Beruntung ada listrik dari turbin yang kerlap-kerlip. Kami dijamu dan menginap di rumah pak Camat malam itu. Tak banyak cerita hingga kami terlelap karena capek.Â
***********
Kampung Belau di Masanda secara umum adalah foto copy Mamasa. Bangunan rumah tradisional yang banyak terhampar di sana adalah milik Mamasa. Suasana kampung sepi, warga banyak beraktifitas di hutan menggarap kebun kopi. Hanya anak sekolah dan beberapa guru yang meramaikan jalanan. Tak ada mobil berlalu, hanya kuda dan satu dua motor tua modifikasi.Â
Posko kami menggunakan rumah salah satu warga Masanda yang saat itu menjabat sebagai anggota DPRD di Kabupaten Mamasa. Rumah itu adalah satu-satunya rumah mewah di Masanda. Fasilitas toiletnya menyerupai hotel demikian pula dapurnya.Â
Suatu hari, di sela-sela aktifitas harian khas mahasiswa, kami diundang oleh tokoh masyarakat di sana untuk menghadiri sebuah acara resepsi perkawinan. Tempatnya di Lembang Ratte, sekitar 10 kilometer dari posko kami di Belau. Karena tak ada kendaraan, maka jalan kaki adalah moda utama.Â
Kami menyusuri jalan desa berdebu secara berombongan. Untuk menjaga keamanan perjalanan ke Ratte, kami ditemani seorang kepala kampung. Maklum, saat itu Masanda juga banyak cerita mistis.Â
Sepanjang jalan, kami kurang bercerita, hanya fokus pada jalan masing-masing. Demikian pesan dari bapak yang mengantar kami. Tak boleh asal bicara. Belum lagi jalan yang dilewati sebagian tanpa rumah.Â
Perjalanan ke Ratte dipenuhi pemandangan indah bergantian dengan kampung-kampung tua dengan bangunan khas riah adat Mamasa. Kuda menjadi pemandangan lazim sepanjang jalan.Â
Kami sempatkan berfoto di sebuah jembatan gantung lapuk yang menyeberang ke Mamasa. Di bawahnya, sungai Masuppu lebar dan berjeram. Agak bergidik juga saya saat itu.