Tanpa berbekal pengalaman organisasi, aku pun dicalonkan oleh rekan-rekan mahasiswa PAI untuk menjadi ketua HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) PAI periode 2014-2015. Terpaksa? Tentu saja, tapi inilah cara keluar dari zona nyaman.
Selama menjadi ketua HMPS, aku mulai kenal dengan yang namanya banting lempar proposal, ribut sesama rekan, cara melaksanakan kegiatan, cara sambutan, bahkan cara pinjam sound system pun aku tahu. Hihi
Dan syukurnya, kesibukan ini tidak menjadikanku lalai dengan kuliah. Aku mendapatkan IP 4,0 dan kembali meraih beasiswa. Alhamdulillah, bisa bayar SPP dan beli HP Nokia X2, walaupun kini sudah terjual.Â
Pada semester lima, tidak ada masalah berarti dalam kuliahku. Paling sekadar bosan dan ngantuk-ngantuk beruk saat belajar.
Di semester enam, aku mulai sibuk berkecimpung di masyarakat melalui program Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) selama hampir tiga bulan. Tahu sebagai apa?
Ya, kalau tidak jadi imam, khotib, atau guru BTA di desa orang. lagi-lagi tugasku sudah tertebak. Memang sesuai dengan jurusanku, sih.
Setelah KPM, aku melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) sebagai guru di SMP Negeri 1 Rejang Lebong. Sekolah rujukan yang dulunya bertaraf internasional. Wah, agaknya gemetar badan ini saat pertama kali datang.
Dan hebatnya, guru PAI di SMP langsung memintaku untuk mengajar kelas akselerasi. Waduh! Pertanyaan siswanya tajam-tajam dan menusuk Loh... Beruntung aku bisa jawab. Hehe
Karena begitu banyak kesibukan tentang kuliah dan mengajar, aku tidak ingat lagi tentang Matematika. Saat aku mulai punya waktu lapang untuk merenung, tiba-tiba saja kepala SMP memintaku untuk menjadi pembina ekstrakulikuler Seni Baca Qur'an (SBQ).
Apa mau dikata? Sebenarnya aku sekadar guru BTA yang belum begitu lincah dalam berseni Qur'an, tapi kepala sekolah berikut dengan guru-gurunya begitu yakin.
Sekonyong-konyong, aku mulai repot. PPL jalan, pembina SBQ jalan, guru BTA jalan. Alhamdulillah tidak ada masalah berarti bagiku.