"Adikku dua minggu yang lalu berucap mau ikut bimbel online. Bahkan, sebelum corona melanda aku juga sempat menawarkan kepadanya untuk ikut bimbel "berkelas" di kotaku. Tapi kemarin siang, tiba-tiba ia jadi tak minat lagi!"
Saat ini adikku sudah duduk di kelas IX SMP, berarti tahun depan ia akan jadi salah satu siswi penanda perubahan paradigma evaluasi pendidikan.
Sejatinya, setelah kubaca-baca kisah rencana Asesmen Nasional pada Lembar Q & A pemberian Kemendikbud, peserta Asesmen hanya mencomot sampel siswa kelas V SD, VIII SMP, dan XI SMA/Sederajat.
Tapi, untuk program kesetaraan, Asesmen Nasional akan diikuti oleh seluruh peserta didik yang berada pada tahap akhir program belajarnya.
Ya, begitulah. Setelah Ujian Nasional "disingkirkan" dari sandaran evaluasi kelulusan pada tengah tahun ini, pendidikan kita akan mencoba Asesmen Nasional yang kabarnya mulai berlaku di tahun 2021.
Dalam laman resminya, Kemendikbud pun menerangkan bahwa peningkatan sistem evaluasi pendidikan melalui Asesmen Nasional adalah bagian dari kebijakan Merdeka Belajar yang juga didukung penuh oleh Presiden Joko Widodo.
Wajar saja kiranya, setiap program atau gagasan yang jelas arah dan tujuannya pasti akan diterima oleh Presiden. Meski begitu, salah satu kekhawatiranku saat ini adalah, Asesmen Nasional sedikit banyak akan "menghantui" batin siswa.
Mengapa demikian?Â
Di dalam Asesmen Nasional ada yang namanya Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Nah, setelah kita tilik lebih dalam, ternyata aspek kognitif yang bakal dinilai dari siswa adalah seputar kompetensi literasi dan numerasi. Standardisasinya? Standar PISA, Bro!