"Mungkin selama ini kita kurang membaca Al Quran di rumah, tidak berbuka puasa bersama dengan keluarga di rumah karena kita sibuk dengan pekerjaan kita sehari-hari. Mudah-mudahan (adanya) Covid-19 ini membawa berkah buat kita semua, sehingga kita bisa beribadah bersama keluarga di rumah, bisa bermunajat memohon ampun kepada Allah semoga coronavirus ini segera berlalu."
Begitulah pesan Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin dalam siaran pers dari Gedung BNPB, di Jakarta. Jumat (17/04/2020). Saya kira, Kamaruddin pun merasa murung dan kesepian atas kenyataan ini. Tapi, ikhtiar perangi Covid-19 juga ibadah, bahkan sangat besar pahalanya.
Bagaimana tidak besar, dengan beribadah di rumah saja kita telah berjihad menyelamatkan nyawa orang banyak. Di saat itu pula kita memutuskan rantai kekar Covid-19 agar tidak menular dan menyakitkan orang lain. Saya percaya, sikap ini juga perwujudan dari kebaikan.
Walau demikian, di sudut kisah kehidupan ini agaknya ada suasana lain yang menjadi sebuah kehilangan. Suasana itu bernama "perang" sarung. Bukan perang sarung yang mendatangkan kekisruhan atau bahkan kematian, tapi perang sarung anak-anak di dalam masjid.
Tidak Bisa Lihat Anak-anak "Perang" Sarung
Ada kebanggaan tersendiri andai masjid-masjid di sebuah desa terisi penuh oleh jamaah, terutama bagi imam dan segenap pengurus masjid. Yang tua-tua datang, yang muda-muda duduk rapi, dan anak-anak ikut meramaikan.
Kebanggaan ini bukanlah sekadar menatap kotak yang infak penuh, melainkan bahagia melihat banyak orang bersilaturahmi dan bersemangat tinggi menyambut bulan puasa. Kapan lagi, ya kan? Selama oksigen masih masuk ke dalam dada, selama itu kita masih bisa beribadah.
Namun, karena di dalam masjid/musala ada anak-anak, maka ada pula hal-hal yang menjengkelkan. Kalau tidak ribut, maka mereka akan lempar-lemparan kopiah dan perang-perangan pakai sarung.
Masih enak kalau mereka perangnya saat ada kultum/ceramah, orang tua dan pengurus masjid masih cukup kuasa untuk menenangkan mereka. Tapi! Namanya juga anak-anak, dan mereka tahu pasti kapan dan bagaimana memanfaatkan momentum dengan sebaik-baiknya.
Kapan itu? Tentu saja saat shalat Tarawih dimulai. Di rakaat pertama mungkin belum. Di rakaat ketiga juga belum, anak masih sok patuh. Tibalah di rakaat kelima, terdengar bunyi gedebak-gedebuk. Jamaah yang dekat dengan anak jadi tidak khusyuk, tapi tidak bisa menyuruh diam.