Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Perihal Baby Lobster, Nelayan Mau Kaya Mendadak atau Berangsur?

19 Desember 2019   12:14 Diperbarui: 19 Desember 2019   12:23 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya ada apa dengan hewan bergenus Homarus ini, hingga heboh dan menjadi topik perbincangan di berbagai media. Padahal lobster begitu cantik dengan warna hitam kebiru-biruannya, tambah lagi rasanya yang sangat enak dan bernilai jual tinggi.

Lobster juga begitu menggugah selera semua orang. Lobster yang sudah matang disukai, yang mentah dicari-cari, bahkan yang masih baby (benih) pun terus ditenggak. Semua ikut nimbrung, tidak terkecuali bagi mereka yang tamak seraya ingin mencari keuntungan sendiri.

Jangankan diri sendiri, pemerintah pun seakan ingin untung walau hanya dari baby lobster. Jika dalilnya adalah untuk kemaslahan nelayan serta memberdayakan kekayaan laut, kita setuju. Tapi, jika dalil ini kemudian hanya menjadi dalih untuk populer, bahkan untuk meraih nikmat sesaat maka kita menolak.

Terang saja, mau pemerintah kasih makan apa anak-anak dan istri nelayan lobster selama ini jika nanti lobster punah karena diekspor semua. Para nelayan lobster pun sebenarnya ingin kaya, apalagi kaya mendadak. Tapi, jika mendadaknya itu memutuskan mata pencaharian mereka di masa datang? Agaknya kurang bijaksana.

Di sisi lain, kita mesti meminang fakta bahwa pemerintah harus berbenah untuk kemaslahatan nelayan. Apalagi ini tentang makanan mahal bernama lobster. Inovasi sangat diperlukan, dan kebijakan ekspor mesti mempertimbangkan untung-rugi dalam renungan yang panjang.

Namun, seiring bergantinya kursi kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan, berganti pula cara mereka memandang maslahat untuk nelayan. Dulu, Ibu Susi begitu tegas mengeluarkan larangan penangkapan dan ekspor baby lobster berdasarkan dalil Permen KP Nomor 1 Tahun 2015.

Alasannya pertama, meningkatkan nilai tambah lobster sebelum masuk pasar global. Dan kedua, karena selama ini penangkapan baby lobster malah menguntungkan negara tetangga (Vietnam).

Sedangkan sekarang, Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, Edhy Prabowo kembali membuka pancuran baby lobster agar disilahkan untuk mengalir alias diekspor.

Alasannya, infrastruktur untuk membesarkan lobster belum ada di Indonesia, meskipun beliau sendiri sempat mengaku sebetulnya dirinya ingin lobster dibudidayakan.

Agaknya, jika nanti kebijakan ekspor baby lobster ini adalah mayoritas, maka inovasi beliau terburu-buru alias kurang sabar. Atau, jika memang ini jalan terbaik, berarti ada maslahat dan hitung-hitungan lain yang segala belum beliau sampaikan.

Presiden Jokowi pula mengharapkan agar kebijakan terkait dengan baby lobster jangan sampai menggelepar dan tidak seimbang. Hal ini beliau tegaskan usai meresmikan Tol Balikpapan-Samarinda di Kabupaten Kutai Kertanegara, Selasa (17/12/2019).

"Jangan juga awur-awuran, semua ditangkapin, diekspor, juga enggak benar. Keseimbangan itu paling penting, bukan hanya bilang jangan (ekspor)."

Memang, kita tidak bisa menyanggah dalil bahwa sudah sering terjadi penyelundupan terkait dengan baby lobster. Selain itu, Indonesia juga belum mempunyai infrastrukstur yang sempurna terkait dengan budidaya lobster.

Tapi, Indonesia hanya kekurangan prasarana penunjangnya saja seperti yang ditegaskan oleh Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian KKP Slamet Soebjakto:

"Infrastruktur budidaya lobster di Indonesia sebenarnya sudah ada dan sudah siap. Namun, dibutuhkan dana untuk mengembangkan sarana dan sarana penunjangnya seperti pengiriman lobster."

Jika persoalan urgennya adalah dana, sebenarnya nelayan tetap dapat menjalankan usaha lobster dengan cara tradisional. Toh, selama ini nelayan juga bisa membiarkan baby lobster di laut untuk kemudian mereka tangkap jika sudah besar.

Hal ini efektif untuk menjaga kedigdayaan biota laut (pada awalnya). Sayangnya, oknum-oknum tamaklah yang merusaknya. Nelayan lokal pun rasanya tidak terlalu bernafsu untuk mengeruk lahan masa depan mereka sendiri.

Hanya orang-orang tamak yang mau melakukan illegal fishing dan rata-rata semuanya berasal dari kapal asing. Lalu, bagaimana? "Tiga, dua, satu: Tenggelamkan", kata Bu Susi. Kita tidak perlu rindu dengan kata-kata ini, apalagi sampai mengharap untuk mendengarnya lagi.

Jika sudah tak terdengar lagi, berarti laut kita sudah aman dari pencuri, bukan? Ya, semoga saja perlindungan terhadap kekayaan laut semakin membahana.

Nelayan Mau Kaya Mendadak, atau Berangsur?
Jika pandai menjual benih terlebih lagi dengan porsi yang banyak, nelayan bisa saja kaya mendadak. Ibu Susi menyebutkan, harga baby lobster yang sangat kecil saja bisa mencapai Rp.100.000 per bibitnya. Dari sini, tidak terbayangkan berapa besar keuntungan sindikat baby lobster ilegal selama ini.

Namun, Ibu Susi kembali menegaskan bahwa nelayan tidak boleh bodoh meski melihat harga benih yang sudah tinggi itu. Karena jika dibesarkan dengan sabar, harganya akan lebih mahal.

"Satu ekor 400 gram itu sudah berapa harganya? Rp 1 juta. Kita jual ke Vietnam hanya dengan harga Rp 100.000 atau Rp 130.000. Nelayan tidak boleh bodoh dan kita akan dirugikan bila itu dibiarkan." Begitu kata Ibu Susi dalam video unggahannya di Twitter pada 10 Desember 2019 lalu.

Cepat kayanya, tapi cepat juga miskinnya. Terlebih lagi jika rencana ekspor ini berangkat dari ketamakan dan keserakahan. Hari ini baby lobster diekspor, lalu besok nelayan lobster akan kerja apa? Dan bagaimana dengan nelayan lobster di daerah tetangga yang sama-sama butuh benih? Ini perlu menjadi kajian yang perlu direnungkan secara mendalam.

Jika saja ingin lebih sabar, perlahan-lahan, dan berangsur nelayan lobster juga bisa kaya. Yaitu dengan cara membudidayakan baby lobster sampai mereka layak jual. Hambatan pasti ada, dan itulah gunanya inovasi.

Seperti yang dinyatakan oleh Kasubag Program Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur, Nur Andriono, inovasi pembudidayaan benur (benih) lobster sudah dicoba. Hal itu untuk menghindari baby lobster dijual ke luar negeri.

Kendalanya adalah soal teknik dan teknologi pembesaran benih. Di sinilah perlunya perhatian pemerintah, terutama ikut memecahkan masalah sekaligus memberdayakan usaha-usaha sejenis.

Jika diperhatikan, bukan tidak mungkin masalah krusial dari pemberdayaan baby lobster ini akan terpecahkan dan usahanya akan berkembang. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa nanti akan banyak pekerja-pekerja pribumi yang dipakai.

Semakin berkembang dan digiatkan, semakin besarlah ladang kerja bagi pengangguran, dan semakin sejahtera pula para nelayan.

Dan bersamaan dengan pengembangan budidaya itu, kegiatan pengawasan terhadap baby lobster mesti terus ditingkatkan. Sindikat penyelundup mesti harus diberantas, agar nelayan lobster makin tenang.

Lagi-lagi ini butuh proses yang cukup panjang, namun setidaknya jangan menakuti nelayan dengan kebijakan ekspor baby lobster, sedangkan solusi bagi nelayan belum terang.

Akan tidak penting bagi nelayan mau kaya mendadak atau berangsur jika karir mereka akan terancam ke depannya. Karena selama ini mereka sudah menyandarkan hidup pada lobster, dan itu masih menjadi kebahagiaan mereka.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun