Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pemerintah Jangan Galau, Guru dan Orangtua adalah Kurikulum yang Sesungguhnya

30 November 2020   20:43 Diperbarui: 30 November 2020   20:57 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kurikulum. Ilustrasi Oleh Media Indonesia/Duta

Dari bulan Agustus hinggalah hari ini, berarti tidak terasa oleh kita bahwa usia Kurikulum Darurat sudah memasuki 4 bulan. Secara teori, waktu 4 bulan mungkin sudah cukup bagi guru dan sekolah dalam meraba sedalam apa derajat fleksibilitas kurikulum demi memenuhi kebutuhan siswa.

Satu minggu pertama ialah masa sosialisasi sekaligus pendalaman implementasi kurikulum, minggu kedua bisa diuji coba, bahkan dalam rentang satu bulan sudah bisa dievaluasi oleh sekolah maupun disdik daerah terkait.

Tapi, kenyataannya, sebanyak apa sih sekolah yang menerapkan kurikulum darurat?

Saya tak mau menebak berapa persen. Selain itu, survei tentang implementasi kurikulum dalam kondisi khusus ini juga belum ditemukan. Entah saya yang kurang cekatan dalam mencari informasi, atau malah sebaliknya.

Sebenarnya sudah mencari, sih. Tapi tak kunjung ketemu juga. Yang saya temukan hanyalah hasil dari pengawasan KPAI di bidang pendidikan yang dirilis pada awal November lalu.

Retno Listyarti selaku komisioner menerangkan bahwa sekolah tidak berani menerapkan kurikulum darurat karena dinas pendidikan tidak pernah memberikan pengarahan.

Lebih lanjut, Retno juga menambahkan bahwa kebanyakan sekolah yang ia temui masih bersandar pada kurikulum 2013 yang sejatinya kurang efektif diterapkan di tengah pandemi. Alhasil? Kemendikbud-lah yang kena sasar.

Padahal, sebagai guru, kalaulah saya boleh beropini sendiri, sederhananya seperti ini:

"Pakai kurikulum darurat, tahun depan ganti kurikulum lagi, kan?"

Faktanya, bukanlah hal yang mudah menjalin koordinasi secara intensif antara dinas pendidikan daerah, sekolah, dan Kemendikbud. Jangankan mau sosialisasi, pemerintah pusat surveinya saja hanya sesekali.

Dan, sekali survei, dapatnya sekolah yang pakai Kurikulum Darurat pula. Coba kalau dikunjungi sekolah yang masih pakai K13 walau di tengah pandemi, barangkali akan berbeda kisahnya.

Lagi-lagi ganti kurikulum implementasinya tak semudah kedipan mata. Melaksanakan Kurikulum 2013 saja sekolah kadang terseok-seok gegara buku dan modul telat sampai, apalagi...

Ah, sudah. Lagian hari ini sekolah-sekolah di penjuru Bumi Pertiwi sudah mulai melaksanakan Penilaian Akhir Semester (PAS) Ganjil. Sekolah sejenak sudah lupa dengan Kurikulum Darurat yang mungkin saja tidak akan dipakai lagi di bulan Januari 2021.

Sia-sia dong racikan Mas Nadiem dan tim kurikulum? Tidak, sih. Soalnya ada juga sekolah yang mampu menerapkan Kurikulum Darurat.

Sayangnya sekolah 3T tidak. Mengapa tidak? Jangankan mau sosialisasi, mengunduh modul Kurikulum Darurat saja susah. Tapi, ya sudahlah. Saya yakin sekolah 3T tetap semangat. Guru dan orang tua punya kurikulum sendiri, meskipun kurikulum tersebut tak diberi nama.

Pemerintah Jangan Galau, Guru dan Orang Tua adalah Kurikulum yang Sesungguhnya

Bulan kemarin, Peneliti Madya Pusat Penelitian dan Kebijakan Balitbang Kemendikbud, Meni Handayani sempat menuangkan hasil survei Balitbang terhadap 1.202 guru di 50 kabupaten/kota di 15 provinsi terkait penerapan kurikulum darurat dan modul pembelajaran.

Hasilnya, informasi terkait kurikulum darurat ini lebih banyak diketahui di daerah non tertinggal, yakni 72 persen. Sedangkan di daerah tertinggal guru yang mengetahui hanya 52 persen.

Imbasnya, sudah tentu akan banyak kritik bahwa PJJ tidak menghasilkan perkembangan yang signifikan. Yang tersalah? Kemendikbud lagi, dinas pendidikan daerah lagi, hingga kurangnya sosialisasi.

Entah seperti apa nasib dari Kurikulum Darurat ini. Kurikulumnya ada, disusun dengan gesit di tengah badai corona, juga desakan di sana-sini, eh, setelah terbit, ternyata tidak bisa digunakan secara maksimal.

Sedangkan tahun depan? Bau-baunya kurikulum akan ganti lagi. Didesain sebagus mungkin agar semakin bersandar kepada kebutuhan siswa. Padahal kalau dipikir-pikir, percuma saja kalau hanya desain yang bagus, sedangkan implementasinya plintat-plintut.

Tapi tenang. Mungkin dan sebaiknya, pemerintah tak perlu terlalu galau.

Memang benar bahwa sosialisasi segala elemen pendidikan dari pusat hingga daerah adalah faktor yang cukup memengaruhi terimplementasinya kurikulum "baru" di tengah pandemi. Hanya saja, pemerintah juga perlu mengerti bahwa desain kurikulum sesungguhnya ada pada guru dan orang tua.

Sebagus apapun desain kurikulum (yang entah akan seperti apa namanya nanti), belum tentu selalu cocok ketika diterapkan di lapangan. Artinya, ada yang perlu disesuaikan oleh pihak pengimplementasi kurikulum. Siapakah dia? Lagi-lagi guru dan orang tua.

Gurulah yang bertanggungjawab mendesain kurikulum sesuai dengan gayanya sendiri yang kemudian disandarkan kepada kebutuhan dan kondisi siswa di sekolah.

Sedangkan orang tua juga punya kurikulum, yaitu mendesain pembelajaran ketika siswa sedang di rumah. Entah dalam suasana PJJ, atau sepulang dari sekolah tatap muka.

Siswa belajar lagi di rumah atau tidak, aturan kurikulumnya dipegang oleh orang tua. Sedangkan guru? Hanya bertanggungjawab atas kurikulumnya sendiri di sekolah.

Pemerintah, bagaimana? Mana mungkin pemerintah bisa mendeteksi tingkat keberhasilan kurikulum yang telah disesuaikan guru dan orang tua secara detail.

Terang saja, tantangan sekolah di daerah yang satu dengan daerah lainnya sangat berbeda. Barangkali, tanggung jawab pemerintah hanyalah sekadar menjadi penyedia alat, penyedia akses, serta memberikan kemudahan kepada guru dan orang tua dalam mencerdaskan anak bangsa.

Jadi, tak perlu galau kan kalau nanti kurikulum tak sepenuhnya bisa diimplementasi? Begitulah, karena guru dan orang tua merupakan kurikulum yang sesungguhnya.

Esok hari, atau mungkin di tahun depan, agaknya pemerintah jangan terlalu galau hingga "asyik" meracik kurikulum dengan gaya mereka sendiri. Ajaklah guru, juga orang tua. Biar kita sama-sama mengerti tentang seperti apa sesungguhnya kurikulum itu.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun