Ada-ada saja fenomena viral dan menyimpang yang terjadi pada generasi penerus bangsa, alias pelajar baru-baru ini. Kita sedang berduka sekaligus berperang untuk memberantas Covid-19, 3 siswi SMA di daerah Kalimantan Tengah malah buka-buka bra di Instagram.
Entah masih tersambung atau sudah terputus urat malunya, siswi ini kedapatan memamerkan payudaranya sambil bergoyang dengan iringan house musik saat live IG. Niatnya berawal dari adu adrenalin, tapi karena sudah terlalu berlebihan, akhirnya berani "buka-bukaan."
"Sepertinya dia itu keisengan, kemudian adu adrenalin, satu kesenangan yang terlalu berlebihan dia buka baju, yang lainnya merasa tertantang. Guyon-guyon," kata Kabid Humas Polda Kalteng Kombes Hendra Rochmawan pada Jumat (24/04/2020).
Sungguh disayangkan memang, keberadaan media sosial seperti Instagram yang diharapkan dapat memudahkan kita untuk berbagi informasi secara cepat malah disalahgunakan untuk menyebar aib dan dosa.
Terlebih lagi, saat ini kita sudah berjumpa dengan bulan mulia yang bernama ramadan. Umat muslim diwajibkan berpuasa untuk menata diri dan menata hati agar di hari esok semakin takwa serta terhindar dari perilaku dosa.
Tetapi, bobroknya karakter para generasi muda penerus bangsa ini tetap tidak dapat ditutupi. Tidak kenal dengan bulan mulia atau bulan biasa, perilaku menyimpang dengan menunjukkan organ intim perempuan seperti ini tetap bisa terjadi. Lahannya, lagi-lagi media sosial.
Itulah mengapa kita kadang bingung dengan kenyataan hari ini. Di satu sisi kita ingin sekali menanyakan mana orangtuanya, mengapa tidak diperhatikan. Tapi, di sisi lain kita juga prihatin karena siswi-siswi tadi hanyalah korban dari canggihnya teknologi.
Belum selesai di sana, kita juga merasa iba dengan orangtua mereka. Sudah berlelah fisik dan hati untuk membiayai anak sekolah, malah anaknya berperilaku sesuka hati tanpa ada sandaran etika. Apa mungkin mereka sudah lelah dengan kebijakan "di rumah aja"?
Beginikah Kabar Karakter Generasi Muda Hari ini?
Melihat fakta pilu ini, lagi-lagi kita ingin menyoal kembali tentang kondisi karakter generasi muda Indonesia. Sangat disayangkan sebenarnya, secara pribadi saya kira dengan adanya wabah Covid-19 kondisi karakter anak muda kian membaik karena lebih banyak di rumah aja.
Tapi, kenyataannya malah terbalik. Karakter anak muda terutama siswi SMA seakan tidak terpengaruh oleh wabah. Teknologi yang serba canggih hari ini seperti sudah jadi panglima yang menjadikan banyak orang kecewa, termasuk pihak Kemendikbud.
"Sangat memprihatinkan atas kelakuan siswa SMA tersebut. Berarti pendidikan karakter yang sudah dimulai sejak beberapa tahun terakhir ini, baik di keluarga dan di sekolah yang bersangkutan, tidak berhasil," ucap Plt Dirjen PAUD-Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad, pada Jumat (24/04/2020).
Terang saja, pendidikan berbasis karakter di negeri ini sudah diberlakukan sejak pertengahan tahun 2013, dengan nama Kurikulum 2013.
Ada banyak karakter-karakter utama yang selain berisikan adab, juga mengandung etika yang baik. Tapi, fakta "buka-bukaan" seakan sudah memberi cap gagal di kening pendidikan karakter. Lalu, siapakah yang memiliki tanggung jawab besar atas kegagalan ini?
Kemendikbud melalui Pak Hamid menambahkan bahwa lembaga pendidikan utama seperti keluarga dan sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap karakter anak.
Sebelumnya, Pak Hamid menyebutkan bahwa pendidikan karakter di Indonesia saat ini tidak berhasil, bukan? Berarti, yang salah orangtua dan guru, dong!
Mau tidak mau, kedua tokoh yang mengambil peran besar sebagai lembaga pendidikan utama bagi generasi muda penerus bangsa ini akan tersalahkan.
Andai anak berperilaku menyimpang di rumah, maka orangtua yang duluan disorot. Tapi jika di sekolah, maka guru yang jadi biang salah, baru kemudian disenggol orangtua. Tapi, karena sedang ada wabah Covid-19, berarti kasus buka-bukaan tadi terjadi di rumah, kan?
Lagi-lagi orangtua yang jadi biang utama kesalahan. Tapi, kalau terus salah dan menyalahkan rasanya fenomena ini tidak akan berhenti.
Guru jika disalahkan secara mutlak, ia bisa operkan ke orangtua. Orangtua jika disalahkan, ia akan oper-operan ke guru dan kurikulum. Lha, kurikulum mau menyalahkan siapa?
Sebenarnya, lembaga utama pendidikan alias lahan belajar anak tidaklah sekadar keluarga dan sekolah saja. Ada faktor lain yang juga ikut mempengaruhi karakter anak seperti lingkungan dan teman sebaya.
Namun, dalam konteks "buka-bukaan" live instagram yang diperankan oleh siswi tadi, maka yang patut menjadi sorotan adalah faktor pergaulan.
Dengan siapa siswi tadi biasanya bergaul, seperti apa perilaku teman-teman sebayanya, ke mana mereka sering ngumpul bareng, baik atau burukkah perilaku teman sebayanya, semua pertanyaan ini bisa jadi penyebab utama mengapa karakter anak muda bisa bobrok.
Terang saja, selain dengan orangtua di rumah, anak-anak muda cenderung lebih banyak menjalin komunikasi dengan teman-teman sebayanya. Tidak jarang, ada pula geng-geng aneh yang mereka ciptakan. Andai itu geng belajar, bagus. Tapi, kalau sebaliknya?
Sedikit mengulik pengalaman pribadi. Sejak SD hinggalah tamat kuliah orangtua saya cukup ketat dalam mengatur pergaulan saya. Ada teman baru yang datang ke rumah, orangtua saya minta dikenalkan dan dijelaskan seperti apa tindak-tanduknya.
Terus seperti itu, hingga akhirnya orangtua pun ikut-ikutan akrab dengan teman-teman saya. Bahkan, sikap perhatian ini juga diterapkan kepada dua adik-adik saya. Andai orangtua menemukan teman adik saya yang nakal, maka adik tidak boleh terlalu dekat dengannya.
Rasanya, beginilah semestinya para orangtua bersikap. Tidak cukup sekadar memberikan fasilitas belajar dan hak sekolah, orangtua juga sebaiknya peduli dengan lingkungan serta pergaulan anaknya.
Terlebih lagi saat ini, kekerasan seksual, perundungan serta bentuk kenakalan-kenakalan lainnya bisa saja terjadi di manapun, kapanpun dan melalui media apapun.
Sejatinya media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter maupun yang lainnya tidak pernah salah. Keberadaan media ini sangat bermaslahat andai digunakan untuk hal-hal yang positif.
Maka dari itulah, tanpa perlu menyalahkan siapapun, pendidikan karakter akan berhasil sesuai harapan jika semua pihak yang terkait dengan pendidikan bisa bekerja di jalan yang sama.
Orangtua peduli, guru peduli, lingkungan dan teman sebaya diseleksi serta pemerintah juga ikut mengawasi. Semoga kasus menyimpang seperti ini tidak terulang lagi.Â
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H