Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mas Nadiem, Kami Ingin Kurikulum yang Tidak Sekadar Ganti Nama!

5 April 2020   21:22 Diperbarui: 6 April 2020   10:31 3355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama berlabuh di dunia pendidikan, tidak sedikit dari kita yang terus berteman dengan mindset "Ganti Menteri, Ganti Kurikulum". Perihal ini sulit dimungkiri, karena faktanya kurikulum pendidikan kita sudah 10 kali berganti.

Mulai dari kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK 2004, KTSP 2006, dan terakhir kurikulum 2013.

Sebenarnya jika dihitung lebih detail, kurikulum 2013 juga sudah upgrade menjadi kurikulum 2015 dengan nuansa wawasan global, kolaborasi dari KTSP dan Kurikulum 2013. Tapi, agaknya sebutan kurikulum 2013 berbasis karakter lebih sedap untuk didengar.

Jika pergantian kurikulum kita ditambah 2, maka nilainya akan sama dengan masa pergantian kurikulum di Finlandia. Terang saja, Finlandia mengganti kurikulum setiap 12 tahun sekali, sedangkan kita? Hampir 12 kali ganti.

Karena sudah keseringan ganti, akhirnya lahirlah pola pikir bahwa pemakaian kurikulum tergantung menteri. Menteri maunya ubah, maka berubah. Kadang, kita bingung dengan keadaan ini. Sebenarnya, yang ingin populer itu kurikulum atau menterinya?

Terang saja, pengubahan kurikulum yang semestinya mengajak para orangtua, guru, kepala sekolah, pembuat undang-undang, pakar pendidikan, hingga pihak kementerian untuk bermusyawarah malah disederhanakan menjadi keinginan menteri atau presiden semata.

Hal ini seakan menjadi praduga bahwa pendidikan seperti dipolitisasikan, sedangkan guru dan kepala sekolah hanya dijadikan alat untuk mendidik. Sederhana sekali agaknya, karakter sudah seperti mesin fotocopy saja!

Belum selesai di sana, yang jadi pertanyaan adalah mengapa perubahan-perubahan kecil mesti didaulat sebagai kurikulum yang berganti nama. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, pengubahan kurikulum itu tidak lebih dari sekadar ubah format dan selip nilai.

Contohnya, nama Kurikulum 2015 yang sempat populer. Entah mengapa namanya harus populer sebagai K-2015 padahal isinya masih seputar penyempurnaan K-2013. Bahkan, UN tahun 2015 masih menggunakan K-2006 sehingga menjadikan K-2013 bernuansa KTSP .

Nah, jika seperti ini maka judulnya bukan "ganti nama" kan? Mestinya sebut saja Tata Ulang Kurikulum atau Penguatan Kurikulum. Ini lebih sederhana, tetap populer dan tidak melahirkan stigma.

Mas Nadiem, Kami Ingin Kurikulum yang Tidak Sekadar Ganti Nama!

Kurikulum yang tidak sekadar ganti nama, hal inilah yang ingin kami para guru gaungkan kepada Mas Nadiem. Apalah arti sebuah nama, dan jika nama itu berarti maka esensinya mesti lebih dari sekadar nama.

Maknanya, jika kurikulum itu tidak berubah total dari luar hingga ke isi agaknya tidak perlulah dipopulerkan dengan berganti nama. Cukup pertahankan, dan ia akan populer dengan sendirinya.

Ibaratkan sebuah kopi, ketika kita campurkan banyak gula maka namanya jadi kopi manis. Jika kita campurkan susu, namanya kopi susu. Dan jika kita campurkan cokelat, maka namanya jadi kopi cokelat.

Begitu pula dengan kurikulum pendidikan. Boleh saja kurikulum bertambah selipan nilai hingga aspek-aspeknya, itu adalah penguatan, pengkajian dan kegiatan menata ulang. Tidak ada yang berubah dari nama, karena kurikulum yang bertahan tinggal mengikuti selera zaman.

Beruntungnya, selera ini juga dirasakan oleh Mas Nadiem. Beliau menyebut tata ulang kurikulum sebagai "penyederhanaan kurikulum".

"Kita sudah sepakat menyederhanakan kurikulum, sehingga lebih mudah dipahami guru dan siswa, beban konten pelajaran harus turun, sehingga di masing-masing konten bisa mendalami kompetensinya, tapi apakah jumlah muatan pelajaran dikecilkan atau konten dikecilkan itu masih dikaji oleh tim," kata Nadiem di Jakarta, Jumat (03/04/2020).

Rasanya tidak ada stigma dari sebutan "menyederhanakan kurikulum". Terang saja, yang berubah nantinya hanyalah beban konten dan muatan pelajaran. Mungkin tepatnya bukan berubah, melainkan pengembangan dari kurikulum 2013 itu sendiri.

Sejatinya, untuk mengembangkan sebuah kurikulum pihak pengembang mesti menelaah ketepatan tujuan kurikulum, materi ajar, metode/strategi ajar, dan evaluasi pembelajaran. Jika empat komponen ini dimapankan, maka sebuah kurikulum akan menemui keunikannya.

Kurikulum 2013 contohnya. Seiring dengan berjalannya waktu, kita mulai menemukan titik general bahwa tujuan utama K-2013 adalah pemantapan karakter, sedangkan materi ajarnya mesti memuat nilai pengetahuan, keterampilan, sikap spiritual dan sikap sosial.

Syahdan, metode/strategi ajar dari K-2013 tidak jauh-jauh dari Project and Problem Based Learning, Scientific Learning, Discovery, dan PAIKEM.

Dan terakhir, evaluasi ajar K-2013 identik dengan penilaian autentik yang kini akan diperbaharui menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.

Jadi, nama besarnya tetaplah kurikulum 2013, kan? Karena visi-misi kurikulum ini secara teori sudah terlihat semakin mapan, maka yang perlu dikuatkan selanjutnya adalah SDM (guru), sarana-prasarana pembelajaran, pemantapan buku ajar, serta pembiayaan.

Kiranya kebijakan "ganti nama" kurikulum di masa Merdeka Belajar ini sudah tidak populer lagi.

Yang populer adalah penataan kurikulum ke arah pemantapan karakter sekaligus menjadi penepi dosa-dosa pendidikan. Terus terang, kita selalu ingin mengantarkan pendidikan ke arah yang lebih baik dari hari ini.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun