Ada yang kikuk dari wajah Ayah, tapi aku enggan cari tahu. Keningnya yang sudah bersih dari jerawat batu jadi mengernyut layaknya kain kusut yang ditumpuk dalam baskom. Itu absurd. Padahal mentari masih dikandung langit. Fajar juga belum luput dari peraduan kelam.
Kulihat dari dekat, entah mengapa hasrat Ayah mulai meredup. Kupikir tak ada yang salah dengan sarapan hari ini. Ada sambal lecet yang dibuat Ibu dengan cabai rawit keriting. Ada pula jengkol muda dan pucuk pepaya. Ayah tidak mungkin tidak suka.
"Ayah, ada uang jajan untukku?"
"Tidak ada, Nak. Tolong ambilkan Ayah wajan dan taruhkan ke kelenteng, ya."
Aku ambyar. Biasanya aku tak pernah seberani ini berucap kepada Ayah. Jangankan mau minta tambahan uang jajan, mau ajak Ayah untuk jalan-jalan saja aku tak berani. Ayahku sibuk.
Meski begitu, perasaanku, produksi gula aren kami cukup banyak dan lancar. Makanya aku heran, biasanya Ayah pasti memberiku uang jajan lima sampai sepuluh ribuan.
"Sudah, Ayah."
"Ini, Nak. Sekolahnya yang semangat, ya. Perhatikan penjelasan gurumu," ucap Ayahku sembari menyelipkan uang senilai dua puluh ribuan ke kantong bajuku.
Aduh...duh...duh. Alhamdulillah, sahut batinku. Ini rezeki yang tertebak. Aku tak mengira Ayah akan bersandiwara dan membuatku berprasangka. Dua puluh ribu untuk anak SMP sepertiku, sungguh pemberian ini sangat jarang sampai ke kantongku. Tapi, wajah Ayah itu. Sepertinya...Ah, sudahlah. Aku tertipu.
"Ayah. Hati-hati, ya. Nanti siang setelah pulang sekolah, aku akan ikut ke ladang untuk jaga api. Ayah ceritakan kepadaku tentang Legenda Muning Raib, ya."