Misalnya, di Tana Toraja, sangat tidak maksimal mennggunakan ART sebagai sarana transportasi publik. Kendala utamanya adalah Toraja merupakan wilayah pegunungan.
Selain itu, Toraja memiliki banyak pengusaha transportasi darat yang jelas terancam keberadaannya di kemudian hari.
Bisa saja, pengusaha lokal dilibatkan dalam pengelolaan ART, tetapi mungkin tak bisa karena terkait dengan keberlanjutan keseluruhan media penunjang ART.
Bukan hanya bus-bus AKAP dan AKDP yang menjadi primadona transportasi menuju kabupaten yang terkenal dengan wisata alam dan budayanya ini.Â
Hampir semua jenis kendaraan telah menjadi transportasi publik di Toraja. Minibus, MPV, APV, hingga mobil bak terbuka telah menjadi media mobilitas warga lokal.
Jika pun suatu hari nanti moda transportasi massal ART ini dibangun dan beroperasi di Toraja, maka idealnya dijadikan sebaga ialat transportasi untuk pelajar dan pegawai. Tetapi, sekali lagi, jika ini terjadi, maka penghasilan para penyedia alat transportasi lokal akan gulung tikar.Â
Berbicara alat pembayaran ongkos ART, saya sudah meyakini bahwa pasti menggunakan pembayaran non tunai. Entah itu melalui Gopay, QRIS, atau e-toll. Tidak semua warga siap untuk hal yang satu ini.
Saya pribadi menikmati pembayaran non tunai. Lebih aman dan praktis. Tetapi, warga khalayaknumum cenderung tak suka non tunai. Kebanyakan masih cinta yang tunai. Katanya kalau non tunai, mudah ditipu.Â
Salah satu cara yang bisa ditempuh pemerintah adalah melibatkan pengusaha transportasi lokal dalam mengelola ART nantinya. Tetapi entah bagaimana prosedurnya, sebaiknya semua pihak yang berkepentingan melakukan analisis mendalam. Ini penting untuk meninjau kesiapan dan potensi pendukung di setiap daerah.Â
Secara khusus, bagaimana kesiapan dan sumber finansialnya, apakah menggunakan APBD, dukungan pengusaha lokal atau kontribusi investor asing.Â
Melihat potensi ekonominya, kehadiran moda transportasi ART tentu akan menyerap banyak tenaga kerja.