Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hardiknas 2020, Membalut Kembali Luka Wajah Pendidikan yang Sudah "Ditampar" oleh Covid-19

2 Mei 2020   08:00 Diperbarui: 3 Mei 2020   09:17 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Kemendikbud

Agaknya tahun 2020 merupakan periode yang cukup suram bagi dunia pendidikan Indonesia. Dimulai dari bencana banjir awal tahun, kemudian muncul bertubi-tubi kasus sedih seperti perundungan terhadap siswa, kekerasan seksual, hingga kisah pilu SMPN 1 Turi.

Tambah lagi dengan kehadiran Covid-19, rasanya semakin terbongkar saja ketimpangan pendidikan kita hari ini. Cukup cocok untuk digaungkan sebagai tema utama di Hari Pendidikan Nasional 2020.

Terang saja, semenjak pagebluk ini singgah di bumi Pertiwi, kesiapan pendidikan kita begitu terasa sedang diuji. Niat dan harapan digitalisasi seakan diterpa badai pesimistis, imbas dari ketidak-kuasaan negeri menggelar pembelajaran daring.

Bagaimana mau kuasa jika kalimat indah "tiap-tiap orang berhak atas pendidikan" malah diubah menjadi pernyataan timpang bernada "sebagian daerah bersinyal internet saja yang berhak atas pendidikan."

Buktinya? Setiap daerah menjalani pendidikan dan pembelajaran sesuai dengan kemampuan mereka. Yang mampu daring, silahkan. Yang hanya mampu nonton TVRI, lanjutkan. Sedangkan yang tidak mampu daring maupun nonton TVRI paling-paling hanya mendambakan.

Dari ketimpangan-ketimpangan inilah akhirnya kita sadar bahwasannya wajah pendidikan kita sebenarnya sudah ditampar 3 kali. Sakitnya, keberadaan Covid-19 semakin menjelaskan "memar merah" dari hak segala rakyat.

Tamparan 1: Bobroknya Karakter

Apa kabar karakter generasi penerus bangsa hari ini?

Seperti penyampaian di awal tadi, agaknya karakter pelajar di tahun ini begitu tampak bobroknya. Kita cukup bingung mau menyandarkan karakter ini dengan hal apa. Soalnya, kalau disandarkan kepada nilai pelajaran PKN atau Agama, nilai tinggi tidak ekuivalen dengan adab.

Padahal, adab adalah bagian penting dari karakter. Jika kita ibaratkan karakter itu adalah langit terang, maka adab bisa diumpamakan sebagai terbitnya matahari. Maknanya, jika adab tak kunjung terbit, maka langit cerah alias karakter tidak akan mampu menerangi.

Padahal saya mengira bahwa kehadiran Covid-19 sebagai ujian di bumi Indonesia akan mengurangi tamparan telak terhadap wajah pendidikan. Tapi nyatanya, malah sama saja. Salah satu buktinya adalah pelajar SMA yang melakukan kegiatan unfaedah di medsos pada April lalu.

Dari sini, agaknya karakter anak muda negeri ini butuh perbaikan karakter secara mendesak. Kasihan dengan wajah pendidikan, jika harus terus mendapat tamparan telak.

Tamparan 2: Stigma Kurikulum Pendidikan

Kalau sudah berpijak ke kurikulum dan menteri, biasanya ada-ada saja stigma yang tertinggal di benak para pendidik dan masyarat di berbagai sudut bumi Indonesia. Stigma yang populer adalah "Ganti Menteri, Ganti Kurikulum."

Jangankan pendidik, para pelajar pun bisa jadi ikut berstigma terhadap kurikulum. Terang saja, sebagian dari mereka pernah menjalani sistem uji coba Kurikulum 2013. Dari sana, mereka pasti berbicara banyak tentang bagaimana repotnya mencari materi dan keruwetan Tematik.

Tambah lagi jika kita sandingkan kurikulum dengan bencana Covid-19, maka semakin sakitlah kening ini karena harus ditepuk dengan tangan sendiri.

Bagaimana tidak sakit, sejak wabah coronavirus melanda kurikulum kita tampak banyak cacatnya. Buktinya? Beberapa kali KPAI menegaskan permintaannya kepada Mas Nadiem untuk ganti kurikulum. Padahal, ganti kurikulum itu susah, tidak semudah ganti baju.

Jika sudah seperti ini, bagaimana stigma tadi bisa berubah, apalagi menghilang. Tapi, semoga saja kebijakan Merdeka Belajar Mas Nadiem mampu berbicara banyak dan menghapus stigma pendidikan.

Tamparan 3: Senjangnya Sarana dan Prasarana Pendidikan

Sebenarnya di awal-awal terpilihnya Mas Nadiem sebagai Mendikbud, praduga senjang pendidikan dari sisi sarana dan prasarana cukup sering digaungkan. Penyebabnya adalah kehebatan Mas Nadiem dalam meramu Gojek.

Dari sana, digencarkanlah isu-isu digitalisasi yang yang membuat pendidikan di negeri ini serasa terkejut.

Bagaimana tidak terkejut, entah karena negeri ini terlalu luas atau malah belum mampu memberikan fasilitas pendidikan yang mumpuni, akhirnya sekolah-sekolah pelosok berasa seperti gerbong kereta yang tertinggal.

Terang saja, sekolah-sekolah pelosok sudah punya fasilitas apa. Jangan-jangan listrik dan akses jalan ke sekolah saja masih belum layak!

Baca Dikit: Digitalisasi Pendidikan ala Nadiem dan Gerbong Kereta yang Tertinggal

Tambah lagi dengan munculnya Covid-19, pas kiranya wajah pendidikan kita makin sakit kena tampar. Di awal-awal kebijakan populer berhastag "Belajar dari Rumah", mulailah banyak sekolah kaget dengan nama-nama asing seperti Zoom, Google Classroom, dan sejenisnya.

Terutama sekolah yang kesusahan dalam akses sinyal, kagetnya bukan kepalang, karena mereka belum mampu bicara tentang daring alias pembelajaran via maya. Mungkin dulu para pendidiknya pernah ikut pelatihan, tapi jika sekolah belum ada fasilitas, apalah daya.

Di sinilah kemudian negeri ini begitu membutuhkan yang namanya pemerataan pendidikan, terutama dari segi sarana dan prasana. Tapi entahlah, yang namanya pemerataan bukanlah mudah. Barangkali gaungan keras yang bisa kita teriakkan saat ini adalah pendidikan inklusif.

Beberapa Solusi Untuk "Membalut Luka" Wajah Pendidikan Kita

Semoga wajah pendidikan kita lebih cerah. Gambar dari pxhere.com
Semoga wajah pendidikan kita lebih cerah. Gambar dari pxhere.com

Karena sudah banyak tamparan dan memar di wajah pendidikan, kiranya kita butuh yang namanya obat pembalut alias penyembuh. Kebutuhan ini begitu mendesak karena jika luka di wajah pendidikan dibiarkan menganga, maka hancurlah generasi masa depan bangsa ini.

Sejatinya, kita tidak perlu meratapi kenyataan miris pendidikan terlalu dalam. Kehadiran Covid-19 sudah menegaskan bahwa negeri ini butuh perbaikan dan pada momentum Hardiknas inilah saatnya kita hadirkan solusi-solusi terbaik untuk negeri. Adapun solusi yang ditawarkan:

Pertama, Meluruskan Orientasi Pendidikan Karakter

Saya, dan mungkin kita semua mau mengakui bahwa desain pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Kurikulum 2013 cukup bagus. Tentu saja, di dalamnya ada orientasi baru yang mengarah pada perbaikan adab dan perilaku. Tambah lagi, banyak pula muatan karakternya.

Andai tawaran ini dimakan sepenuhnya oleh siswa, tentulah sangat bergizi dan menyehatkan karakter. Namun, kenyataan yang ada di lapangan masih berbicara lain. Kita masih setengah-setengah dalam mengonsumsi pendidikan karakter.

Penetapan ranking di sekolah masih menjadi pandangan yang belum mampu kita ubah dengan gesit. Orientasi nilai masih bersandar pada ketuntasan teori dan kehebatan karakter siswa hanya berdasar pada nilai rapor semata. Nilai rapor tinggi-tinggi, tapi karakter cenderung rendah.

Darinya, perbaikan yang bisa ditawarkan adalah meluruskan kembali orientasi pendidikan karakter. Dari yang orientasinya kognitif, kita sejalankan ke afektif alias berorientasi kepada sikap.

Cukup berat memang, semua pihak harus bekerja sama. Tapi yakinlah, negeri ini mampu. Kita hanya perlu mengingat dan merenungkan kembali tentang apa sebenarnya tujuan pendidikan.

"Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan." Tan Malaka

Kedua, Maksimalkan Desentralisasi Pendidikan

Selama ini, sekolah-sekolah di daerah cukup mudah terkejut dengan kebijakan-kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat terkait dengan pemantapan pendidikan. Gara-gara itu, pemerintah daerah setempat mesti cepat melakukan sosialisasi dan pelaksanaan kebijakan.

Namun, karena negeri ini begitu luas dan pemerataan pendidikan masih terus dalam kajian akhirnya sekolah-sekolah di daerah mudah ketinggalan.

Baik dari segi kebijakan, sosialisasi aplikasi dan program baru pemerintah pusat, hingga revisi kurikulum, daerah bisa saja telat respon. Jikapun bisa merespon, kadang mereka malah susah sendiri karena keterbatasan fasilitas pembelajaran, sarana dan prasarana pendidikan.

Untuk mengantisipasi hal ini, rasanya pemerintah dapat memaksimalkan kembali yang namanya desentralisasi pendidikan alias memberikan kekuasaan pendidikan yang lebih banyak terhadap pemerintah daerah.

Untuk saat sekarang, kiranya tawaran kebijakan Merdeka Belajar ala Mas Nadiem sudah mulai mengarah ke sana. Terang saja, kita tidak bisa terus berharap tentang pemerataan pendidikan yang bisa dipercepat, karena jawabannya adalah "masih dalam proses."

Sudah saatnya sekolah-sekolah di daerah menggaungkan kemerdekaan pendidikan mereka sendiri. Toh, guna utamanya adalah untuk kemajuan di daerahnya sendiri. Ada budaya-budaya lokal yang mesti harus dipertahankan. Dan budaya lokal adalah kekayaan bagi negeri ini.

"Pendidikan dan pengajaran di dalam republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin, serta keselamatan hidup akhir." Ki Hadjar Dewantara

Ketiga, Tolong, Jangan Ada Politisasi dalam Pendidikan

Mengapa perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia sudah seakan jadi stigma? Mungkin unsur politisasi inilah jawabannya. Gabungan antara politisasi dengan pendidikan sepertinya cukup sensitif.

Terang saja, anggaran penyelenggaraan pendidikan tidaklah sedikit sehingga kesempatan untuk mengutamakan kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan bagi seorang pemimpin cukup terbuka. Nafsu, syahwat duniawi, dan kekokohan iman berbicara banyak di sini.

Dari sinilah kita kemudian butuh pemimpin yang adil dan bijaksana dalam mengelola pendidikan. Ibaratkan seorang guru, pemimpin juga harus mempunyai panggilan jiwa untuk memaksimalkan penyelenggaraan pendidikan di negeri ini.

Jika sudah punya panggilan jiwa, agaknya kebijakan yang lahir untuk dunia pendidikan di bumi Pertiwi tidak lagi terkesan otoriter, tumpang-tindih, plintat-plintut, dan asal sah. Kemurnian niat yang seperti ini begitu penting, terutama untuk mewujudkan hak pendidikan untuk semua.

Akhirnya, kita selalu rindu dengan kualitas pendidikan negeri yang berkemajuan. Meskipun tantangan selalu ada dan kesulitan di sana-sini selalu muncul, yakinlah bahwa masih banyak dari kita yang peduli dengan kemajuan pendidikan.

Keberadaan bencana Covid-19 sejatinya bukanlah dihadirkan untuk menampar wajah pendidikan kita. Ujian berupa wabah ganas ini hanya menginginkan negeri untuk segera melakukan perbaikan, terutama untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik.

Jadi, tetaplah sehat, tetaplah semangat, tetaplah berjuang bersama, dan selamat Hari Pendidikan Nasional.

Ditulis untuk Indonesiaku tercinta. Sabtu, 02 Mei 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun