Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berpacaran dan bermaksiat. Nabi Muhammad juga tidak pernah mengajarkan bahwa berhijad harus jadi teroris. Untuk menjalin kemaslahatan umat, Nabi Muhammad mengajarkannya dengan cara menikah. Tentu saja lewat proses ta'aruf (Mengenal), Khitbah (meminang), dan akad (menikah). Pacaran? Tidak ada! Jelas itu bukan ajaran Nabi.
Nabi Muhammad mengajarkan bahwa berjihad tidak harus melulu perang. Mengapa dulu umat muslim berperang? Bukan karena ingin berjihad, melainkan waktu itu umat Islam teraniaya, terdzalimi, dan ada perintah Allah dalam Qur'an untuk berperang. Karena Islam ada musuh? Tidak, sungguh Islam tidak menyukai permusuhan.
Yang salah adalah "pelakunya", bukan salah Kitab maupun Nabi Muhammad. Tidak pantas kiranya kita menyalahkan Islam ketika melihat orang Islam jadi teroris, jadi PSK, atau bahkan jadi narapidana. Yang salah tetap orangnya, karena mereka memiliki "keraguan" terhadap Islam, sehingga tidak menjalankan agama sesuai Kitab dan Nabinya.
Sederhana saja, ketika kita melempar kelereng lalu kena kaca jendela tetangga dan akhirnya pecah. Siapa yang kita salahkan? Apakah kelerengnya? Sungguh, tidak, tidak, dan lagi-lagi tidak. Kelereng tidaklah salah, yang salah adalah orang yang melempar kelereng tersebut. Bagaimana mungkin kelereng bisa berlari sendiri dan menabrakkan dirinya ke jendela tetangga, jika tidak di larikan orang?
Begitupula dengan Islam. Bagaimana mungkin Islam bisa dengan sendirinya intoleran, radikal, jika tidak ada "pelaku" yang membawanya. Sejatinya Islam tetap benar, bahkan Islam adalah rahmatan lil aalamiin. Tetap menjadi rahmat bagi kita semua. Bahkan masyarakat yang bukan muslim pun turut mendapat rahmat Islam.
Tahun Baru Islam 1441 H, Bersama Kita Wujudkan Kedamaian
Tanggal 1 September 2019, tahun Islam akan berganti. Namun lagi-lagi kehidupan kita akan tetap berjalan. Mulai dari kehidupan kita sesama muslim, kehidupan berbangsa, kehidupan bernegara, hingga kehidupan dunia. Semua tidak akan ada yang berubah kecuali kita sendiri yang mengubahnya. Termasuklah dalam mewujudkan Islam yang damai.
Sebenarnya, walau kita dapat mewujudkannya melalui sikap "Ibda' binafsi" alias berawal dari diri sendiri, hal ini tidak akan maksimal jika para pemimpin negeri ini belum mencapai atau mendekati hakikat kemuliaan mereka sebagai manusia. Mengapa? Karena semakin jauh dari kemuliaan, para pemimpin semakin tidak tahu dengan kewajiban dirinya.
Belum berbicara tentang hak kita sebagai masyarakat. Jika pemimpin belum tahu betapa berat beban dan amanah menjadi "khalifah", bisa-bisa kita akan terus teraniaya, terdzalimi, dan terus mengelus duka. Bahkan, tak jarang beberapa kita sampai menangis darah. Lagi-lagi pemimpin juga harus kenal Islam secara mendalam, terutama untuk mengetahui hakikat kenapa ia diangkat menjadi pemimpin.
Percuma jika kita terus berkoar, menabuh gendang, hingga teriak "ayo wujudkan kedamaian", "ayo wujudkan kedamaian", jika masih terus menyindir bahkan menghina aqidah agama lain. Begitupun halnya jika terus memuliakan orang lain karena jabatannya, warna kulitnya, bahkan karena "kerabat dekat". Bukan kedamaian yang lahir, malah sukuisme, bahkan liberal nan radikal yang akan terus beranak pinak.
Ending-nya, kita perlu kembali ke jalan yang benar, yaitu kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Karena dengan mengenal keduanya, kita terbebas dari fitnah, kita terbebas dari taklid buta, dan kita terbebas dari pemikiran-pemikiran "setan" yang menghancurkan umat.Â