Mohon tunggu...
Salimun Abenanza
Salimun Abenanza Mohon Tunggu... Administrasi - di sini maka di sana

seorang anak dari negeri beruang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Palang Perlintasan Kereta

29 Desember 2015   09:29 Diperbarui: 29 Desember 2015   09:51 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

palang perlintasan kereta

jatuh menghentak

menghentikan nasib manusia-manusia yang tersurat di dalamnya

mungkin saja ia hilang antara dekap pinggul anak dan ibunya

atau deret motor pergi sekolah yang pergi untuk keabadian

atau juga tak terlihat oleh mata-mata beroda

nasib-nasib berhenti, dan mulut-mulut tak lagi bisa bersiar

.

palang perlintasan kereta

menghentikan banyak wahana

tapi tak mampu menghentikan derasnya ingin para angkuh di sana

banyak kata terlompat menyebrangi rel-rel itu

mencaci dan menghina seenaknya

mungkin nasib mereka beruntung dalam kursi yang tak harus panas

atau antri menunggu ia terjungkit ke atas

mereka mungkin ada di atas kereta itu, atau terbang dalam burung besi melintas awan

.

palang perlintasan kereta

harusnya bisa menghentikan kata-kata kotor dan sok dari mereka

tapi sayang mereka terlalu tinggi dan terlalu terhormat untuk dicaci

angin yang menampar setelah kereta lewat berbisik pada palang

harusnya lidah angkuh mereka terpotong di rel itu

badan angkuh mereka harusnya terkoyak oleh kereta itu

dan kepala mereka harusnya terseret hancur di ujung rel sana

dan kau palang perlintasan tak harus terjungkit untuk menghentikan nasib kematian orang-orang angkuh itu

karena banyak yang berharap dia segera mati

dan tak pernah hadir lagi di dunia ini

.

angin itu segera pergi, dan kemudian semua kembali bergerak

lalu akupun melintas

sebagai orang yang masih terhinakan

 

Surakarta (29-12-2015) Pilihlah anggota dewan yang terhormat (untuk disampahkan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun