Memang, kita tidak bisa menyanggah dalil bahwa sudah sering terjadi penyelundupan terkait dengan baby lobster. Selain itu, Indonesia juga belum mempunyai infrastrukstur yang sempurna terkait dengan budidaya lobster.
Tapi, Indonesia hanya kekurangan prasarana penunjangnya saja seperti yang ditegaskan oleh Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian KKP Slamet Soebjakto:
"Infrastruktur budidaya lobster di Indonesia sebenarnya sudah ada dan sudah siap. Namun, dibutuhkan dana untuk mengembangkan sarana dan sarana penunjangnya seperti pengiriman lobster."
Jika persoalan urgennya adalah dana, sebenarnya nelayan tetap dapat menjalankan usaha lobster dengan cara tradisional. Toh, selama ini nelayan juga bisa membiarkan baby lobster di laut untuk kemudian mereka tangkap jika sudah besar.
Hal ini efektif untuk menjaga kedigdayaan biota laut (pada awalnya). Sayangnya, oknum-oknum tamaklah yang merusaknya. Nelayan lokal pun rasanya tidak terlalu bernafsu untuk mengeruk lahan masa depan mereka sendiri.
Hanya orang-orang tamak yang mau melakukan illegal fishing dan rata-rata semuanya berasal dari kapal asing. Lalu, bagaimana? "Tiga, dua, satu: Tenggelamkan", kata Bu Susi. Kita tidak perlu rindu dengan kata-kata ini, apalagi sampai mengharap untuk mendengarnya lagi.
Jika sudah tak terdengar lagi, berarti laut kita sudah aman dari pencuri, bukan? Ya, semoga saja perlindungan terhadap kekayaan laut semakin membahana.
Nelayan Mau Kaya Mendadak, atau Berangsur?
Jika pandai menjual benih terlebih lagi dengan porsi yang banyak, nelayan bisa saja kaya mendadak. Ibu Susi menyebutkan, harga baby lobster yang sangat kecil saja bisa mencapai Rp.100.000 per bibitnya. Dari sini, tidak terbayangkan berapa besar keuntungan sindikat baby lobster ilegal selama ini.
Namun, Ibu Susi kembali menegaskan bahwa nelayan tidak boleh bodoh meski melihat harga benih yang sudah tinggi itu. Karena jika dibesarkan dengan sabar, harganya akan lebih mahal.
"Satu ekor 400 gram itu sudah berapa harganya? Rp 1 juta. Kita jual ke Vietnam hanya dengan harga Rp 100.000 atau Rp 130.000. Nelayan tidak boleh bodoh dan kita akan dirugikan bila itu dibiarkan." Begitu kata Ibu Susi dalam video unggahannya di Twitter pada 10 Desember 2019 lalu.
Cepat kayanya, tapi cepat juga miskinnya. Terlebih lagi jika rencana ekspor ini berangkat dari ketamakan dan keserakahan. Hari ini baby lobster diekspor, lalu besok nelayan lobster akan kerja apa? Dan bagaimana dengan nelayan lobster di daerah tetangga yang sama-sama butuh benih? Ini perlu menjadi kajian yang perlu direnungkan secara mendalam.
Jika saja ingin lebih sabar, perlahan-lahan, dan berangsur nelayan lobster juga bisa kaya. Yaitu dengan cara membudidayakan baby lobster sampai mereka layak jual. Hambatan pasti ada, dan itulah gunanya inovasi.
Seperti yang dinyatakan oleh Kasubag Program Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur, Nur Andriono, inovasi pembudidayaan benur (benih) lobster sudah dicoba. Hal itu untuk menghindari baby lobster dijual ke luar negeri.