Pihaknya memilih menggunakan bantuan kuota dari Dana BOS hanya  untuk  kalangan guru dan tata usaha. Banyaknya jumlah siswa menjadi alasan, lantaran dana bos diyakini sekolah tak mencukupi kebutuhan para siswanya.
Logikanya, semakin banyak siswa, maka semakin banyak pula dana BOS-nya, kan? Tentu saja. Tapi logika yang lain adalah, semakin banyak siswa, semakin banyak pula pengeluaran sekolahnya.
Lalu, bagaimana dengan sekolah negeri yang muridnya sedikit? Inilah yang semakin membuat kita khawatir. Sedangkan untuk membayar gaji guru honorer yang "lumayan" saja kepala sekolah sudah "ngos-ngosan" cari talangan, apalagi kuota!
Semakin tersiksalah para kepala sekolah. belum lagi dengan dampak negatif yang lain dari dana BOS. Malam tadi, saya sempat berdiskusi dengan rekan-rekan guru dalam menyikapi kebijakan pembolehan penggunaan dana BOS untuk membeli kuota internet.
Hasilnya, ada kekhawatiran yang cukup mengganjal hati kami. Ialah tentang wali murid. Bagaimana bila nanti di suatu hari wali murid menuntut kuota internet ke sekolah, padahal sekolah itu sendiri tak memiliki alokasi yang mumpuni untuk menyediakan kuota.
Transparansi antara kepala sekolah dan wali murid? Okelah, mungkin bisa, kalau wali murid mau mengerti dan pengertian. Jika tidak, bukankah kekhawatiran ini akan menimbulkan polemik baru? Wallahua'lam bissawab. Ini hanyalah kekhawatiran kami, semoga saja tidak terjadi.
Yang jelas, bersandarkan hanya kepada dana BOS saja untuk memfasilitasi kegiatan PJJ tidak akan banyak menghasilkan dampak positif. Karena, dana BOS tidak sehebat itu.
Pemerintah perlu mencari solusi lain, atau menyediakan anggaran dari sumber selain dana BOS. Misalnya mencontoh gaya alias sistem BLT ataupun token listrik gratis. Langsung saja dari pusat dianggarkan dan ditentukan bahwa siswa dapat pulsa/kuota berapa gigabites setiap bulannya.
Dengan begitu, seluruh masyarakat tahu betul tentang berapa rupiah bantuan untuk anak mereka demi mendukung PJJ. Tapi, ini hanyalah permisalan semata. Semoga Mas Nadiem punya solusi yang barangkali lebih baik dari ini.
Terakhir, pemerintah juga jangan sampai bosan mengapresiasi dan menghargai kerja guru. Ada yang selama ini mungkin pemerintah tak pernah tahu. Ialah tentang tanggung jawab etisnya seorang guru.
Ada guru yang rela datang dan mengajar ke rumah-rumah, ada guru yang ikhlas menggelontorkan dana demi beli pulsa serta kuota semuanya adalah perwujudan dari tanggung jawab etis para guru.
Mungkin tidak banyak media yang memberitakan serta menggaungkan ini. Tapi, memang begitulah seharusnya. Karena seorang guru tidak melulu mau meninggikan pencitraan.