Malam Kamis (05/08/2020) kemarin, Mas Nadiem Makarim dan Erick Thohir sempat berdialog intens dengan mbak Nana dalam acara Mata Najwa yang digelar di salah satu stasiun televisi swasta.
Judul yang diangkat oleh Najwa Shihab adalah kontroversi Mas Menteri. Kontroversi yang dimunculkan oleh Mas Nadiem adalah polemik Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), Program Organisasi Penggerak (POP) hingga tuntutan UKT mahasiswa. Sedangkan Erick Thohir disorot atas kegiatan "bersih-bersih" BUMN-nya.
Namun, di sini saya tidak akan menyorot lebih jauh tentang kesibukannya sang ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Saya lebih tertarik untuk melihat dan mengkaji bagaimana solusi yang ditawarkan oleh Mas Nadiem terkait dengan PJJ.
Secara, setelah era pandemi mulai memasuki 6 bulan, kabar PJJ masih penuh dengan rintangan. Banyak masyarakat, guru serta siswa mulai berkirim "salam" kepada Mas Mendikbud sekaligus menanyakan kepada beliau tentang bagaimana kabar pendidikan di masa pandemi.
Apakah baik-baik saja? Sekilas, melihat sikap yang ditunjukkan Mas Nadiem saat diwawancarai oleh mbak Nana, sepertinya kabar pendidikan kita baik-baik saja.
Secara, di setiap pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan oleh putri kedua Quraish Shihab ini, sang Mendikbud selalu menjawabnya dengan lancar. Tidak ada grogi, apalagi sampai harus berpikir hingga sekian detik.
Hanya saja, dari sekian pertanyaan yang menghampiri, Mas Nadiem lebih banyak menekankan, menegaskan serta menyandarkan solusi kepada dana BOS Â (Biaya Operasional Sekolah).
Dana yang selama ini telah digunakan sekolah untuk membiayai administrasi sekolah, kegiatan intra-ekstra sekolah, honor, alat-alat pembelajaran, perpustakaan, listrik hingga berbagai kebutuhan sekolah lainnya jadi makin "hebat" setelah dijelaskan oleh Mas Nadiem.
"Yang pertama kita lakukan adalah dana BOS, yang dikirim dari pemerintah pusat ke masing-masing rekening sekolah untuk pertama kalinya dibebaskan untuk memberikan fleksibilitas khusus untuk PJJ. Jadinya, boleh tanpa batas digunakan untuk alat TIK dan pulsanya bukan hanya pulsa guru. Pulsa guru, pulsa murid (orangtua),"Â begitu penjelasan Mas Mendikbud.
Di era pandemi ini, pengertian yang terpampang oleh kita adalah, kepala sekolah diberikan kewenangan penuh untuk menganggarkan kebutuhan PJJ.
Dasar aturannya bisa dilihat di Surat Edaran Mendikbud No 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19).
Di awal-awal terbitnya SE ini, fleksibilitas yang sekolah ketahui dalam penggunaan dana BOS adalah untuk menyediakan berbagai fasilitas kesehatan sesuai protokol kesehatan seperti thermal gun, hand sanitizer, disinfektan serta alat kebersihan lainnya.
Namun, seiring dengan semakin kompleksnya masalah PJJ, Mas Nadiem lalu mempersilakan sekolah untuk menggunakan dana BOS secara lebih fleksibel lagi. Seperti boleh digunakan untuk membayarkan kuota/pulsa internet guru dan siswa untuk mendukung PJJ.
Mungkinkah Dana BOS "Sehebat" Itu?
Kalaulah tuah dana BOS sehebat itu, barangkali masalah PJJ sudah selesai hari ini. Orangtua tidak akan pusing-pusing lagi membeli kuota, siswa tidak akan merengek-rengek lagi menagih biaya pulsa mingguan, dan dompet guru juga tidak akan kebobolan.
Kalaulah dana BOS sehebat itu, tidak mungkin ada berita miris tentang seorang ayah yang nekat mencuri HP agar anaknya bisa belajar online. Sebagai guru, jujur saya sangat merinding saat membaca pemberitaan seperti ini.
Meskipun kemudian kisahnya berlanjut dengan pemberian hadiah handphone dan sembako untuk si anak tadi, tapi saat kita membayangkan lebih jauh, alangkah mirisnya PJJ ini. Rasa-rasanya nilai handphone dan kuota lebih tinggi dari beras. Demi pendidikan loh!
Ini hanyalah kasus yang tampak oleh publik. Pemerintah belum tahu kasus-kasus lainnya, kesusahan-kesusahan, serta perjuangan para orangtua hingga siswa lainnya hanya untuk bisa belajar daring.
Sejadinya, kita makin kasihan dengan daerah atau desa yang tingkat kesenjangannya lebih tinggi. Misalnya, di desa tersebut kualitas sinyalnya baik, sekolah mampu menggelar daring, tapi sebagian siswanya tidak mempunyai smartphone.
Kalau sudah begini, bukankah lebih mendingan sekolah dan desa itu tak bersinyal sekalian? Jadi, tidak perlu sampai ada tindakan pencurian HP gara-gara terlalu ingin belajar daring. Tapi, jelas ini tidak mungkin juga.
Dan di lain sisi, kenyataannya dana BOS tidaklah sehebat itu, tidaklah sehebat yang Mas Nadiem ucapkan. Biarpun hari ini dana BOS sudah sampai ke sekolah-sekolah swasta, tetap saja kehadirannya tak mampu berbicara lebih.
Sederhananya, dana BOS ada berapa, sedangkan siswa dan gurunya ada berapa? Kalaupun sekolah negeri sanggup membelikan anak-anak kuota internet, paling-paling hanya sekitar 2-3 gb saja. Beruntung kalau anak dapat tiap bulan. Ini malah sebaliknya, orangtua tidak balik modal.
Bahkan, salah satu sekolah mengakui bahwa dana BOS sesungguhnya tidaklah cukup. SMP Negeri 10 Banjarmasin contohnya.
Pihaknya memilih menggunakan bantuan kuota dari Dana BOS hanya  untuk  kalangan guru dan tata usaha. Banyaknya jumlah siswa menjadi alasan, lantaran dana bos diyakini sekolah tak mencukupi kebutuhan para siswanya.
Logikanya, semakin banyak siswa, maka semakin banyak pula dana BOS-nya, kan? Tentu saja. Tapi logika yang lain adalah, semakin banyak siswa, semakin banyak pula pengeluaran sekolahnya.
Lalu, bagaimana dengan sekolah negeri yang muridnya sedikit? Inilah yang semakin membuat kita khawatir. Sedangkan untuk membayar gaji guru honorer yang "lumayan" saja kepala sekolah sudah "ngos-ngosan" cari talangan, apalagi kuota!
Semakin tersiksalah para kepala sekolah. belum lagi dengan dampak negatif yang lain dari dana BOS. Malam tadi, saya sempat berdiskusi dengan rekan-rekan guru dalam menyikapi kebijakan pembolehan penggunaan dana BOS untuk membeli kuota internet.
Hasilnya, ada kekhawatiran yang cukup mengganjal hati kami. Ialah tentang wali murid. Bagaimana bila nanti di suatu hari wali murid menuntut kuota internet ke sekolah, padahal sekolah itu sendiri tak memiliki alokasi yang mumpuni untuk menyediakan kuota.
Transparansi antara kepala sekolah dan wali murid? Okelah, mungkin bisa, kalau wali murid mau mengerti dan pengertian. Jika tidak, bukankah kekhawatiran ini akan menimbulkan polemik baru? Wallahua'lam bissawab. Ini hanyalah kekhawatiran kami, semoga saja tidak terjadi.
Yang jelas, bersandarkan hanya kepada dana BOS saja untuk memfasilitasi kegiatan PJJ tidak akan banyak menghasilkan dampak positif. Karena, dana BOS tidak sehebat itu.
Pemerintah perlu mencari solusi lain, atau menyediakan anggaran dari sumber selain dana BOS. Misalnya mencontoh gaya alias sistem BLT ataupun token listrik gratis. Langsung saja dari pusat dianggarkan dan ditentukan bahwa siswa dapat pulsa/kuota berapa gigabites setiap bulannya.
Dengan begitu, seluruh masyarakat tahu betul tentang berapa rupiah bantuan untuk anak mereka demi mendukung PJJ. Tapi, ini hanyalah permisalan semata. Semoga Mas Nadiem punya solusi yang barangkali lebih baik dari ini.
Terakhir, pemerintah juga jangan sampai bosan mengapresiasi dan menghargai kerja guru. Ada yang selama ini mungkin pemerintah tak pernah tahu. Ialah tentang tanggung jawab etisnya seorang guru.
Ada guru yang rela datang dan mengajar ke rumah-rumah, ada guru yang ikhlas menggelontorkan dana demi beli pulsa serta kuota semuanya adalah perwujudan dari tanggung jawab etis para guru.
Mungkin tidak banyak media yang memberitakan serta menggaungkan ini. Tapi, memang begitulah seharusnya. Karena seorang guru tidak melulu mau meninggikan pencitraan.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H