Pelajar seperti apa yang diharapkan bangsa ini? Jawaban Mas Nadiem adalah Pelajar Pancasila. Tidak dimungkiri, jika ingin membenahi karakter, maka kita perlu kembali menggaungkan nilai-nilai dalam Pancasila.
Pancasila, kesemua nilainya sangat penting untuk dirasukkan ke dalam hati dan tingkah laku para pelajar bumi Indonesia. Walaupun pelajaran Pancasila sudah dipadatkan menjadi Pendidikan Kewarnegaraan (PKN), tetap saja butir nilainya tidak boleh diabaikan.
Dan dalam program sekolah penggerak ini, Mas Nadiem mengharapkan lahirnya Pelajar Pancasila yang memiliki 6 profil utama, yaitu Berakhlak Mulia, Kreativitas, Gotong-royong, Kebhinekaan Global, Bernalar Kritis, dan Mandiri.
Secara pribadi, penulis mengapresiasi Mas Nadiem karena sudah menyebutkan akhlak mulia sebagai profil pertama Pelajar Pancasila. Berarti Mas Nadiem sudah paham betul bahwa akhlak pelajar merupakan hal pertama yang harus dibenahi.
Jika kita menilik kembali 6 profil utama Pelajar Pancasila ini, sebenarnya jika seorang pelajar sudah memiliki akhlak mulia maka profil berikutnya hanya tinggal manut saja.
Sikap gotong-royong, kebhinekaan global dan kemandirian, ketiganya merupakan tindak lanjut dari akhlak mulia. Bagaimana mungkin pelajar bisa berbhineka secara global jika belum mantap akhlaknya.
Terang saja, kebhinekaan global diwujudkan dalam tindakan saling menghormati keberagamaan dan toleransi terhadap perbedaan. Hormat dan toleran juga merupakan wujud dari akhlak mulia.
Kalau soal profil kreativitas dan bernalar kritis, rasanya pelajar hanya perlu membiasakan berliterasi dan sering-sering diajak memecahkan masalah.
Lalu, bagaimana kita dan Mas Nadiem bisa mewujudkan pelajar dengan profil Pancasila ini? Lagi-lagi pertanyaan ini mesti kita timpakan kepada program sekolah penggerak.
Jika program ini nantinya berhasil memunculkan sekolah penggerak yang berisikan kepala sekolah yang berkompeten, guru yang super, serta komunitas lingkungan yang mendukung penuh, maka perwujudan lahirnya Pelajar Pancasila bisa segera diwujudkan.
Untuk itulah, tidak hanya sekadar partisipasi "orang dalam sekolah" saja untuk melancarkannya, melainkan juga butuh kontribusi publik.