Begitulah awal "kerusuhan" di grup WA sekolah yang sering saya temui akhir-akhir ini. Dari sindiran tadi, pasti banyak guru-guru senior dan junior yang hadir dan menumpuk-numpuk chat di grup.
Awalnya memang sekadar mengapresiasi dengan mengirimkan emoji senyum maupun tertawa, tapi ujung-ujungnya akan hadir pertanyaan tentang kabar diri, kabar keluarga, kabar pekerjaan hingga kabar tentang buat kue lebaran.
Dari sinilah kemudian silaturahmi sesama anggota grup akan kembali menguat. Selama kerusuhan yang dimunculkan tadi tidak jauh melanggar batas alias etika bermedia sosial, maka seisi grup tetap akan menganggut dan menerima hiburan dengan lapang dada.
Andaipun grup WA tadi sudah mulai sepi layaknya TPU alias kuburan, tidak jarang ada beberapa anggota grup yang memilih melanjutkan chat via japri, istilah kerennya "Jalur Pribadi". Di sanalah jalinan tali silaturahmi akan menguat dan mengikat.
Meski demikian, yang cukup susah untuk dilakukan demi menyambung silaturahmi melalui grup WA adalah memulai percakapan. Anggota grup yang masih muda, cenderung takut dan segan untuk memulai. Begitu pula dengan anggota grup WA yang sudah senior.
Dalam hal ini, saya mengambil ungkapan peribahasa Rejang:
"Titik Jibeak Maghep Anak, Tuwei Ati Teu Si Bapak"
"Kecil Jangan Dianggap Anak, Tua Tidak Tahu Jika Bapak"
Maknanya, usia tidak selalu jadi patokan untuk memperoleh ilmu dari seseorang. Belum tentu yang lebih muda wawasannya juga muda, dan belum tentu pula yang lebih tua pengalamannya pasti tua.
Jadi, walaupun hanya sebatas percakapan di grup WA, jangan terlalu segan untuk memulai segala sesuatu yang baik. Tambah lagi jika ini tentang menguatkan tali silaturahmi, maka komunikasi via media sosial akan memberikan dampak yang cukup terasa di hati.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H