Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Secarik Kisah Tentang PAS dan Mindset Ujian yang Mulai Berubah

2 Desember 2020   18:11 Diperbarui: 2 Desember 2020   18:19 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kegiatan Penilaian Akhir Semester. Foto oleh Janoon028 by Freepik. 

Jangan-jangan anak mereka dapat nilai merah lebih dari 3, lalu terancam tak naik kelas. Jelang terima rapor, suasana itu selalu terjadi, bahkan hingga Kurikulum 2013 diberlakukan.

Dalam balutan Kurikulum 2013, di rapor sudah tak tertulis lagi berapa peringkat siswa di kelas. Tapi, masih ada saja orangtua yang membandingkan nilai anaknya dengan anak lain. Bahkan tak segan-segan mencari tahu sebenarnya si anak mendapat peringkat berapa.

Dari situ, bisa dibayangkan betapa susah dan lamanya sistem pendidikan kita mengubah mindset sekaligus paradigma terhadap nilai, kan? Padahal setiap anak berbeda, tidak semua dari mereka bisa hebat di semua mata pelajaran.

Tapi sekarang, semenjak jargon Merdeka Belajar terus digencarkan ke seluruh penjuri Bumi Pertiwi, mindset tentang nilai tersebut sudah berubah, bahkan sudah sampai ke SD kecil tempat saya mengajar. Ini kabar baik, juga positif.

Syahdan, mindset tentang ujian yang juga berubah adalah, ujian tidak semengerikan dulu, seperti halnya ketakutan siswa tentang nilai rapor yang ditulis dengan pena tinta merah. Sekarang, malahan muncul sikap "merasa butuh" dengan ujian kompetensi seperti PAS dari siswa itu sendiri.

Barangkali sikap siswa yang "merasa butuh" dengan ujian juga ditebengi oleh kerinduan mereka untuk kembali bersekolah secara tatap muka kali ya?

Kalaupun iya, sebenarnya hal tersebut tetap merupakan kabar baik karena ada makna di sebalik kerinduan siswa. Yaitu, mindset belajar akan berubah ke arah yang positif ketika mereka bahagia.

Jadi, kegiatan pembelajaran ke depannya hanya perlu kita arahkan kepada pembelajaran yang membahagiakan siswa, kan? Malahan, kesimpulan dari tulisan ini jadi sangat sederhana sekali.

"Guru akan bisa melihat sendiri seperti apa kemerdekaan belajar ketika para siswanya berbahagia."

Salam.
Terima kasih telah membaca secarik tulisan sederhana ini :-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun