Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Meninjau ART sebagai Solusi Transportasi Darat di Daerah

8 Juni 2024   14:39 Diperbarui: 9 Juni 2024   08:21 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana transportasi massal di Makassar, Sulawesi Selatan. Sumber: dokumentasi pribadi.

Setiap saat kebutuhan akses transportasi warga semakin meningkat. Seiring perkembangan zaman, sarana transportasi juga menuntut update teknologi. 

Secara khusus di Indonesia yang telah menjadi salah satu pasar besar kendaraan, media transportasi roda empat semakin diperbarui. 

Warga dan pelaku usaha angkutan berlomba-lomba memperbaharui alat transportasi mereka.

Semakin baru model dan teknologi transportasi di Eropa, Jepang, Korea, Tiongkok dan Amerika, maka warga Indonesia berlomba-lomba memilikinya.

Akan tetapi, kondisi ini bukannya membuat mobilitas warga makin membaik. Justru makin menambah kemacetan.

Macet terjadi karena warga lebih memilih naik kendaraan pribadi dibandingkan naik kendaraan umum.

Warga pun mengoleksi kendaraan roda empat lebih dari satu buah. Sehingga makin menambah beban polusi udara, konsumsi bahan bakar dan kepadatan lalu lintas.

Beberapa daerah sudah mengembangkan alat transportasi massal yang bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan terjangkau oleh warga. 

Yang paling populer adalah Transjakarta, Transjateng dan Trans Mamminasata di Sulawesi Selatan. Hanya saja, baik Transjateng dan Trans Mamminasata tidak selaris Transjakarta.

Saya pernah menggunakan moda Trans Mamminasata dari Bandara Sultan Hasanuddin menuju Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan di kota Makassar. 

Biayanya hanya Rp 4.600. Sangat murah. Tetapi penumpangnya hanya 4 orang. Tak ada penumpang yang naik di setiap halte. Dibandingkan dengan naik Grab dan taksi bandara, ongkosnya mencapai Rp 125.000. Artinya, moda transportasi massal belum sepenuhnya diterima di daerah. 

Nah, saat ini pemerintah sedang menggodok pembangunan alat transportasi darat yang diadopsi dari Tiongkok, yakni ART (autonomous-rail rapid transit). 

Layanan transportasi ini menyerupai MRT yang sudah beroperasi di Jakarta. Perbedaannya adalah MRT lebih menyerupai kereta api dengan gerbong sedikit panjang sementara ART memiliki gerbong yang lebih pendek, menyerupai sleeper bus.

Kehadiran ART ini diharapkan mampu mengurangi kemacetan lalu-lintas, polusi udara dan memungkinkan lestarinya sumber daya alam penyuplai bahan utama bahan bakar. 

Pertanyaannya sekarang adalah siapkah semua daerah di Indonesia mengadopsi teknologi ART yang berbasis rel? Sejauh mana potensi setiap daerah mampu membangun semua fasilitas penunjang ART? Kondisi keuangan daerah tak sama. Sumber pendapatan daerah pun kontras satu sama lain.

Pertanyaan berikutnya, maukah warga menggunakan ART? Bagaimana model pembayaran ongkos ART? Apakah menggunakan uang tunai atau non tunai? Terus, bersediakah warga di daerah menggunakan alat pembayaran non tunai atau digital?

Seperti diketahui bahwa warga di daerah cenderung lebih familiar menggunakan kendaraan umum. Mereka pun doyan naik roda empat milik pribadi untuk menunjang aksesibilitas kegiatan mereka.

Di sisi lain, pengusaha transportasi darat konvensional di daerah jelas terganggu dengan program ini.

Apalagi jika ART-nya beroperasi di perkotaan, maka jelas pengusahan angkutan umum seperti pete-pete di wilayah Sulawesi dan taksi konvensional terancam gulung tikar.

ART seyogyanya ramah untuk semua kalangan. Dengan demikian, tantangan pemerintah pusat dan daerah adalah membangun sinergi terkait rencana pembangunan ART ini.

Sinergi ini bukan hanya penerapan kebijakan, pengelola bisnis ART, tetapi paling penting juga mencakup topografi wilayah di daerah.

Misalnya, di Tana Toraja, sangat tidak maksimal mennggunakan ART sebagai sarana transportasi publik. Kendala utamanya adalah Toraja merupakan wilayah pegunungan.

Selain itu, Toraja memiliki banyak pengusaha transportasi darat yang jelas terancam keberadaannya di kemudian hari.

Bisa saja, pengusaha lokal dilibatkan dalam pengelolaan ART, tetapi mungkin tak bisa karena terkait dengan keberlanjutan keseluruhan media penunjang ART.

Bukan hanya bus-bus AKAP dan AKDP yang menjadi primadona transportasi menuju kabupaten yang terkenal dengan wisata alam dan budayanya ini. 

Hampir semua jenis kendaraan telah menjadi transportasi publik di Toraja. Minibus, MPV, APV, hingga mobil bak terbuka telah menjadi media mobilitas warga lokal.

Jika pun suatu hari nanti moda transportasi massal ART ini dibangun dan beroperasi di Toraja, maka idealnya dijadikan sebaga ialat transportasi untuk pelajar dan pegawai. Tetapi, sekali lagi, jika ini terjadi, maka penghasilan para penyedia alat transportasi lokal akan gulung tikar. 

Berbicara alat pembayaran ongkos ART, saya sudah meyakini bahwa pasti menggunakan pembayaran non tunai. Entah itu melalui Gopay, QRIS, atau e-toll. Tidak semua warga siap untuk hal yang satu ini.

Saya pribadi menikmati pembayaran non tunai. Lebih aman dan praktis. Tetapi, warga khalayaknumum cenderung tak suka non tunai. Kebanyakan masih cinta yang tunai. Katanya kalau non tunai, mudah ditipu. 

Salah satu cara yang bisa ditempuh pemerintah adalah melibatkan pengusaha transportasi lokal dalam mengelola ART nantinya. Tetapi entah bagaimana prosedurnya, sebaiknya semua pihak yang berkepentingan melakukan analisis mendalam. Ini penting untuk meninjau kesiapan dan potensi pendukung di setiap daerah. 

Secara khusus, bagaimana kesiapan dan sumber finansialnya, apakah menggunakan APBD, dukungan pengusaha lokal atau kontribusi investor asing. 

Melihat potensi ekonominya, kehadiran moda transportasi ART tentu akan menyerap banyak tenaga kerja.

Mulai dari tahap pembangunan hingga pada tahap mulainya beroperasi. Warga lokal bisa dipekerjakan pada setiap loket. Ada petugas keamanan dan petugas yang menangani loket pembayaran non tunai. 

Selain itu, halte atau stasiun ART bisa menjadi spot menarik untuk berdagang bagi warga setempat. Tentu dengan pengelolaan yang profesional. Dengan meniru pengelolaan MRT, saya yakin ART lambat laun akan bisa diterima seluruh lapisan masyarakat di daerah. 

Menarik pula untuk menunggu, apakah ormas bersedia memgelola bisnis transportasi ART ini seperti yang sedang hangat di berita nasional tentang ormas keagamaan yang digadang-gadang diberi kesempatan mengelola tambang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun