Terang saja, sekolah-sekolah pelosok sudah punya fasilitas apa. Jangan-jangan listrik dan akses jalan ke sekolah saja masih belum layak!
Baca Dikit:Â Digitalisasi Pendidikan ala Nadiem dan Gerbong Kereta yang Tertinggal
Tambah lagi dengan munculnya Covid-19, pas kiranya wajah pendidikan kita makin sakit kena tampar. Di awal-awal kebijakan populer berhastag "Belajar dari Rumah", mulailah banyak sekolah kaget dengan nama-nama asing seperti Zoom, Google Classroom, dan sejenisnya.
Terutama sekolah yang kesusahan dalam akses sinyal, kagetnya bukan kepalang, karena mereka belum mampu bicara tentang daring alias pembelajaran via maya. Mungkin dulu para pendidiknya pernah ikut pelatihan, tapi jika sekolah belum ada fasilitas, apalah daya.
Di sinilah kemudian negeri ini begitu membutuhkan yang namanya pemerataan pendidikan, terutama dari segi sarana dan prasana. Tapi entahlah, yang namanya pemerataan bukanlah mudah. Barangkali gaungan keras yang bisa kita teriakkan saat ini adalah pendidikan inklusif.
Beberapa Solusi Untuk "Membalut Luka" Wajah Pendidikan Kita
Karena sudah banyak tamparan dan memar di wajah pendidikan, kiranya kita butuh yang namanya obat pembalut alias penyembuh. Kebutuhan ini begitu mendesak karena jika luka di wajah pendidikan dibiarkan menganga, maka hancurlah generasi masa depan bangsa ini.
Sejatinya, kita tidak perlu meratapi kenyataan miris pendidikan terlalu dalam. Kehadiran Covid-19 sudah menegaskan bahwa negeri ini butuh perbaikan dan pada momentum Hardiknas inilah saatnya kita hadirkan solusi-solusi terbaik untuk negeri. Adapun solusi yang ditawarkan:
Pertama, Meluruskan Orientasi Pendidikan Karakter
Saya, dan mungkin kita semua mau mengakui bahwa desain pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Kurikulum 2013 cukup bagus. Tentu saja, di dalamnya ada orientasi baru yang mengarah pada perbaikan adab dan perilaku. Tambah lagi, banyak pula muatan karakternya.
Andai tawaran ini dimakan sepenuhnya oleh siswa, tentulah sangat bergizi dan menyehatkan karakter. Namun, kenyataan yang ada di lapangan masih berbicara lain. Kita masih setengah-setengah dalam mengonsumsi pendidikan karakter.