Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Asesmen Nasional Jadi Pengganti Ujian Nasional 2021, Masih Perlukah Siswa Mengikuti Bimbel?

10 Oktober 2020   06:26 Diperbarui: 10 Oktober 2020   10:22 1798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMPN 11 Kota Bekasi, Senin (22/4/2019) (KOMPAS.com/DEAN PAHREVI)

"Adikku dua minggu yang lalu berucap mau ikut bimbel online. Bahkan, sebelum corona melanda aku juga sempat menawarkan kepadanya untuk ikut bimbel "berkelas" di kotaku. Tapi kemarin siang, tiba-tiba ia jadi tak minat lagi!"

Saat ini adikku sudah duduk di kelas IX SMP, berarti tahun depan ia akan jadi salah satu siswi penanda perubahan paradigma evaluasi pendidikan.

Sejatinya, setelah kubaca-baca kisah rencana Asesmen Nasional pada Lembar Q & A pemberian Kemendikbud, peserta Asesmen hanya mencomot sampel siswa kelas V SD, VIII SMP, dan XI SMA/Sederajat.

Tapi, untuk program kesetaraan, Asesmen Nasional akan diikuti oleh seluruh peserta didik yang berada pada tahap akhir program belajarnya.

Ya, begitulah. Setelah Ujian Nasional "disingkirkan" dari sandaran evaluasi kelulusan pada tengah tahun ini, pendidikan kita akan mencoba Asesmen Nasional yang kabarnya mulai berlaku di tahun 2021.

Dalam laman resminya, Kemendikbud pun menerangkan bahwa peningkatan sistem evaluasi pendidikan melalui Asesmen Nasional adalah bagian dari kebijakan Merdeka Belajar yang juga didukung penuh oleh Presiden Joko Widodo.

Eksistensi bimbel jelang digelarnya Asesmen Nasional 2021. Dok. Kontan.co.id
Eksistensi bimbel jelang digelarnya Asesmen Nasional 2021. Dok. Kontan.co.id
Wajar saja kiranya, setiap program atau gagasan yang jelas arah dan tujuannya pasti akan diterima oleh Presiden. Meski begitu, salah satu kekhawatiranku saat ini adalah, Asesmen Nasional sedikit banyak akan "menghantui" batin siswa.

Mengapa demikian? 

Di dalam Asesmen Nasional ada yang namanya Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Nah, setelah kita tilik lebih dalam, ternyata aspek kognitif yang bakal dinilai dari siswa adalah seputar kompetensi literasi dan numerasi. Standardisasinya? Standar PISA, Bro!

Tangkapan layar Buku Saku AKM. Dok. Kemendikbud
Tangkapan layar Buku Saku AKM. Dok. Kemendikbud

Jelaslah bahwa butir soal yang hadir nantinya bukan soal tes kaleng-kaleng, melainkan berbasis HOTS (Higher Order Thinking Skills).

Kedengarannya mungkin biasa saja, kan? Iya, barangkali sudah biasa bagi sekolah-sekolah rujukan yang nilai rapor mutunya adalah A bahkan A+. Lha, kalau sekolahnya masih tahap "berkembang"?

Tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi sekolah-sekolah yang sedang meniti jalan untuk mengejar ketertinggalan mutu. Dan, kembali lagi kepada kekhawatiran tentang "menghantui" batin siswa tadi, ku kira, sekilas Asesmen Nasional dari sisi AKM sama saja dengan UN.

Mengapa sama? Dari segi kognitif, baik AKM maupun UN sama-sama menakutkan. Terang saja, kualitas butir-butir soal pasti sudah lolos dari Standar Nasional. Bedanya, dulu para siswa berusaha mengusir ketakutan akan UN dengan cara mengikuti bimbel. AKM tak perlu, kan?

Mas Mendikbud Nadiem menerangkan bahwa Asesmen Nasional pada tahun 2021 dilakukan sebagai pemetaan dasar dari kualitas pendidikan yang nyata di lapangan, sehingga tidak ada konsekuensi bagi sekolah maupun murid.

"Sangat penting dipahami terutama oleh guru, kepala sekolah, murid, dan orang ua bahwa Asesmen Nasional untuk tahun 2021 tidak memerlukan persiapan-persiapan khusus maupun tambahan yang justru akan menjadi beban psikologis tersendiri. Tidak usah cemas, tidak perlu bimbel khusus demi Asesmen Nasional," ucap Mas Nadiem saat Webinar Koordinasi Asesmen Nasional di Jakarta (6/10/2020).

Sekilas, hadirnya Asesmen Nasional ini diharapkan dapat mengusir kecemasan siswa dan orangtua. Tapi, kalau kita komparasikan lagi dengan rangkaian tes kognitif literasi dan numerasi yang berstandarkan PISA, bukankah perasaan cemas akan semakin meningkat?

Alasannya? Pertama, siswa kelas V SD, VIII SMP, dan XI SMA yang diambil adalah sampel yang dipilih secara acak oleh Kemendikbud.

Lembar tanya jawab Asesmen Nasional. Dok. Pusat Asesmen dan Pembelajaran/Kemendikbud
Lembar tanya jawab Asesmen Nasional. Dok. Pusat Asesmen dan Pembelajaran/Kemendikbud

Menurut Q & A yang dikeluarkan oleh Pusat Asesmen dan Pembelajaran, hal ini dimaksudkan agar murid yang menjadi peserta Asesmen Nasional dapat merasakan perbaikan pembelajaran ketika mereka masih berada di sekolah tersebut.

Selain itu, guna Asesmen Nasional adalah untuk memotret dampak dari proses pembelajaran per tingkat satuan pendidikan (jadi, bukan dampak per siswa secara individual).

Nah, yang terbayang oleh kita andai nanti ada perwakilan siswa yang ikut AKM adalah, mereka bisa terbebani karena secara tidak langsung telah mewakili mutu sekolah dari sisi proses pembelajaran.

Mengapa disebut beban, karena siswa lain yang tak terpilih pasti bersorak dalam hati dengan kalimat:

"Yes, selamat! Aku tak terpilih untuk menjawab soal-soal berstandar PISA!"

Biarpun kemudian Mas Nadiem sempat berujar bahwa si siswa tak perlu melakukan persiapan, tapi sebagai pelajar yang mewakili beratus hingga beribu siswa di sekolah, ketidakcemasan dalam batin hampir nihil terlenyapkan.

Lagi-lagi persoalan ini kembali kepada mindset, bahwa sesungguhnya mengubah mindset siswa dan sekolah tentang "nilai" tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Kedua, siswa tak butuh persiapan. Seperti yang tertuang dalam buku sakunya, Asesmen Nasional terdiri dari 3 bagian, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.

Untuk sesi evaluasi Survei Karakter dan Lingkungan belajar, anggaplah siswa tak perlu melakukan persiapan apapun. Tapi, kalau sesi AKM yang tanpa persiapan, bagaimana?

Rasanya, justru ikut evaluasi tanpa persiapan itulah yang semakin mencemaskan siswa. Jangankan siswa, guru saja yang dites tanpa persiapan, keningnya akan mengernyut!

Di sisi lain, Mas Mendikbud Nadiem menegaskan bahwa tak perlu ada bimbel khusus untuk menghadapi AKM. Okelah, kita anggap saja bahwa nanti siswa akan mengikuti AKM dengan senang hati, juga tanpa persiapan.

Tapi, bukankah kalau siswa ikut bimbel, nilai AKM akan meningkat sekaligus dapat meng-upgrade skor PISA di hari kemudian? Ku kira, diksi "tak perlu ada bimbel khusus" sedikit banyak akan mengecewakan hati para pegiat pendidikan yang berkecimpung di dunia bimbel.

"Asik, Tidak (Perlu) Bimbel Lagi!"

Baik ada atau tidak ada Ujian Nasional (UN), bimbingan belajar alias bimbel itu sangat penting bagi perkembangan siswa. Bimbel sejatinya tidak hanya berkisah tentang kemampuan kognitif, melainkan juga tentang kecakapan dan kewirausahaan.

Bahkan, salah seorang sahabatku (Maaf, tak bisa kusebut namanya) yang sekarang sudah aktif mengajar di salah satu lembaga bimbel  "berkelas" di negeri ini mengatakan bahwa, bimbel dari dulu sudah menguntungkan siswa secara personal dari segi investasi jangka panjang.

Selain itu, dirinya yang bekerja sebagai guru bimbel juga ditempa dari segi kompetensi dan kecakapan mengajar. Alhasil, tidak hanya tak hanya mengajar siswa untuk berkompeten, melainkan dirinya juga ikut mengembangkan kemampuan berwirausaha.

Sayangnya, percakapan kami ini tidak berlanjut dengan manis karena sebagai imbas dari dihapuskannya UN kemarin, beberapa unit bimbel yang diasuh oleh lembaga terpaksa harus ditutup. Unit bimbel harus tutup karena tak bisa lagi "terselamatkan".

Anak-anak yang masih ikut bimbel adalah mereka yang masih terdaftar di semester kemarin, kira-kira beberapa bulan sebelum UN dihapus.

Itu lembaga bimbel berkelas, loh! Sedangkan lembaga bimbel yang masih merintis malah lebih parah lagi. Semisal, ada sebuah yayasan asuhanku bersama teman-teman yang bergerak di bidang pendidikan dan bimbel akhirnya vakum dalam waktu hampir satu tahun ini.

Alasan pertama, karena pandemi. Sedangkan sisanya, minat anak mulai berkurang seiring dengan ditiadakannya UN.

Termasuk juga kisah tentang adikku sebagaimana yang telah aku ceritakan di awal tadi. Bukan aku ingin memaksanya untuk ikut pengembangan diri dari segi bimbel, tapi, kalau dia sudah lihat bagaimana contoh soal AKM nanti, ku kira adikku akan sadar bahwa AKM itu susah, loh!

Meski kemudian baik AKM maupun Asesmen Nasional secara keseluruhan tidak akan berpengaruh apa-apa pada kelulusan siswa, ku kira, eksistensi lembaga bimbel di negeri ini sangat layak untuk tetap dipertahankan.

Saat ini, sejauh pandangku, belum ada "perkenalan" lebih lanjut tentang seluk-beluk Asesmen Nasional. Padahal, di akhir Maret 2021 nanti seluruh pelaku pendidikan di satuan pendidikan --tidak terkecuali kepala sekolah--akan mengikuti AKM.

Rasanya, pemerintah melalui Kemendikbud perlu lebih dini dalam melakukan sosialisasi tentang Asesmen Nasional kepada tiap-tiap satuan pendidikan.

Soalnya, sungguh masih banyak orang yang belum mengerti tentang apa itu AKM, Survei Karakter, serta Survei Lingkungan Belajar.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun