai merah lebih dari 3, lalu terancam tak naik kelas. Jelang terima rapor, suasana itu selalu terjadi, bahkan hingga Kurikulum 2013 diberlakukan.
Dalam balutan Kurikulum 2013, di rapor sudah tak tertulis lagi berapa peringkat siswa di kelas. Tapi, masih ada saja orangtua yang membandingkan nilai anaknya dengan anak lain. Bahkan tak segan-segan mencari tahu sebenarnya si anak mendapat peringkat berapa.
Dari situ, bisa dibayangkan betapa susah dan lamanya sistem pendidikan kita mengubah mindset sekaligus paradigma terhadap nilai, kan? Padahal setiap anak berbeda, tidak semua dari mereka bisa hebat di semua mata pelajaran.
Tapi sekarang, semenjak jargon Merdeka Belajar terus digencarkan ke seluruh penjuri Bumi Pertiwi, mindset tentang nilai tersebut sudah berubah, bahkan sudah sampai ke SD kecil tempat saya mengajar. Ini kabar baik, juga positif.
Syahdan, mindset tentang ujian yang juga berubah adalah, ujian tidak semengerikan dulu, seperti halnya ketakutan siswa tentang nilai rapor yang ditulis dengan pena tinta merah. Sekarang, malahan muncul sikap "merasa butuh" dengan ujian kompetensi seperti PAS dari siswa itu sendiri.
Barangkali sikap siswa yang "merasa butuh" dengan ujian juga ditebengi oleh kerinduan mereka untuk kembali bersekolah secara tatap muka kali ya?
Kalaupun iya, sebenarnya hal tersebut tetap merupakan kabar baik karena ada makna di sebalik kerinduan siswa. Yaitu, mindset belajar akan berubah ke arah yang positif ketika mereka bahagia.
Jadi, kegiatan pembelajaran ke depannya hanya perlu kita arahkan kepada pembelajaran yang membahagiakan siswa, kan? Malahan, kesimpulan dari tulisan ini jadi sangat sederhana sekali.
"Guru akan bisa melihat sendiri seperti apa kemerdekaan belajar ketika para siswanya berbahagia."
Salam.
Terima kasih telah membaca secarik tulisan sederhana ini :-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H