Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Ngeluh saat Menganggur, tapi "Angin-anginan" saat Bekerja

14 September 2019   21:43 Diperbarui: 16 September 2019   17:55 1352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bekerja tapi "angin-anginan". Gambar dari Pixabay.com

"Ketika menganggur, kita kadang suka ngeluh suka ngomel. Mulai dari menyalahkan diri, karena mungkin kemarin salah jurusan. Menyalahkan orang tua kenapa miskin. Hingga menyalahkan pemerintah kenapa tidak menyediakan lapangan pekerjaan."

"Tapi giliran sudah dapat kerja, eh kerjanya angin-anginan, suka bolos, tidak disiplin, bahkan masuk kerja hanya isi absen, lalu pulang. Sehatkah kita?"

Sudah tamat kuliahnya dek?
Jurusan apa?
Eh, kuliahnya dimana kemarin?
Sekarang sudah kerja?

Seseorang yang masih kuliah, akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan lantang: "Belum Pak, masih semester 3, jurusan A, kuliahnya di Universitas B." Terselip semangat juang dari jawaban, dan mereka pun sebisa mungkin menutup raut wajah "terbeban" kuliah dengan senyum yang manis

Mereka yang masih duduk di bangku kuliah ibarat masih berdiam di balik tempurung kelapa muda, yang ketika mereka bergeser ke kanan dan ke kiri akan tersentuh manisnya air kelapa. Masa-masa indah di SMA masih berbekas di hati, dan masih tersisa manis-manisnya

Mereka belum bisa keluar karena masih terlalu nikmat berada di dalam buah kelapa, bertemankan cita-cita dan asa. Ketika mau keluar, mereka masih terhalang oleh tebalnya serabut. Hebatnya, didalam tempurung mereka terus menikmati hujan dan panas dunia. Bahkan selalu menatap langit bersama ketinggiannya.

Sebagai buah kelapa muda, mereka masih berpegah teguh dengan batang pohon. Dengan rekatan yang kuat itu, mereka belum akan jatuh dari ketinggian. Terpaan angin dan badai belum begitu terasa, karena mereka masih berenang dalam kehangatan air kelapa.

Sakit di dunia mereka para mahasiswa masih tentang tugas makalah yang menumpuk, tentang nilai dan IPK yang tidak sesuai dengan keringat, serta beberapa kali terbentur oleh pintu gerbang karena mengejar tanda tangan dosen. Huufh.

Beda halnya dengan para sarjana yang masih nganggur. Ketika 1-3 bulan menganggur mungkin belum ada rasa sakit, karena masih menikmati masa-masa wisuda. Jikapun ditanya masyarakat mengapa belum kerja, mereka masih bisa menafiknya dengan alasan ijazah belum terbit.

Tapi, jika sudah 1 atau 2 tahun menganggur rasanya akan begitu berat. Beberapa kali mereka seakan malu menatap jalan. Mereka malu dengan teman-temannya yang sudah duluan dapat pekerjaan. Mereka juga harus senantiasa tebal muka menghadap sinisnya para tetangga. Mirisnya, semakin banyak sarjana yang wisuda, semakin banyak pula yang menganggur.

Sejenak kita menilik data Badan Pusat Statistik (BPS). Per Februari 2019 angka pengangguran terbuka di Indonesia berjumlah 6,82 juta orang. Meski sudah berkurang 50 ribu orang dibandingkan tahun 2018, ada peningkatan drastis jumlah pengangguran pada tamatan Diploma dan Sarjana.

Tamatan Diploma naik 8,5 %, dan tamatan Sarjana naik 25%. Keadaan berbanding terbalik dengan pengangguran tamatan SD yang turun hingga 25%. Data ini menunjukkan bahwa angkatan tamatan SD cenderung mau bekerja apa saja. Sedangkan para Diploma/Sarjana terindikasi kurang terampil, serta berorientasi gaji dan status pekerjaan.

Sebuah ironi yang terkesan melanggar kenyataan, bahwa sarjana yang seharusnya bisa mendapat peluang kerja lebih baik dibandingkan tamatan di bawahnya, malah berbalik menjadi penanti kerja dengan peningkatan jumlah tertinggi.

Periksa Diri: Mengapa Kita Masih "Nganggur"
Para sarjana fresh graduates punya jalan masing-masing untuk melanjutkan hidupnya, terutama dalam mencari pekerjaan. Ada dari mereka yang begitu mudah dapat pekerjaan, karena hanya perlu meneruskan usaha orang tuanya.

Ada pula yang dapat kerja dari kerabat dan sanak, dari rekomendasi tetangga dekat rumah, dari organisasi semasa kuliah, bahkan ada yang lulus dengan hanya sekali tes kerja. Tapi nyatanya, tidak semua sarjana punya kesempatan manis seperti itu.

Banyak pula dari mereka yang menganggap bahwa tamat kuliah berarti memulai hidup dari garis awal lagi. Di awal-awal start, perjuangan dilakukan tanpa batas dan tak kenal putus asa. Sekali buat lamaran kerja jadilah 7 amplop, kemudian sabar menanti panggilan selama 2-3 minggu kerja.

Bisa jadi dari 7 amplop lamaran itu tidak ada satupun panggilan wawancara kerja. Bisa jadi dari 7 amplop itu ada 1-2 instansi yang mau menerima mereka, namun gajinya kecil bagi ukuran sarjana. Dan bisa jadi pula ada instansi yang mau menerima mereka, hanya saja pekerjaan itu kurang bergengsi.

Setelah berkali-kali "menolak" peluang, akhirnya banyaklah sarjana yang menganggur. Di sela-sela waktu, mulailah ngomel dan ngeluh berkepanjangan. Mulai dari menyalahkan diri karena mungkin salah jurusan, menyalahkan orang tua kenapa miskin, hingga menyalahkan pemerintah kenapa tak kunjung menyediakan lapangan pekerjaan.

Sejenak, rasanya mereka perlu merenung dan berpikir kritis. Sudah ada 7 instansi yang membuka lowongan kerja, tapi satupun tidak ada yang mau menerima. Berarti bukan semata salah instansinya kan?

Tentu ada yang salah dari sosok sarjana itu. Alasan Instansi tidak menerima mereka untuk bekerja bermacam-macam. Boleh jadi sarjana fresh graduate di anggap kurang terampil, tidak memiliki pengalaman, dan bahkan kurang "akhlak".

Terang saja, jika para sarjana melamar kerja dengan mengedepankan gengsi dan "pilih-pilih" gaji, instansi akan berpikir dua kali untuk menerima mereka. Padahal, instansi sebenarnya tahu betul berapa ukuran gaji yang layak untuk para sarjana.

Jika mereka nantinya akan bekerja dengan giat bahkan sering lembur, tidak mungkin instansi akan membayar mereka "murah". Kecuali memang instansi itu yang zalim dan memaksa mereka kerja rodi, barulah bisa menuntut gaji lebih.

Dan untuk mendapat "gengsi" dalam kerja itu butuh proses. Prosesnya pun bertahap dan pelan-pelan. Tidak mungkin baru melamar kerja, langsung diangkat menjadi bos besar.

Instansi mau lihat progress kerjanya dahulu, lalu menilai sejauh mana kecintaannya dalam pekerjaan itu. Jika progress-nya baik, barulah instansi akan menimbang kelayakan sarjana untuk naik "gengsi".

Jika Sesuai Keinginan: Cintai. Jika Tak Sesuai: Jadikan Batu Loncatan
Sarjana yang menganggur memang banyak, tapi tidak sedikit juga di antara mereka yang mau kerja "apa saja". Ya, daripada harus terus menanggung beban julukan "sarjana pengangguran!" Setidaknya, mereka bisa sedikit menjahit kembali senyuman yang selama ini terkoyak.

Jadi, tidak perlu terlalu heran jika kita bertemu sarjana yang bekerja di luar gelar, bahkan rela melepas gelarnya. Ada yang bergelar S.H, tapi bekerja sebagai kontraktor pabrik. Adapula mereka yang memilih untuk berniaga di pasar tradisonal, bahkan berkebun.

Ada yang bergelar S.Pd, tapi bekerja di kantor pajak atau dealer motor. Padahal seharusnya mereka para sarjana pendidikan itu mengajar di sekolah. Dan seharusnya mereka yang bergelar sarjana hukum bekerja sebagai hakim, notaris, atau staff kementerian.

Mengapa memilih bekerja di luar gelarnya? Bisa karena pertimbangan gaji, dan bisa jadi karena tidak ada lowongan kerja lain. Lama-kelamaan, dari sinilah muncul sikap "angin-anginan" dalam bekerja.

Sudah lepas dari gelar pengangguran, malah lengket dengan gelar "angin-anginan" saat sudah kerja. Di awal-awal masa kerja, mereka masih begitu rajin. Entah mau membentuk citra yang baik, atau sekadar pencitraan, tetapi yang tampak adalah kesungguhan dan semangat kerja. Tentu saja pimpinan akan menaruh hati.

Namun ketika sudah lama bekerja, mulailah "masuk angin". Entah karena kebanyakan keluar malam atau kurang jamu, mereka mulai terkesan malas dalam bekerja. Yang awalnya masuk tepat waktu jadi sering telat. Awalnya rajin, mulai sering menunda-nunda kerja. Awalnya pulang tepat waktu, mulai sering curi-curi kesempatan pulang lebih awal.

Mirisnya, ini terjadi bukan hanya kepada mereka yang bekerja tidak sesuai dengan bidangnya, melainkan juga pekerja profesional. Jika seperti ini, sebenarnya bisa saja kita teriak:

"Kalo tidak mau kerja seperti ini, kenapa kemarin ngelamar di sini!"
"Kemarin saat belum naik jabatan kerjanya rajin, tapi sekarang mentang-mentang sudah punya gengsi, kerjanya malas-malas. Kalau tahu akan seperti ini, kemarin tak usah naik jabatan saja!"

Jika memang pekerjaan itu tidak sesuai dengan gelar dan bidang kita, janganlah kita semena-mena. Tetaplah kita bekerja dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Boleh jadi pekerjaan itu hanyalah batu pijakan kita untuk bisa melompat lebih jauh di masa depan.

Kita tidak tahu bagaimana rahasia Tuhan. Logika-nya, jika kita tetap bekerja dengan sepenuh hati meskipun sejatinya bukanlah cita-cita kita, orang lain akan terkesan, orang lain akan menaruh kepercayaan. Nah, dari sanalah peluang kerja lebih baik akan muncul.

Karena orang lain melihat kita rajin, ikhlas, semangat, dan sungguh-sungguh dalam bekerja, rezeki akan senantiasa bertamu dari sisi yang tak terduga. Bisa saja nanti orang-orang yang terkesan dengan kita menawarkan pekerjaan yang lebih baik, bahkan dengan jabatan dan gengsi yang lebih tinggi.

Bukan fatamorgana kan? Karena kita sudah menebar kepercayaan. Tapi, kalau kerja saja angin-anginan, siapa yang mau respek dan memberi peluang! Yang ada malah kita dijadikan bahan ejekan dan hinaan. Apalagi jika kita masih muda dan bergairah, bisa-bisa didoakan tentang sesuatu yang buruk. Hmm, jangan sampai terjadi!

Sama halnya dengan kita yang bekerja sesuai dengan gelar dan profesi. Pekerjaan itu harus kita cintai. Artinya, selain kita wajib bekerja dengan sungguh-sungguh, kita pula mesti menyukai pekerjaan itu dan menganggapnya sebagai kebutuhan kita. Jangan malah angin-anginan dan semata-mata meremehkannya.

Sungguh, bekerja dengan giat adalah salah satu bentuk syukur terhadap nikmat yang telah kita dapatkan. Sudah kurang baik apa Tuhan, di saat sarjana lain masih compang-camping mencari pekerjaan, kita sudah tinggal duduk manis menanti gaji tiap awal bulan.

Jangan sampai kita kurang bersyukur. Khawatirnya, karena kita kurang bersyukur, Tuhan akan cabut nikmat kita yang bekerja sehingga jadi pengangguran lagi. Tentu kita tidak mau seperti itu.

Maka dari itulah, ketika kita sudah berada tinggi "di atas gunung", jangan selalu menatap langit. Jujur saja, langit itu begitu tinggi dan berlapis. Kelamaan menatapnya akan membuat mata kita kabur, bahkan terpejam.

Beda halnya ketika sudah tinggi diatas gunung, namun sering menatap "ke bawah". Dari atas semua tampak, semua terlihat. Mulai dari pepohonan, rerumputan, tata perkotaan, hingga kabut-kabut putih yang menyelimutinya. Tentu saja indah bukan?

Itulah indahnya bersyukur. Darinya akan lahir ketenangan dan kelegaan hati. Harapannya, dengan bersyukur semoga nikmat kita senantiasa akan tertambahkan.

Salam. Semoga Memotivasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun