Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Awas Kualat! Kemendikbud Sebaiknya Segera Introspeksi Diri

24 Juli 2020   12:07 Diperbarui: 24 Juli 2020   13:42 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Nadiem saat peluncuran Program Organisasi Penggerak. Dok Kemendikbud via KOMPAS

Siapa yang akan menyangka bahwa salah satu program Merdeka Belajar Mas Nadiem bersama Kemendikbud yang berjudul "Organisasi Penggerak" akan menuai polemik. Padahal dulu saat diluncurkan, program ini diharapkan mampu menjadi inisiator program Merdeka Belajar lainnya.

Antara Organisasi Penggerak, Sekolah Penggerak, hingga Guru Penggerak, agaknya ini adalah satu paket program Merdeka Belajar yang ke depannya sukar untuk dipisahkan. Guru butuh sekolah, sekolah butuh organisasi, dan organisasi juga butuh guru dan sekolah.

Ketiga program ini semestinya bisa berjalan bersama karena akan menimbulkan hubungan timbal-balik yang kemudian berlanjut pada hubungan sebab-akibat. Sebab ada guru, sekolah penggerak akan berjaya. Sebab ada sekolah, tuah organisasi akan terlihat. dan begitu seterusnya.

Namun, belum sempat kita membayangkan hubungan sebab-akibat yang positif ini, ternyata ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mulai mengangkat kaki alias beranjak mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP).

Padahal kedua organisasi Islam ini adalah yang terbesar di bumi Pertiwi. Baik NU maupun Muhammadiyah sudah berkontribusi besar atas kemajuan pendidikan Indonesia.

Sudah tak terhitung berapa sekolah, pesantren, hingga madrasah yang lahir dari organisasi ini. Itu merupakan bagian dari sejarah yang luar biasa menurut saya, dan sejarah tidak bisa kita pandang hanya dengan sebelah mata. Apalagi hanya demi kepentingan golongan tertentu saja.

Maka dari itulah, apa jadinya sebuah program pendidikan tanpa keterlibatan langsung dari kedua ormas ini. Muhammadiyah mundur, dan NU juga mundur.

Dari sisi Muhammadiyah, ada 3 alasan krusial mengapa mereka memilih untuk mundur dari keikutsertaan.

Disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kasiyarno yang tertuang dalam situs resmi Muhammadiyah, alasan ormas ini mundur dari POP Kemendikbud RI, yaitu:

  • Kasiyarno menegaskan bahwa Persyarikatan Muhammadiyah sudah banyak membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sejak sebelum Indonesia merdeka, sehingga tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam POP.
  • Kriteria pemilihan ormas dan Lembaga Pendidikan yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas dan tidak transparan.
  • Muhammadiyah akan tetap berkomitmen membantu pemerintah dalam meningkatkan sektor pendidikan walau tanpa keikutsertaan mereka dalam POP.

Meskipun Muhammadiyah sudah menyatakan mundur dari keikutsertaan, kita selalu bangga dengan komitmen bahwa ormas ini terus berkontribusi agar pendidikan Indonesia semakin mengudara.

Lalu, bagaimana dengan NU?

Alasan NU mundur dari Program Organisasi Penggerak ala Mas Nadiem dan Kemendikbud tidak jauh berbeda.

Ketua LP Ma'arif NU KH Arifin Junaidi menilai, program Kemdikbud tersebut dari awal sudah janggal. Pihaknya dimintai proposal dua hari sebelum penutupan.

Untuk kegiatan sekelas POP, tentu saja pembuatan proposal dalam waktu singkat bukanlah jalan yang benar. Secara, POP adalah kegiatan pendidikan yang diracik untuk jangka panjang. Itu pun kalau pemerintah mau melihat buah dari kebijakannya sendiri.

Dari sini, kita cukup memahami bahwa NU bukannya tidak mau membantu pemerintah dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan. NU sudah jadi pelopor penggerak malahan, yaitu sejak Indonesia belum merdeka.

Bahkan, baguslah NU dan Muhammadiyah mundur karena kejanggalan POP ala Kemendikbud. Itu semakin menunjukkan keseriusan sekaligus komitmen mereka untuk pendidikan.

Di awal-awal rencana program POP saja sudah ternilai janggal, berarti ada poin-poin penting dari program ini yang harus diubah oleh Mas Nadiem dan kawan-kawan.

 Awas Kualat! Kemendikbud Sebaiknya Segera Introspeksi Diri

Baru-baru ini, ada pernyataan menarik sekaligus pedas yang dilontarkan oleh Cak Imin. Beliau mewanti-wanti bahwa Mas Nadiem bisa kualat kalau ke depannya tidak melibatkan ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah.

"Saya tadi ngetwit hari ini protes kepada Mendikbud. Tolong jangan pernah melupakan sejarah peran Nahdlatul Ulama dalam pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Termasuk Muhammadiyah,"

"Jadi apapun kebijakannya jangan sampai pernah tidak melibatkan NU dan juga Muhammadiyah. Kalau enggak kualat, itu minimal yang terjadi,"

Begitu ujar pria yang disapa Cak Imin di Harlah PKB di Jalan Raden Saleh, Jakarta, Kamis (23/7).

Agaknya, inilah salah satu teguran keras yang mengharuskan Mas Nadiem dan Kemendikbud segera introspeksi diri. Baik NU, Muhammadiyah, hingga Cak Imin semuanya mencoba mengingatkan Kemendikbud tentang sejarah.

Biar bagaimanapun eloknya sebuah program pendidikan, Mas Nadiem dan Kemendikbud tetap perlu duduk satu meja bersama NU dan Muhammadiyah. Secara, kedua ormas ini sudah punya puluhan ribu satuan pendidikan yang tersebar di Indonesia.

Sebenarnya cukup wajar bila kemudian POP dinilai janggal. Cukup rancu malahan.

Yang menjadikan ada kerancuan di sini adalah, mengapa dulu Kemendikbud tidak langsung menggandeng kedua ormas ini dalam meracik Program Organisasi Penggerak. Setelah digandeng, barulah kemudian ajak organisasi-organisasi baru untuk kerja sama dengan mengikuti seleksi.

Dengan begitu, rasanya asas transparansi program kerja, perekrutan dan biaya bisa lebih terang. Secara, POP adalah program besar yang akan menelan ratusan milyar. Kalau tak ada transparansi yang terang, maka Mas Nadiem benar-benar akan kualat.

Apalagi yang Mas Nadiem gandeng sebagai mitra POP sekaligus mendapat subsidi saat ini adalah Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation, jelas Kemendikbud akan dipelototin lebih dalam lagi.

Dan sayangnya, kalau sudah berbicara anggaran, kebijakan POP akan lebih sensitif lagi.

Bagaimana tidak, menurut anggota Komisi X DPR Illiza Sa'aduddin Djamal, anggaran POP yang direncanakan sebesar Rp 595 miliar per tahun di Komisi X masih berupa pagu indikatif.

Maknanya, POP perlu dibahas lebih lanjut di Komisi X.

Maka dari itulah, sembari menuntaskan pembahasan ini, Mas Nadiem dan Kemendikbud perlu introspeksi diri serta melakukan evaluasi besar-besaran terhadap POP.

Sederhananya, cobalah untuk lebih terbuka dan melibatkan ormas besar yang berkiprah di bidang pendidikan. Katakanlah seperti NU, Muhammadiyah, PGRI, dan beberapa organisasi lainnya.

Sayangnya, tertanggal 24 Juli 2020 alias hari ini, PGRI pun ikut mengundurkan diri dari keikutsertaan dalam Program Organisasi Penggerak.

PGRI melalui Ketua Umum Pengurus besar memandang bahwa dana yang telah dialokasikan untuk POP akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk membantu siswa, guru/honorer, penyediaan infrastruktur di daerah khususnya di daerah 3 T, dalam menunjang PJJ di masa pandemi.

Lalu, apalagi yang diharapkan dari program ini jikalau tak ada organisasi besar seperti NU, Muhammadiyah, hingga PGRI? 

Padahal, kehadiran ormas besar seperti ini sangat diperlukan. Bukan sekadar untuk ikut serta dalam pendaftaran, melainkan juga dilibatkan dalam perencanaan program kerja. Entah bagaimana nasib POP. Perlu introspeksi diri? Itu pun, kalau POP mau tetap jalan.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun