Yang menjadikan ada kerancuan di sini adalah, mengapa dulu Kemendikbud tidak langsung menggandeng kedua ormas ini dalam meracik Program Organisasi Penggerak. Setelah digandeng, barulah kemudian ajak organisasi-organisasi baru untuk kerja sama dengan mengikuti seleksi.
Dengan begitu, rasanya asas transparansi program kerja, perekrutan dan biaya bisa lebih terang. Secara, POP adalah program besar yang akan menelan ratusan milyar. Kalau tak ada transparansi yang terang, maka Mas Nadiem benar-benar akan kualat.
Apalagi yang Mas Nadiem gandeng sebagai mitra POP sekaligus mendapat subsidi saat ini adalah Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation, jelas Kemendikbud akan dipelototin lebih dalam lagi.
Dan sayangnya, kalau sudah berbicara anggaran, kebijakan POP akan lebih sensitif lagi.
Bagaimana tidak, menurut anggota Komisi X DPR Illiza Sa'aduddin Djamal, anggaran POP yang direncanakan sebesar Rp 595 miliar per tahun di Komisi X masih berupa pagu indikatif.
Maknanya, POP perlu dibahas lebih lanjut di Komisi X.
Maka dari itulah, sembari menuntaskan pembahasan ini, Mas Nadiem dan Kemendikbud perlu introspeksi diri serta melakukan evaluasi besar-besaran terhadap POP.
Sederhananya, cobalah untuk lebih terbuka dan melibatkan ormas besar yang berkiprah di bidang pendidikan. Katakanlah seperti NU, Muhammadiyah, PGRI, dan beberapa organisasi lainnya.
Sayangnya, tertanggal 24 Juli 2020 alias hari ini, PGRI pun ikut mengundurkan diri dari keikutsertaan dalam Program Organisasi Penggerak.
PGRI melalui Ketua Umum Pengurus besar memandang bahwa dana yang telah dialokasikan untuk POP akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk membantu siswa, guru/honorer, penyediaan infrastruktur di daerah khususnya di daerah 3 T, dalam menunjang PJJ di masa pandemi.
Lalu, apalagi yang diharapkan dari program ini jikalau tak ada organisasi besar seperti NU, Muhammadiyah, hingga PGRI?Â