Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ramadan Murung, Tidak Bisa Lihat Anak-anak "Perang" Sarung

19 April 2020   20:07 Diperbarui: 20 April 2020   15:54 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelaksanaan shalat Tarawih pertama di Masjid Sunan Ampel Surabaya saat bulan Ramadan 16 Mei 2018. | Sumber: Kompas.com/Garry Andrew Lotulung

Marhaban ya Ramadhan. Tinggal hitungan jari, ramadan akan segera datang. Semoga dengan kesehatan diri dan kemantapan iman, kita tetap bisa menjalankan ibadah serta memetik bunga-bunga kemuliaan di setiap waktu ramadan.

Walau pandemi Covid-19 masih melanda, bersyukur kita karena masih diberi kesempatan umur oleh Allah SWT untuk mengarungi karunia ramadan tahun ini. Kita adalah orang-orang pilihan yang diberikan peluang untuk kembali menata dan memantapkan kualitas takwa.

Meski begitu, agaknya kali ini rasanya ramadan cukup kesepian. Seiring dengan keluarnya panduan beribadah di bulan puasa yang dituangkan oleh Kemenag dalam Surat Edaran No 6 tahun 2020, terungkap ada beberapa hal yang ke depannya belum bisa kita maksimalkan.

Dalam waktu dekat belum akan kita temui lagi momen berbuka puasa bersama, sahur bersama, tadarus Quran bersama, shalat Tarawih berjamaah, bahkan kegiatan-kegiatan Islam lainnya.

Anggaplah kiranya berbuka puasa dan sahur bersama tidaklah terlalu dipentingkan, tapi bagaimana dengan shalat Tarawih berjamaah? Rasanya tidak tega hati melaksanakan shalat Tarawih di rumah, apalagi sendirian.

Biasanya, ibadah shalat Tarawih selalu dipaketkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Pengalaman saya tahun lalu, setelah shalat Isya berjamaah akan ada kultum atau ceramah singkat. Setelah itu dilaksanakan shalat Tarawih dan Witir, hingga ditambah dengan tadarus Quran.

Anak-anak muda bergantian dapat jadwal azan. Saya pun beberapa kali mengisi kultum singkat dan belajar sebagai imam. Jika sudah tiba waktu tadarusan, maka orangtua dan anak-anak yang masih di masjid akan begitu senang.

Banyak jajanan datang, kadang ada gorengan, ada buah-buahan, martabak, hingga minuman-minuman segar lainnya. Suasana malam dipenuhi dengan lantunan indah Quran jelang tidur. Saya yakin, emak-emak di rumah pasti bangga jika kedengaran ada suara anaknya sedang ngaji.

Hari pertama ramadan, masjid penuh. Hari kedua, tambah penuh. Hari ketiga, sampai bentang sajadah dan rapat-rapatan saf. Minggu kedua, saf makin maju. Dan minggu terakhir, kemajuan saf makin bombastis. Setiap tahun begitu, tapi tetap ada syukur karena masjid masih berisi.

Ilustrasi anak pakai sarung. Foto dari Instagram/msphotograph_medan via idntimes.com
Ilustrasi anak pakai sarung. Foto dari Instagram/msphotograph_medan via idntimes.com
Tapi, belum untuk hari ini. Masjid masih berpindah ke rumah dan kisah-kisah ibadah puasa tahun belakang belum mampu diulang. Hanya bisa diceritakan dengan nada sepi dan murung seperti ini.

Tapi lagi, tak mengapalah. Selagi belum habis tanggalan ramadan, selagi itu pula kita masih punya kesempatan untuk bersua di rumah ibadah. Yang penting, maksimalkan dulu ibadah puasa di rumah bersama keluarga tercinta.

 "Mungkin selama ini kita kurang membaca Al Quran di rumah, tidak berbuka puasa bersama dengan keluarga di rumah karena kita sibuk dengan pekerjaan kita sehari-hari. Mudah-mudahan (adanya) Covid-19 ini membawa berkah buat kita semua, sehingga kita bisa beribadah bersama keluarga di rumah, bisa bermunajat memohon ampun kepada Allah semoga coronavirus ini segera berlalu."

Begitulah pesan Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin dalam siaran pers dari Gedung BNPB, di Jakarta. Jumat (17/04/2020). Saya kira, Kamaruddin pun merasa murung dan kesepian atas kenyataan ini. Tapi, ikhtiar perangi Covid-19 juga ibadah, bahkan sangat besar pahalanya.

Bagaimana tidak besar, dengan beribadah di rumah saja kita telah berjihad menyelamatkan nyawa orang banyak. Di saat itu pula kita memutuskan rantai kekar Covid-19 agar tidak menular dan menyakitkan orang lain. Saya percaya, sikap ini juga perwujudan dari kebaikan.

Walau demikian, di sudut kisah kehidupan ini agaknya ada suasana lain yang menjadi sebuah kehilangan. Suasana itu bernama "perang" sarung. Bukan perang sarung yang mendatangkan kekisruhan atau bahkan kematian, tapi perang sarung anak-anak di dalam masjid.

Tidak Bisa Lihat Anak-anak "Perang" Sarung

Ada kebanggaan tersendiri andai masjid-masjid di sebuah desa terisi penuh oleh jamaah, terutama bagi imam dan segenap pengurus masjid. Yang tua-tua datang, yang muda-muda duduk rapi, dan anak-anak ikut meramaikan.

Kebanggaan ini bukanlah sekadar menatap kotak yang infak penuh, melainkan bahagia melihat banyak orang bersilaturahmi dan bersemangat tinggi menyambut bulan puasa. Kapan lagi, ya kan? Selama oksigen masih masuk ke dalam dada, selama itu kita masih bisa beribadah.

Namun, karena di dalam masjid/musala ada anak-anak, maka ada pula hal-hal yang menjengkelkan. Kalau tidak ribut, maka mereka akan lempar-lemparan kopiah dan perang-perangan pakai sarung.

Masih enak kalau mereka perangnya saat ada kultum/ceramah, orang tua dan pengurus masjid masih cukup kuasa untuk menenangkan mereka. Tapi! Namanya juga anak-anak, dan mereka tahu pasti kapan dan bagaimana memanfaatkan momentum dengan sebaik-baiknya.

Foto oleh Bansaisky via islampos.com
Foto oleh Bansaisky via islampos.com

Kapan itu? Tentu saja saat shalat Tarawih dimulai. Di rakaat pertama mungkin belum. Di rakaat ketiga juga belum, anak masih sok patuh. Tibalah di rakaat kelima, terdengar bunyi gedebak-gedebuk. Jamaah yang dekat dengan anak jadi tidak khusyuk, tapi tidak bisa menyuruh diam.

Sampailah di rakaat keenam tepatnya setelah salam. Lihat kanan, anak rapi. Lihat kiri, anak juga rapi. Saat seorang jamaah bertanya "siapa yang ribut tadi!", semua anak di masjid oper-operan kesalahan.

"Dia, Om lempar kopiah!"

"Si Anu, Mang. Ngajak gelut!"

"Itu Wak, abang itu pukul-pukul pakai sarung!"

Karena tak ada yang mau berterus-terang, maka imam hanya menasihati dan shalat kembali dilanjutkan. Lalu, apa yang akan terjadi? Anak-anak kembali menjalankan aksinya. Kadang pernah, anak-anak lempar kopiah hingga sampai ke saf pertama. Mengesalkan, bukan?

Kadang pula, ada anak-anak yang kurang kreatif saat perang sarung. Imam baru takbir di rakaat kelima misalnya, anak-anak sudah ribut. Akhirnya akan ada salah satu jamaah yang mengulang takbirnya dan memindahkan anak tadi ke saf depan. Hahaha, rasakan!

Begitulah kiranya secarik kisah tentang kebahagiaan saat shalat Tarawih. Anak-anak akan terus dinasihati, tapi terus pula mereka mengulanginya lagi. Tapi, tak mengapa. Penduduk masjid pasti bahagia karena anak-anak yang meramaikan itulah yang akan jadi pengganti mereka.

Harapannya, kisah ini bisa terulang kembali di ramadan kali ini. Semangat beribadah pasti membuncah, apalagi di tengah guyuran pandemi Covid-19. Ada kerinduan yang menggelora, tapi biarlah dulu kita luapkan di rumah. Semoga bencana mengerikan ini segera berlalu.

Aamiin Ya Rabbal Aalamiin.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun