Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kendala Pendidikan Menyeruak dan Kebijakan Sering Telat, Bagaimana Ini, Mas Nadiem!

4 Juni 2020   16:39 Diperbarui: 4 Juni 2020   17:28 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Nadiem menyinggung saat menghadiri Rakornas Bidang Kebudayaan di Jakarta (26/2/2020). DOK. Kemendikbud via KOMPAS

Terhitung, sudah tiga bulan negeri ini menggelar pendidikan di tengah pandemi. Keretanya bernama Merdeka Belajar, bahan bakarnya bernama teknologi, dan penumpangnya adalah para siswa dengan profil alias karakter Pancasila.

Walaupun keadaannya begitu susah sebagai imbas dari Covid-19, layanan pendidikan tetap mampu digelar. Dari yang sebelumnya belajar tatap muka di kelas, diganti menjadi belajar dari rumah. Hasilnya memang tidaklah efektif. Tapi, ya, mau bagaimana lagi!

Bersandar dari konsep Merdeka Belajar, baik guru maupun siswa dipersilakan untuk belajar kapanpun, di manapun, dan menggunakan media apapun. Guru dituntut untuk kreatif dan inovatif, sedangkan siswa dituntut untuk berpikir kritis serta memperkuat karakter.

Lalu, apakah yang didapatkan hari ini?

Seiring dengan digelarnya pembelajaran dari rumah, akhirnya muncullah kendala-kendala pendidikan dari berbagai penjuru bumi Indonesia.

Mulai dari tidak efektifnya gelaran pembelajaran daring, guru-guru yang dinilai gagal paham dan gagap teknologi, kejenuhan siswa, hingga permasalahan UKT yang baru-baru ini viral dengan tagar #MendikbudDicariMahasiswa semuanya begitu memusingkan.

Hebatnya, tiap-tiap kendala ini berjalan dengan menyeruak dan menyusup sampai ke meja kerja Mas Nadiem selaku Mendikbud. Ups, ada dua kendala krusial pendidikan lain yang tidak kalah mengejutkan, yaitu belum tersedianya jaringan internet dan listrik di sebagian daerah.

Siapa yang kaget dengan fakta ini? Siapa lagi kalau bukan Mas Nadiem. Guru-guru tak mungkin terkejut karena fakta-fakta kesenjangan pendidikan di lapangan telah mereka makan tiap hari.

Jika dipikir-pikir lagi, sangat wajar bila Mas Nadiem kaget. Toh, hari demi hari sejak Mas Nadiem menduduki kursi empuk Mendikbud, beliau belum sempat jalan-jalan, bukan? Lalu, apalagi yang didapatkan hari ini?

Sejenak, mari kita singgah kepada kendala yang dialami oleh pendidikan tinggi. Ada konsep Merdeka Belajarnya juga, kan? Yup, lebih tepatnya kebijakan Kampus Merdeka. Yang didapat darinya baru-baru ini adalah alarm tentang 5 dosa besar pendidikan tinggi.

Dosa-dosanya disampaikan oleh Pelaksana tugas Dirjen Dikti Kemendikbud, Nizam, di Padang, Rabu, 3 Juni 2020.

Pertama, ada radikalisme dan kekerasan. Kedua, dosa kekerasan seksual. Ketiga, dosa perundungan terhadap mahasiswa. Keempat, dosa narkotiba dan obat terlarang. Kelima, dosa korupsi.

Yang cukup populer dari konsep Merdeka Belajar pada tingkat pendidikan dasar/menengah adalah kekagetan Mas Nadiem akan fasilitas, dan yang digaungkan pada konsep Merdeka Belajar di tingkat pendidikan tinggi adalah dosa-dosa. Agaknya cukup lucu.

Dari sini, wajar kiranya Mas Nadiem terus jadi perbincangan dan dicari-cari oleh pelaku pendidikan. Bagaimana tidak, harapan negeri ini terhadap kemajuan pendidikan juga bergantung dengan kebijakan sang Mendikbud.

Jika kebijakannya sesuai harapan yang memayungi para pelaku pendidikan secara mayoritas, maka pendidikan bisa segera maju dan mengejar ketertinggalan. Tapi, jika kebijakannya berada di ruang sempit yang bernama kantor kerja Kemendikbud, maka pendidikan kita akan Mandek.

Dan kenyataan hari ini? Berkaca dari kebijakan-kebijakan yang sudah ada, dengan berat hati saya nilai bahwa kebijakan Mas Nadiem sering telat.

Contoh pertama, mengenai kebijakan belajar dari rumah pada awal-awal pandemi. Yang digertak kuat untuk mendukung layanan pendidikan pada awalnya adalah media digital.

Tapi setelah berjalan, muncullah anggapan bahwa guru gagal paham, guru hanya memberi tugas, hingga berakibat pada banyaknya aduan dari siswa. Tercatat ada 213 keluhan siswa yang diterima oleh KPAI dari 16 Maret hingga 9 April 2020 dengan tajuk "tugas maha berat."

Apakah semua ini salah guru? Ups, tidak bisa kita simpulkan secepat itu. Toh, guru juga terkejut. Coba ada pelatihan kompetensi guru daring selama 3-5 hari waktu itu, mungkin nuansanya akan berbeda.

Bahkan, Mas Nadiem juga bisa kaget lebih dini karena ada laporan dari guru bahwa di daerah A, B, C, D, hingga E tak kuasa menggelar daring.

Contoh kedua, mengenai kurikulum darurat pandemi. Semenjak KPAI mulai menerima aduan keluhan siswa, usul untuk penerbitan kurikulum darurat kian gencar. Saran dan persetujuan muncul dari KPAI, organisasi guru, hingga guru-guru itu sendiri.

Kurikulum darurat dianggap penting karena sejatinya guru-guru perlu adaptasi mengajar. Isinya? Pemangkasan materi ajar, metode ajar, hingga nilai-nilai karakter yang bisa diwujudkan di tengah pandemi.

Tapi kini? Guru tetap Merdeka Mengajar alias berinovasi sesuai dengan silabus dan RPP yang mereka punyai dan usul tentang kurikulum darurat masih bergaung-gaung hingga hari ini.

Terbaru, ada usul dari Kak Seto yang menyebut bahwa kurikulum saat ini sedang berada pada situasi darurat sehingga perlu dilahirkan kurikulum darurat yang tidak mewajibkan anak-anak kejar target.

"Tidak harus selalu mengejar target dulu. Jangan sampai anak tercapai semua target kurikulum, tapi kemudian mohon maaf, harus konsultasi dengan rumah sakit jiwa karena anak stres," terang Kak Seto, Rabu (3/6/2020).

Lalu, apakah dalam waktu dekat ini akan muncul kurikulum darurat itu? Walaupun nanti muncul dengan nama "Kurikulum New Normal ala Kemendikbud", tetap saja tidak bisa dimungkiri bahwa kebijakan itu terlambat.

Belum selesai, ada pula contoh ketiga yaitu polemik UKT. Kuliah via daring, tapi UKT tetap dibayar sebagaimana mestinya. Mahasiwa lalu menuntut keringanan dan pengembalian UKT dengan memviralkan beberapa tagar untuk Mas Nadiem.

Karena sudah terlanjur viral, muncul tanggapan dari Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Nizam yang memastikan bahwa tidak ada kenaikan UKT di masa pandemi Covid-19. Keputusan lebih lanjut diatur oleh masing-masing perguruan tinggi.

Lha, UKT minta dikembalikan. Bukankah ini adalah salah satu bentuk dari telatnya kebijakan Mas Nadiem? Kalau bisa selesai di tangan para rektor, tidak mungkin mahasiswa mau repot-repot mengadu kepada Mas Nadiem.

Bagaimana ini, Mas Nadiem!

Mas Nadiem Makariem dalam peluncuran Empat Pokok Kebijakan Pendidikan ?Merdeka Belajar?, di Jakarta, Rabu (11/12/2019). DOK. KEMENDIKBUD via KOMPAS
Mas Nadiem Makariem dalam peluncuran Empat Pokok Kebijakan Pendidikan ?Merdeka Belajar?, di Jakarta, Rabu (11/12/2019). DOK. KEMENDIKBUD via KOMPAS

Kembali kepada konsep Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Sejatinya mayoritas pelaku pendidikan merespon positif gebrakan-gebrakan yang Mas Nadiem munculkan dalam berbagai jahitan benang-benang Merdeka Belajar.

Meski demikian, agaknya kebijakan ini masih terlalu umum dan belum sepenuhnya mampu menyelesaikan berbagai kendala pendidikan yang telah menyeruak. Mungkin bisa selesai, tapi kesannya respon mengeluarkan kebijakannya cukup telat.

Bahkan, Koordinator Nasional Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menilai bahwa kendala-kendala yang tampak di lapangan mengindikasikan peran Mas Nadiem sebagai Mendikbud belum terlihat di masyarakat.

"Kalau saya lihat gagap, artinya selalu terlambat. Ketika kemarin bencana (sekolah rubuh) orang mencari-cari Mas Menteri di mana. Ketika situasi pandemi orang mencari-cari Mas Menteri di mana," tuturnya Ubaid, Rabu (3/6/2020).

Beliau juga menambahkan bahwa selama ini Kemendikbud terpaku di balik konsep Merdeka Belajar yang diusung Mas Nadiem. Di mana pendidik dan institusi pendidikan diberikan kebebasan penuh untuk berinovasi dalam menjalankan pendidikan.

Secara, kebebasan jika diartikan "lepas sama sekali" malah sangat bahaya bagi sektor pendidikan. Belajar, mengajar, dan kuliah memang Merdeka. Tapi, apakah sektor sarana, prasarana, serta kondisi di lapangan sudah mampu mendukung sepenuhnya?

Bagaimana ini, Mas Nadiem! Jika kendala-kendala pendidikan seperti yang disebutkan di atas tadi terus dibiarkan menyeruak dan bertumbuh-tumbuh tanpa ada solusi dalam waktu dekat, rasanya kereta Merdeka Belajar perlahan akan ngadat, bahkan berhenti di tengah jalan.

Lagi-lagi ini alamat bahaya. Sebenarnya maunya kita, walaupun suasananya masih pandemi, layanan pendidikan tetap bisa terus dimaksimalkan. Kendala-kendala belajar jarak jauh diatasi, masalah-masalah media ajar ditangani, dan para mahasiswa diberi solusi.

Sepertinya Mas Nadiem bersama Kemendikbud perlu lebih banyak berbicara dan menjalin komunikasi aktif terhadap seluruh stakeholder pendidikan. Bagusnya jalan-jalan, sih. Tapi karena situasinya tak memungkinkan, maka Mas Nadiem perlu diskusi dengan banyak pihak.

Mungkin Mas Nadiem tidak sempat dengar usul dari guru-guru di Indonesia. Apalagi seperti kami yang mengajar di daerah pelosok. Tapi, masih ada PGRI, ada IGI, ada FGII, FSGI, ada banyak pengamat pendidikan, dan ada pula Unicef Indonesia.

Saya yakin seutuhnya bahwa orang-orang pintar dan cerdas tidak hanya mereka yang bekerja di kantor Kemendikbud saja.

Sudah saatnya Mas Nadiem bersama Kemendikbud membuka ruang opini dan masukan-masukan dari berbagai pihak. Tapi, dengan kerelaan dan kelapangan hati tentunya. Plus, demi menata wajah pendidikan negeri ini agar lebih cerah.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun