Guru: Selamat pagi anak-anak.... Bapak mau tanya, apakah yang dimaksud dengan sistem?
Siswa 1: Sistem itu bersatu Pak, seperti Power Rangers yang mengalahkan musuhnya secara bersama-sama.
Siswa 2: Sistem itu saling berhubungan dan melengkapi Pak, contohnya seperti kelas kita. Ada Bapak, ada kami, ada papan tulis, ada gedung, serta buku-buku.
Guru: Mantap.
Rasanya semua guru di muka bumi ini akan sangat bahagia jika siswa-siswinya bisa menjawab pertanyaan dengan gaya yang berbeda serta keluar dari kata-kata buku.
Jika jawaban-jawaban di atas dibenarkan oleh guru, berarti gurunya sudah banyak berliterasi tentang apa itu sistem. Jika sebaliknya? Hmmm. Jangan-jangan kurang baca, kurang referensi dan bekalnya hanya buku tahun 1990-an! Uppss.
Mungkin inilah penyebab mengapa pelajaran di sekolah banyaklah yang terlupa daripada yang lengket di pikiran. Terang saja, kata dan kalimat di buku pelajaran tidak melulu jelas dan yang pasti sangat susah teringat dalam waktu yang lama.
Namun bukan berarti kata-kata buku semuanya tidak perlu dihafal. Teori-teori tertentu serta gagasan para tokoh sesekali perlu dihafal, tapi tentu sekalian dengan makna dan pengembangannya.
Kata Buku Membuat Siswa Kesulitan Mengembangkan Pemikirannya.
Kata-kata buku itu sulit dipahami, tapi bermakna. Agaknya begitu banyak kandungan yang positif dan menarik di dalam buku, hingganya siswa-siswi tidak hanya dituntut untuk sekadar membaca cepat dan paham, melainkan juga tentang bedah teori dan memadukan gagasan dengan isu-isu terkini.
Meski demikian, kata-kata buku yang bermakna belum tentu selalu sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan pikir siswa. Wajar kiranya jika banyak siswa yang lebih senang dengan gambar-gambar di dalam buku daripada harus membacanya.
Dan jika tak ditemukan walau hanya satu gambar, mulailah buku itu ditinggalkan. Karena? Tidak menarik lagi. Buku yang seperti ini kemudian jadi stigma. Tambah lagi, gurunya hanya menyampaikan isi buku secara teoritis dan medok dengan kata buku. Akhirnya, tertinggalkanlah buku itu dan siswa mulai ngantuk.
Stigma bahwa kata-kata buku itu sulit akan semakin bertambah jika guru juga menyampaikan atau menjelaskan materi dengan bahasa buku. Terlebih lagi jika tidak ada pengembangan dan inovasi seperti mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari maupun fakta-fakta hari ini, maka semakin terbelenggulah pikiran siswa.
Jika tampang gurunya mengerikan, siswa paling hanya sekadar mengangguk-angguk tanda paham. Paham, dan besoknya lupa. Besoknya lagi ingat, seminggu kemudian lupa. Ketika gurunya sudah marah-marah, siswa akhirnya memaksa diri untuk menghafal dan ingat. Tapi besoknya lupa lagi. Terus-menerus siklusnya tak berubah.
Belajar Hari Ini untuk Menemukan Gagasan, Bukan Menghafal Gagasan
Menimbang, memperhatikan, dan mengatasi terbelenggunya pemikiran siswa, agaknya terlebih dahulu pemikiran guru yang harus diluruskan. Dalam artian, jangan sampai guru malah terbelenggu dengan format dan materi dalam buku.
Bukan berarti harus menyeberang dari indikator pencapaian tujuan dan kompetensi dasar, melainkan berupaya untuk berpikir dalam lingkup yang luas serta mengajak siswa untuk keluar dari tempurung pemikiran buku. Tentu saja dengan tidak abai terhadap konsep.
Konsepnya penting, tujuannya penting, dan tingkat ketercapaiannya juga penting. Tapi penting-penting ini akan jadi tiada berguna jika nilai 100 dan 90 pada tes siswa hanya berlaku hari itu saja. Besok dan lusa dites lagi, mereka sudah tidak ingat. Nyatanya, kita guru tidak bisa menyalahkan siswa semata dan menggelarinya anak micin bukan?
Untuk itulah sangat penting bagi guru untuk melepas belenggu pemikiran siswa dengan membiarkan mereka berkomunikasi dan berpikir kritis. Tidak semata sekadar menghafal teori dan gagasan, tapi juga berusaha untuk menemukan gagasan baru.
Kiranya konsep 4C (Communication, Collaborative, Critical Thinking, and Creativity) dalam pembelajaran tidak akan maksimal jika Communication dan Critical Thinking siswa dibelenggu. Jika materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru sama sekali tidak mengundang siswa untuk berkomunikasi, artinya siswa tidak paham dengan apa yang disampaikan.
Dan jika materi yang disampaikan oleh guru tidak menghadirkan Critical Thinking pada siswa, bisa jadi siswa tidak mengerti dan terbelenggu pemikirannya untuk bisa mengkritisi materi dan mengaitkannya dengan kehidupan hari ini.
Menghadirkan gagasan siswa itu penting, karena dengan itulah pendekatan belajar 4C bisa terpenuhi. Bagaimana siswa bisa berkomunikasi jika memahami kata saja mereka berdenyut-denyut. Kolaborasi tanpa komunikasi, nanti tidak nyambung dan berakhir pada mandeknya pikiran kritis dan kreativitas siswa.
Keberadaan buku tetap penting sebagai dasar pijakan sekaligus penunjang gagasan. Hal ini juga bisa menjadi saran bagi para pembuat buku pelajaran agar merakit buku dengan kata-kata sederhana dan mudah dipahami.
Sesekali, bolehlah menganggap diri seakan-akan menjadi siswa agar bisa menilai sendiri bahwa siswa akan nyambung atau tidak, akan terpancing mengungkapkan gagasan atau tidak, akan perhatian atau tidak, serta akan mendapatkan makna atau tidak.
Jangan pula nanti akan lahir persepsi bahwa gara-gara kata buku itu sudah dipahami, pelajarannya juga dianggap sulit, dan berakhir dengan ketidaksukaan terhadap mata pelajaran tertentu. Semua mata pelajaran itu menarik, hanya saja kesannya tidak tersampaikan.
Kadang ingin mengatakan bahwa wajar jika siswa cenderung menyukai mata pelajaran yang memberikan keleluasaan mereka untuk berpikir, bergerak, dan berinovasi. Namun, kewajaran ini tidak boleh terus beranak pinak dengan mematikan langkah siswa untuk berkembang.
Dengan mengeluarkan siswa dari pemikiran yang sempit, berarti guru telah ikut memperjuangkan kemerdekaan belajar bagi siswa. Belenggu pikir harus dilepas, agar siswa bisa lebih hebat, berkualitas, dan keren.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H