Tidak terasa kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin mulai menyentuh 100 hari sejak dilantik pada 23 Oktober 2019 lalu. Kedengarannya agak lama, tapi nyatanya hari berlabuh begitu cepat seiring dengan munculnya kebijakan-kebijakan bertajuk perubahan.
Salah satu yang menjadi sorotan seluruh rakyat Indonesia adalah gerak-gerik Mas Nadiem. Sebagai Mendikbud muda, cerdas dan visioner, Mas Nadiem juga telah menyentuh hati banyak orang baik dari kalangan pakar pendidikan, para orangtua, guru, hinggalah siswa.
Bukan semata karena parasnya yang tampan tapi juga daya ajak yang tinggi agar pendidikan Indonesia segera maju dan berlari.
Terang saja, beberapa tahun ke belakang pendidikan kita hanya diruweti dengan kebijakan kurikulum yang terus berganti, kesejahteraan guru yang belum terobati, hingga para siswa yang terkesan ditakut-takuti.
Beruntungnya Mas Nadiem mau mendengar, mau belajar, dan mau menyusun program kebijakan dengan nada "tidak sembrono". Narasi awal telah beliau rakit di teks pidato HGN 25 November 2019 lalu dan diikuti dengan kebijakan Merdeka Belajar.
Terlepas dari kontroversi dan keluhan sana-sini, kebijakan ini terlihat mulai memberikan kemerdekaan kepada siswa dan guru. Siswa agak "longgar" dari jajahan UN, dan guru lebih "longgar" dari jajahan RPP.
Belum berhenti, Mas Nadiem kemudian melanjutkan program Merdeka Belajar jilid II dengan nama Kampus Merdeka yang diluncurkan pada 24 Januari 2020. Khusus Kampus Merdeka, Mas Nadiem berfokus pada perwujudan kemerdekaan mahasiwa dan pendidikan tinggi.
Dari dua paket kebijakan ini, kiranya lengkap sudah sentuhan awal Mas Nadiem terhadap pendidikan. Secara umum, pendidikan dasar dan menengah sudah diajak berubah, pendidikan tinggi pula mulai diajak membuktikan diri.
Keduanya sudah mengarah pada percepatan pendidikan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Meskipun masih sekadar narasi, tetap saja ini merupakan dobrakan yang patut diapresiasi.
Mengenai Merdeka Belajar misalnya, Wakil Ketua Komisi X DPR-RI beropini bahwa apa yang dikerjakan Mas Nadiem merupakan bagian pendidikan yang memang kini terjadi di berbagai negara belahan dunia sesuai perkembangan zaman.
"Yang dilakukan Nadiem Makarim (dengan gagasan Merdeka Belajar) itu membuat terobosan." Ujar Dede Yusuf pada Minggu (26/01/2020).
Hari ini, pendidikan kita memang sangat butuh dengan terobosan. Bukan sekadar gaya baru atau ganti baju, melainkan berfokus pada percepatan pengembangan kualitas pendidikan menuju SDM yang unggul.
Toh, secara kuantitas manusia kita unggul, tinggal lagi mewujudkan kuantitas SDM yang mampu bersaing.
Begitu pula dengan kebijakan Merdeka Belajar jilid II alias Kampus Merdeka. Salah satu apresiasi datang dari Penulis buku dan Pemerhati Pendidikan, Doni Koesoema A.
Beliau menerangkan bahwa kebijakan baru Nadiem tentang Kampus Merdeka telah berbasis pendekatan pembelajaran kekinian dan coba diterapkan di perguruan tinggi.
"Artinya, selama mahasiswa kuliah, ia akan memiliki kesempatan mendalami bidang-bidang ilmu di luar pilihan prodinya (program studi) sebab memang saat ini tidak semua prodi memiliki struktur kurikulum yang memenuhi kebutuhan belajar mahasiswa." Ujar beliau pada Selasa (29/01/2020).
Dari narasi ini, terlihat bahwa tujuan utama Mas Nadiem adalah mewujudkan pendidikan yang menyenangkan. Senang juga bagian dari merdeka yang berarti setiap peserta didik tidak terjajah oleh belenggu teori yang menyempitkan.
Terang saja semua orang akan menantinya. Menanti untuk segera merdeka, dan menanti untuk segera diajak jalan bersama menuju kemerdekaan belajar.
Kebijakan Nadiem: Hari ini Tinggal Kejelasan Arahnya Lagi
Atas kebijakannya, tak heran jika banyak penduduk bumi Indonesia yang menanti kejelasan. Mau dibawa ke mana pendidikan Indonesia ini, dan bagaimana kiat-kiat untuk segera bertranformasi.
Tentang kebijakan RPP satu lembar, misalnya, tidak sedikit guru yang gabruk menyikapi rencana kebijakan baru ini, termasuklah saya pribadi sebagai guru.
Bagaimana tidak senang, biasanya saya mencetak RPP hingga 30 lembar pada setiap bab, dan sebentar lagi hanya perlu mencetak 1 lembar pada setiap babnya. 30 berbanding 1, alangkah jauhnya pengiritan yang bisa semua guru dapatkan.
Hal ini kemudian juga memunculkan perbandingan-perbandingan yang tidak berkesudahan antara RPP lama dengan RPP baru.
Opini salah satu rekan guru saya misalnya, ia menyebutkan bahwa "RPP lama itu buang-buang kertas. Untuk apa mencantumkan kegiatan dan langkah-langkah pembelajaran hingga begitu panjang. Untuk apa juga mencantumkan materinya secara keseluruhan. Toh, daftar buku bacaan juga sudah tersedia!"
Masih banyak omelan lain, dan mungkin belum akan berkesudahan hingga nanti muncul RPP baru yang sudah sesuai standar.
Meski demikian, di sisi lain guru juga mulai dilanda kebingungan. Lagi-lagi bertanya formatnya akan seperti apa, poin yang dimasukkan apa-apa saja, dan bla bla bla.
Kiranya ini bukanlah kemerdekaan yang harapkan karena sejatinya kejelasan arah itu belum dijelaskan. Padahal, Mendikbud sendiri yang mengatakan bahwa terkait dengan RPP guru bisa mengembangkannya sendiri. Tampaklah kesan di sini, begitu susahnya mengubah mindset.
Jangan lupa juga dengan UN. Beberapa bulan lalu, kebijakan Merdeka Belajar Mas Nadiem dipopulerkan dengan nama "Wacana penghapusan UN " hingga banyak berita berjudul "UN dihapuskan!". Padahal, sejatinya UN bukan dihapus melainkan diganti sistem penilaiannya.
Akibatnya, banyak siswa dan guru yang bahagia hingga beranggapan bahwa sekolah tanpa UN akan lebih menyenangkan. Boleh sih bahagia, tapi lagi-lagi mindsetnya salah.
Yang tepat adalah, dengan digantinya UN maka opsi penilaian akhir lebih variatif dan tidak hanya berdasarkan skor kognitif lagi. Semua dikembalikan kepada sekolah, karena memang sekolah yang lebih tahu dan paham tingkat kemampuan serta kompetensi siswanya.
Perihal Kampus Merdeka juga demikian. Dibalik apresiasi, muncul juga opini bertajuk kontroversi.
Salah satunya, opini yang datang dari Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar. Beliau menyebut kebijakan terbaru Nadiem itu pada satu sisi membawa kebaharuan dan prospek bagi kemajuan PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dan PTS (Perguruan Tinggi Swasta). Akan tetapi, kenaikan itu akan mengubur ribuan PTS.
Opini ini beliau dasarkan atas lima alasan, yaitu:
- PRS kecil dan menengah harus bersaing bebas dengan PTN beranggaran besar serta PTS milik konglomerat.
- Ribuan PTS kecil dan menengah akan semakin sulit memperoleh mahasiswa dengan jumlah yang diharapkan.
- Akan terjadi konglomerasi perguruan tinggi oleh PTN dan PTS yang didirikan para konglomerat.
- PTS kecil dan menengah akan semakin terpinggirkan.
- Kebijakan Mas Nadiem akan mengakibatkan ribuan PTS bubar karena tidak mampu bersaing bebas.
Sejatinya banyaknya opini ini tidaklah mengapa karena bisa dijadikan pertimbangan sembari menyusun detail kebijakan Kampus Merdeka. Lagi-lagi ini adalah soal menanti kejelasan arah. Mau dibawa ke mana kampus-kampus dan mahasiswa, Mas Nadiem kiranya dapat bergerak cepat dan memberi sedikit tuntunan.
Untuk menjelaskan tentang arah dan transformasi pendidikan ini agaknya Mas Nadiem perlu melahirkan payung hukum yang tahan lama baik tentang kebijakan Merdeka Belajar maupun Kampus Merdeka. Lagi-lagi ini sekaligus tentang cara mengubah mindset.
Banyak dari publik tahunya ganti menteri maka ganti pula kebijakan dan peraturan. Akhirnya kebijakan-kebijakan jangka panjang mudah sekali kandas hanya karena ganti menteri.
Jika terus seperti itu, maka nada kemajuan pendidikan kiranya akan semakin berjudul "setengah hati".
Kita begitu menanti arah kejelasan pendidikan ini berikut dengan tahap-tahap nyata yang akan dilalui. Menggapai SDM unggul jangan setengah-setengah.
SDM unggul yang nanti disiapkan untuk menghadapi revolusi industri kiranya bukan hanya SDM yang siap kerja, melainkan juga SDM yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial.
Artinya, karakter bangsa jangan tinggal dan identitas bangsa harus terus digaungkan.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H