Anda Kenal Islam Dari Siapa?
"Islam itu damai, bukan agama huru-hara seperti yang Anda lihat."
"Islam itu toleran, bukan agama rasis dan konflik seperti yang Anda opinikan."
"Islam itu moderat, tidak radikal seperti yang Anda pikirkan."
Untuk itu, mari kita berjalan beriringan memajukan negeri.
 Semakin hari Islam semakin tersudutkan, terbukti dengan banyaknya opini-opini dan fitnah yang mencoreng kedamaian negeri dan bawa-bawa nama Islam. Yang membuat lebih sakit, para perusak dan penyebar fitnah banyak dari kalangan Islam sendiri.Â
Para perampok, pembunuh, pemerkosa, bahkan teroris banyak dari orang  Islam sendiri. Belum lagi dengan para pelaku rasis, koruptor, hingga dalang konflik antar SARA juga banyak dari kalangan Islam.
Islam seakan menjadi tameng untuk berlindung. Ya, mungkin bagi mereka tameng Islam lebih kuat dari besi, lebih keras dari baja. Biarpun besinya bengkok, mereka yang bersembunyi akan tetap terlindungi dengan nama Islam. Akhirnya, seburuk apapun perilaku mereka, seburuk apapun nama mereka akan diwakilkan dengan Islam. Islam lagi yang kena batunya.
Tapi sadarkah? Anda telah salah mengenal Islam. Secara ilmu Anda salah, secara pendekatan dan metodologi Anda salah, dan secara agama Anda juga salah. Mengapa salah?
Kenali Islam dari Kitabnya
Mengapa salah? Jawabannya adalah Anda salah dasar, salah referensi, salah acuan. Anda hanya mengenal Islam dari apa yang terlihat, dari opini orang lain, dan dari pemikiran radikal Anda sendiri. Terang saja, mengambil kesimpulan dari kumpulan opini, pemikiran sendiri dan, dari apa yang terlihat akan menghasilkan sebuah keragu-raguan. Padahal sejatinya, agama itu bebas dari keraguan.
Seperti ditegaskan dalam Al-Qur'an Surah  Al-Baqarah ayat 2: "Kitab (Al-Qur'an) sungguh tidak ada keraguan darinya." Maka dari itu, dasar dan pijakan pertama dalam mengenal Islam adalah lihat, baca, teliti, dan pahami kitabnya.Â
Kitab agama Islam adalah Al-Qur'an. Jika sudah membaca dan menyelami Al-Qur'an maka akan tampak bahwa terorisme, rasisme, radikalisme, maksiat, hingga intoleran tidak diajarkan oleh Islam. Bahkan semua itu adalah dosa besar.
Lalu  bagaimana dengan ayat "Lakum diinukum waliyadiin"? bukankah ini radikal? Jelas bukan. Lagi-lagi, janganlah memahami arti ayat Al-Qur'an secara tersurat saja. "Bagimu  agamamu bagiku agamaku", ini adalah sebuah  prinsip keimanan. Untuk mencari kandungan Surah Al-Kaafiruun ayat 6 ini kita perlu menelusur Azbabun Nuzul alias sebab diturunkannya ayat.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa sebab turunnya Surah Al-Kaafiruun karena orang kafir Quraisy mengajak Nabi Muhammad untuk bersama-sama menyembah berhala selama satu tahun.Â
Dan sebagai gantinya, para kafir Quraisy akan mengikuti ajaran Islam selama satu tahun pula. (bersamadakwah.net). Ini dilakukan agar mereka bisa sama-sama mendapat kemaslahatan dari apa yang  mereka perbuat.
Dari sini jelas bahwa jika orang Islam ikut-ikutan menyembah berhala, berarti mereka tidak punya prinsip dalam beragama. Dan dalam hal ini, aqidah bukanlah hal yang bisa ditawar-tawar karena hakikatnya adalah menyembah hanya kepada Allah semata. Sekilas, memang ada sisi radikal disini. Namun lagi-lagi, ini adalah prinsip dan sesuai dalam konteksnya, yaitu keimanan dan penghambaan diri hanya kepada Allah.
Untuk persoalan suku, ras, agama, bahkan etnis, Islam begitu toleran. Tidak ada yang namanya penggolongan ras tertentu, etnis tertentu, warna kulit tertentu, dan bahkan jabatan tertentu. Tidak ada cerita bahwa orang Islam hanya toleran kepada sesamanya saja. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur'an Surah Al-Hujurat ayat 13:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Dalil ini begitu menegaskan bahwa Islam itu toleran, Islam itu inklusif, dan Islam itu menjunjung tinggi multikultural. Mengapa? Karena hebatnya orang karena warna kulit, etnis, ras, bahkan suku tertentu tidak akan menjamin tingkat takwa.
Kenali Islam dari Nabinya
Aneh melihat orang Islam berpacaran?
Miris melihat para pemerkosa dan yang diancam kebiri banyak orang Islam?
Geram melihat para teroris teriak-teriak "jihad fisabilillah"?
Atau tidak percaya lagi dengan Islam karena banyak orang Islam rasis!
Baiklah, sejenak kita duduk, merenung, dan cari akar masalahnya hingga kita tahu siapa yang salah.
Dalam Al-Qur'an Surah Al-Ahzab ayat 21, Allah berfirman:Â "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."Â
Allah langsung menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah sosok teladan terbaik bagi umat manusia. Mulai dari perbuatan, perkataan, sikap, dan ketetapan beliau mesti kita teladani. Hadiahnya? Tentu saja surga.
Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berpacaran dan bermaksiat. Nabi Muhammad juga tidak pernah mengajarkan bahwa berhijad harus jadi teroris. Untuk menjalin kemaslahatan umat, Nabi Muhammad mengajarkannya dengan cara menikah. Tentu saja lewat proses ta'aruf (Mengenal), Khitbah (meminang), dan akad (menikah). Pacaran? Tidak ada! Jelas itu bukan ajaran Nabi.
Nabi Muhammad mengajarkan bahwa berjihad tidak harus melulu perang. Mengapa dulu umat muslim berperang? Bukan karena ingin berjihad, melainkan waktu itu umat Islam teraniaya, terdzalimi, dan ada perintah Allah dalam Qur'an untuk berperang. Karena Islam ada musuh? Tidak, sungguh Islam tidak menyukai permusuhan.
Yang salah adalah "pelakunya", bukan salah Kitab maupun Nabi Muhammad. Tidak pantas kiranya kita menyalahkan Islam ketika melihat orang Islam jadi teroris, jadi PSK, atau bahkan jadi narapidana. Yang salah tetap orangnya, karena mereka memiliki "keraguan" terhadap Islam, sehingga tidak menjalankan agama sesuai Kitab dan Nabinya.
Sederhana saja, ketika kita melempar kelereng lalu kena kaca jendela tetangga dan akhirnya pecah. Siapa yang kita salahkan? Apakah kelerengnya? Sungguh, tidak, tidak, dan lagi-lagi tidak. Kelereng tidaklah salah, yang salah adalah orang yang melempar kelereng tersebut. Bagaimana mungkin kelereng bisa berlari sendiri dan menabrakkan dirinya ke jendela tetangga, jika tidak di larikan orang?
Begitupula dengan Islam. Bagaimana mungkin Islam bisa dengan sendirinya intoleran, radikal, jika tidak ada "pelaku" yang membawanya. Sejatinya Islam tetap benar, bahkan Islam adalah rahmatan lil aalamiin. Tetap menjadi rahmat bagi kita semua. Bahkan masyarakat yang bukan muslim pun turut mendapat rahmat Islam.
Tahun Baru Islam 1441 H, Bersama Kita Wujudkan Kedamaian
Tanggal 1 September 2019, tahun Islam akan berganti. Namun lagi-lagi kehidupan kita akan tetap berjalan. Mulai dari kehidupan kita sesama muslim, kehidupan berbangsa, kehidupan bernegara, hingga kehidupan dunia. Semua tidak akan ada yang berubah kecuali kita sendiri yang mengubahnya. Termasuklah dalam mewujudkan Islam yang damai.
Sebenarnya, walau kita dapat mewujudkannya melalui sikap "Ibda' binafsi" alias berawal dari diri sendiri, hal ini tidak akan maksimal jika para pemimpin negeri ini belum mencapai atau mendekati hakikat kemuliaan mereka sebagai manusia. Mengapa? Karena semakin jauh dari kemuliaan, para pemimpin semakin tidak tahu dengan kewajiban dirinya.
Belum berbicara tentang hak kita sebagai masyarakat. Jika pemimpin belum tahu betapa berat beban dan amanah menjadi "khalifah", bisa-bisa kita akan terus teraniaya, terdzalimi, dan terus mengelus duka. Bahkan, tak jarang beberapa kita sampai menangis darah. Lagi-lagi pemimpin juga harus kenal Islam secara mendalam, terutama untuk mengetahui hakikat kenapa ia diangkat menjadi pemimpin.
Percuma jika kita terus berkoar, menabuh gendang, hingga teriak "ayo wujudkan kedamaian", "ayo wujudkan kedamaian", jika masih terus menyindir bahkan menghina aqidah agama lain. Begitupun halnya jika terus memuliakan orang lain karena jabatannya, warna kulitnya, bahkan karena "kerabat dekat". Bukan kedamaian yang lahir, malah sukuisme, bahkan liberal nan radikal yang akan terus beranak pinak.
Ending-nya, kita perlu kembali ke jalan yang benar, yaitu kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Karena dengan mengenal keduanya, kita terbebas dari fitnah, kita terbebas dari taklid buta, dan kita terbebas dari pemikiran-pemikiran "setan" yang menghancurkan umat.Â
Makin kita mengenal, makin kuat pula dasar kita untuk menilai sesuatu. Menilai bukan dalam artian untuk dilakukan remedial, melainkan menilai untuk dijadikan bahan renungan, hingga dapat menambah kualitas iman dan takwa kita.
Kita pula perlu terus-menerus berdoa. Karena doa orang-orang  yang  terdzalimi akan dikabulkan oleh Allah. Tentu saja doa yang baik-baik, untuk kemaslahatan semua orang. kita berdoa agar pemimpin kita terbuka hatinya, agar pemimpin kita diberi hidayah oleh Allah, dan agar pemimpin kita bisa mencerminkan akhlak nabi. Jujur, amanah, tabligh, fathanah. Cukup 4 ini saja, jika dimiliki oleh para pemimpin, maka akan damailah  negeri ini.
Sesekali cukuplah kita berkeluh, karena alangkah baiknya jika keluh-keluh kita selama ini diganti dengan doa terbaik untuk negeri ini. Mulai dari mendoakan diri sendiri untuk istiqomah, mendoakan keluarga agar terus sehat, selamat, dan sejahtera, hingga mendoakan para pemimpin agar mendapat hidayah.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H