"Jika kamu ingin mengenal seseorang, kamu harus bisa memahami mengapa mereka bisa marah. Karena Muhammadiyah, NU dan PGRI telah menyatakan mundur, sekaranglah saatnya Mas Nadiem PDKT dengan mereka."
Beberapa hari ini suasana di meja Kemendikbud cukup panas. Bukan salah cuaca, bukan pula salah api. Penyebabnya adalah Kebijakan Merdeka Belajar episode 4 tentang Program Organisasi Penggerak (POP) yang menemui kontroversi.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tujuan dilahirkannya POP. Sebagai sebuah program yang berorientasi pada kesuksesan Merdeka Belajar, Organisasi Penggerak dihadirkan untuk meningkatkan kompetensi guru, kepala sekolah, hingga tenaga kependidikan.
Ini adalah tujuan yang mulia karena dilakukan demi meningkatkan hasil belajar siswa.
Hanya saja, seiring dengan selesainya perekrutan organisasi-organisasi yang mau menggerakkan pendidikan, mundurlah ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah, NU, hingga PGRI.
Dari sebanyak 184 proposal dari 156 lembaga lolos seleksi POP, PP Muhammadiyah mengungkapkan bahwa pihaknya mendapat laporan dari daerah bahwa ada ormas-ormas yang tidak kompeten, namun lulus seleksi. Sebutannya, ormas siluman.
"Ada laporan dan informasi yang mengatakan, dilihat dari nama-nama ada beberapa yang tidak kompeten. Kantor enggak punya, apalagi staff, program juga enggak jelas," kata Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Kasiyarno di Gedung Pusat Muhammadiyah, Rabu (22/7).
Jelas ini adalah kabar yang gawat, bukan?Â
Terang saja, ormas-ormas yang nantinya telah lolos akan dikucuri dana mulai dari Rp1 milyar -- Rp20 milyar untuk merealisasikan pelatihan guru. kalau ada 156 lembaga yang lolos, maka tinggal kita kalikan saja. Wuiih, banyak tuh duitnya.
Bayangkan bila kemudian ada ormas-ormas siluman yang ikut menyalip dana milyaran tersebut. Apa kata dunia? Bagaimana nanti kita memberantasnya.
Secara, hari ini sudah bukan zamannya Mak Lampir atau pun perebutan peti pustaka Matasan dalam serial Pertarungan di Goa Siluman. Hari ini adalah zaman di mana kita butuh transparansi, kejujuran, legalitas, hingga kompetensi.
Dan, tidak jauh berbeda, rupanya NU dan PGRI pun meninggikan alasan yang sama. Kedua organisasi besar ini menganggap bahwa ada kejanggalan dari program dengan tujuan awal yang mulia ini.