Ketua LP Ma'arif NU KH Arifin Junaidi menilai, program Kemdikbud tersebut dari awal sudah janggal. Pihaknya dimintai proposal dua hari sebelum penutupan.
Untuk kegiatan sekelas POP, tentu saja pembuatan proposal dalam waktu singkat bukanlah jalan yang benar. Secara, POP adalah kegiatan pendidikan yang diracik untuk jangka panjang. Itu pun kalau pemerintah mau melihat buah dari kebijakannya sendiri.
Dari sini, kita cukup memahami bahwa NU bukannya tidak mau membantu pemerintah dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan. NU sudah jadi pelopor penggerak malahan, yaitu sejak Indonesia belum merdeka.
Bahkan, baguslah NU dan Muhammadiyah mundur karena kejanggalan POP ala Kemendikbud. Itu semakin menunjukkan keseriusan sekaligus komitmen mereka untuk pendidikan.
Di awal-awal rencana program POP saja sudah ternilai janggal, berarti ada poin-poin penting dari program ini yang harus diubah oleh Mas Nadiem dan kawan-kawan.
 Awas Kualat! Kemendikbud Sebaiknya Segera Introspeksi Diri
Baru-baru ini, ada pernyataan menarik sekaligus pedas yang dilontarkan oleh Cak Imin. Beliau mewanti-wanti bahwa Mas Nadiem bisa kualat kalau ke depannya tidak melibatkan ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah.
"Saya tadi ngetwit hari ini protes kepada Mendikbud. Tolong jangan pernah melupakan sejarah peran Nahdlatul Ulama dalam pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Termasuk Muhammadiyah,"
"Jadi apapun kebijakannya jangan sampai pernah tidak melibatkan NU dan juga Muhammadiyah. Kalau enggak kualat, itu minimal yang terjadi,"
Begitu ujar pria yang disapa Cak Imin di Harlah PKB di Jalan Raden Saleh, Jakarta, Kamis (23/7).
Agaknya, inilah salah satu teguran keras yang mengharuskan Mas Nadiem dan Kemendikbud segera introspeksi diri. Baik NU, Muhammadiyah, hingga Cak Imin semuanya mencoba mengingatkan Kemendikbud tentang sejarah.
Biar bagaimanapun eloknya sebuah program pendidikan, Mas Nadiem dan Kemendikbud tetap perlu duduk satu meja bersama NU dan Muhammadiyah. Secara, kedua ormas ini sudah punya puluhan ribu satuan pendidikan yang tersebar di Indonesia.
Sebenarnya cukup wajar bila kemudian POP dinilai janggal. Cukup rancu malahan.