Memang benar bahwa sosialisasi segala elemen pendidikan dari pusat hingga daerah adalah faktor yang cukup memengaruhi terimplementasinya kurikulum "baru" di tengah pandemi. Hanya saja, pemerintah juga perlu mengerti bahwa desain kurikulum sesungguhnya ada pada guru dan orang tua.
Sebagus apapun desain kurikulum (yang entah akan seperti apa namanya nanti), belum tentu selalu cocok ketika diterapkan di lapangan. Artinya, ada yang perlu disesuaikan oleh pihak pengimplementasi kurikulum. Siapakah dia? Lagi-lagi guru dan orang tua.
Gurulah yang bertanggungjawab mendesain kurikulum sesuai dengan gayanya sendiri yang kemudian disandarkan kepada kebutuhan dan kondisi siswa di sekolah.
Sedangkan orang tua juga punya kurikulum, yaitu mendesain pembelajaran ketika siswa sedang di rumah. Entah dalam suasana PJJ, atau sepulang dari sekolah tatap muka.
Siswa belajar lagi di rumah atau tidak, aturan kurikulumnya dipegang oleh orang tua. Sedangkan guru? Hanya bertanggungjawab atas kurikulumnya sendiri di sekolah.
Pemerintah, bagaimana? Mana mungkin pemerintah bisa mendeteksi tingkat keberhasilan kurikulum yang telah disesuaikan guru dan orang tua secara detail.
Terang saja, tantangan sekolah di daerah yang satu dengan daerah lainnya sangat berbeda. Barangkali, tanggung jawab pemerintah hanyalah sekadar menjadi penyedia alat, penyedia akses, serta memberikan kemudahan kepada guru dan orang tua dalam mencerdaskan anak bangsa.
Jadi, tak perlu galau kan kalau nanti kurikulum tak sepenuhnya bisa diimplementasi? Begitulah, karena guru dan orang tua merupakan kurikulum yang sesungguhnya.
Esok hari, atau mungkin di tahun depan, agaknya pemerintah jangan terlalu galau hingga "asyik" meracik kurikulum dengan gaya mereka sendiri. Ajaklah guru, juga orang tua. Biar kita sama-sama mengerti tentang seperti apa sesungguhnya kurikulum itu.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H