Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Kkn Pilihan

Halo! Masanda di Mana?

21 Mei 2024   09:45 Diperbarui: 21 Mei 2024   10:05 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama di posko KKN. Sumber: koleksi pribadi/diolah dari koleksi foto Facebook Yulius Roma Patandean. 

Tahun 2006, saya melakoni program Kuliah Kerja Nyata. Sebagai mahasiswa semester enam, masa ini adalah salah satu masa yang ditunggu. Keluar dari pengapnya ruang kuliah, terhindar dari tagihan tugas-tugas dan segera lepas seperti burung keluar dari sangkar.

Ketika penentuan lokasi KKN, nama saya dialamatkan ke satu nama kecamatan yang sangat asing di telinga,  Masanda. Di dalam aula kampus, teman-teman yang lain sudah pecah gelak tawa mengatur keberangkatan dan berpelukan satu sama lain karena berada pada satu lokasi. 

Saya sendiri masih kebingungan. Masanda itu di mana. Sejauh ini saya hafal nama kecamatan yang ada di Tana Toraja. Belum ada gadget sejenis smartphone untuk browsing di internet.

Di dorong rasa kebingungan, saya  menemui bapak dekan FKIP selaku ketua panitia KKN. Ternyata, kecamatan Masanda adalah kecamatan baru. Pemekaran dari kecamatan Bittuang. Lokasinya ada di perbatasan Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat.

Bapak dekan sendiri belum tahu juga lokasinya. Kecamatan Bittuang kala itu sudah masuk salah satu kecamatan terjauh Tana Toraja selain kecamatan Simbuang dan Rindingallo. Tentu Masanda lebih terpencil lagi, berbatasan dengan Mamasa yang selama ini dikenal mistis dan angker.

Oleh karena belum ada yang tahu akses jalan ke Masanda, maka saya meminta perlakuan khusus ke panitia KKN, yakni dibolehkan untuk satu posko KKN ke Masanda saya pilih dari teman-teman sendiri dalam satu program studi. Seperti diketahui bahwa satu posko KKN biasanya diisi oleh berbagai jurusan/progdi.

Permintaan dipenuhi, saya mengajak 7 rekan kuliah satu kelas. Kami ada 8 orang laki-laki yang selama kuliah selalu senasib sepenanggungan. Mereka semua selalu ada di kamar kontrakan saya. Untuk menunjang bagian dapur, saya memilih tiga rekan mahasiswi, masih satu kelas juga. Satunya cantik, satu tomboy dan satu lagi warga asli Mamasa. Dua tambahan mahasiswa lagi merupakan warga Mamasa, mereka adalah dua bapak guru yang datang kuliah S1 di Universitas Kristen Indonesia Toraja. 

Boleh dikatakan bahwa kami 8 laki-laki orang sudah paham karakter satu sama lain. Masalah kekocakan masa kuliah sudah saling kenal. Tinggal bagaimana mendalami tiga rekan cewek dan dua guru senior di lokasi. 

Tim satu posko KKN menuju Kecamatan Masanda terbentuk. Dari semua posko, kami adalah peserta terbanyak dan semuanya berasal dari satu jurusan, bukan jurusan Toraja-Mamasa, tetapi jurusan pendidikan Bahasa Inggris. 

Hari itu juga kami berembuk menyiapkan segala sesuatu menuju Masanda, terutama bekal selama kurang lebih 2-3 bulan masa KKN. Kamar kost saya menjadi posko sementara mengumpulkan logistik. 

Satu hari berikutnya, pelepasan mahasiswa KKN dilaksanakan secara resmi di depan gedung kampus. Puluhan truk terbuka mengantri dengan spanduk kain merah khas almamater UKI Toraja dengan tulisan warna putih. Tetapi, kami satu posko KKN ke Masanda masih kebingungan berangkat. Intinya kami belum beranjak menuju Masanda saat itu. 

Sekitar seminggu perjalanan kami ke Masanda tertunda karena tak ada yang mengetahui tentang Masanda. Hingga akhirnya kami dibertahukan pihak kampus bahwa ketua DPRD kabupaten Tanah Toraja adalah warga Masanda. Beliau adalah bapak Welem Sambolangi, S.E. Ia memiliki rumah di kota Makale. Kami pun bertemu beliau dan bersedia memmfasilitasi satu mobil hardtop miliknya untuk mengantar kami menuju Masanda. 

Persiapan matang, masalah muncul, banyak logistik berupa sayuran dan ikan kering yang rusak dalam kardus di rumah kost. Belanja lagi dan hari keenam sejak pemberangkatan KKN kami lepas landas menuju Masanda. 

Kami berangkat pagi hari saat itu. 11 orang berjubel dalam satu hardtop warna hijau milik pak ketua DPRD. Tiga rekan cewek duduk di jok bersama tiga rekan lainnya. Sisanya, duduk di kap mobil, di tenda dan bergelantungan di bagian belakang, saya sendiri duduk di atas ban serep. Sesak dan tersiksa di perjalanan tetapi dipenuhi canda tawa. 

Mobil melaju pelan mengikuti kontur jalan. Longsor di kampung Se'seng menghambat jalan kami sekitar 4 jam hingga excavator bisa membuka akses jalan. Sepanjang rute yang kami lewati dari kota Makale menuju Bittuang, sebagian besar berbatu dan berdebu. Jaket almamater warna merah yang saya kenakan sudah berubah warna tertutup debu.

Memang benar, Masanda adalah sebuah kecamatan  pemekaran yang sangat terpencil. Hanya ada tiga kendaraan yang bisa tembus ke sana, yakni sebuah truk tua double gardan dan dua mobil hardtop. Satu dimiliki warga lokal dan satunya lagi milik ketua DPRD. Demikian informasi dari sopir pak dewan yang mengantar kami. 

Kabut menyambut kami di iku kota kecamatan Bittuang. Saat itu jam 2 siang. Tak ada matahari, hanya kabut. Pekarangan rumah warga hanya berisi tanaman teh. Makan siang dengan lauk ayam kami santap habis. 

Sekitar pukul tiga sore, hardtop melaju dengan sangat pelan melewati Bittuang. Jalan di depan kami hanya hutan pinus dan jalan tanah. Tetapi, bukan jalan, tetapi perpaduan jalan setapak dan bekas kubangan lumpur. 

Jalur mobil dan jalur pejalan kaki memiliki tinggi yang sama. Atap mobil sama tingginya dengan akses jalan setapak. Beruntung musim kemarau. Jalan rusak berat bisa dilewati dan mandi debu. 

Entah berapa kilometer, tak ada rumah yang kami temui. Hanya hutan pinus dan jalan rusak parah. Binatang hutan mulai menyanyi menyambut petang. 

Singkatnya, apakah karena jalan yang lembut disapa mobil atau karena masuk negeri antah berantah, tak terasa mobil hardtop tiba di Masanda menjelang gelap. Hamparan sawah di bagian kiri begitu indah. Sementara perbukitan ada di sisi kanan dan kiri memanjang. Sekilas,. Kecamatan Masanda ada di tengah-tengah perbukitan. Perjalanan kami ternyata turun gunung sebelum mencapai, kampung Belau, ibi kota Kecamatan Masanda. 

Beruntung ada listrik dari turbin yang kerlap-kerlip. Kami dijamu dan menginap di rumah pak Camat malam itu. Tak banyak cerita hingga kami terlelap karena capek. 

***********

Kampung Belau di Masanda secara umum adalah foto copy Mamasa. Bangunan rumah tradisional yang banyak terhampar di sana adalah milik Mamasa. Suasana kampung sepi, warga banyak beraktifitas di hutan menggarap kebun kopi. Hanya anak sekolah dan beberapa guru yang meramaikan jalanan. Tak ada mobil berlalu, hanya kuda dan satu dua motor tua modifikasi. 

Posko kami menggunakan rumah salah satu warga Masanda yang saat itu menjabat sebagai anggota DPRD di Kabupaten Mamasa. Rumah itu adalah satu-satunya rumah mewah di Masanda. Fasilitas toiletnya menyerupai hotel demikian pula dapurnya. 

Sumber: koleksi pribadi/diolah dari koleksi foto Facebook Yulius Roma Patandean. 
Sumber: koleksi pribadi/diolah dari koleksi foto Facebook Yulius Roma Patandean. 

Suatu hari, di sela-sela aktifitas harian khas mahasiswa, kami diundang oleh tokoh masyarakat di sana untuk menghadiri sebuah acara resepsi perkawinan. Tempatnya di Lembang Ratte, sekitar 10 kilometer dari posko kami di Belau. Karena tak ada kendaraan, maka jalan kaki adalah moda utama. 

Kami menyusuri jalan desa berdebu secara berombongan. Untuk menjaga keamanan perjalanan ke Ratte, kami ditemani seorang kepala kampung. Maklum, saat itu Masanda juga banyak cerita mistis. 

Sepanjang jalan, kami kurang bercerita, hanya fokus pada jalan masing-masing. Demikian pesan dari bapak yang mengantar kami. Tak boleh asal bicara. Belum lagi jalan yang dilewati sebagian tanpa rumah. 

Sumber: koleksi pribadi/diolah dari koleksi foto Facebook Yulius Roma Patandean. 
Sumber: koleksi pribadi/diolah dari koleksi foto Facebook Yulius Roma Patandean. 

Perjalanan ke Ratte dipenuhi pemandangan indah bergantian dengan kampung-kampung tua dengan bangunan khas riah adat Mamasa. Kuda menjadi pemandangan lazim sepanjang jalan. 

Kami sempatkan berfoto di sebuah jembatan gantung lapuk yang menyeberang ke Mamasa. Di bawahnya, sungai Masuppu lebar dan berjeram. Agak bergidik juga saya saat itu.

Malam menyambut kami ketika memasuki kampung Ratte. Kelap-kelip lampu turbin menandakan adanya rumah. Jalan tanah yang kami lewati memiliki banyak parit. Tak ada senter. Hanya memanfaatkan senter HP. 

Suatu kali, kami bertiga berjalan lebih cepat. Perjalanan kurang  asik karena banyak diam. HP sudah lobet. Tiga cewek berjalan lebih di depan bersama bapak pemandu kami. Saya berjalan pelan dan memberikan instruksi. Jika saya melompat, rekan lain yang ada di belakang wajib melompat untuk menghindari parit. Meskipun sebenarnya tidak ada parit. Tetapi kami semua tertawa di tengah kegelapan. 

Semua berjalan dengan baik, hingga mendekati lokasi yang kami tuju. Jalan mulai rata dan berpasir. Sesekali saya masih mengajak melompat untuk meemcahnsiasana hening. Lapar dan letih bercampur keringat dingin melengket ke badan. 

Ternyata kali ini benar ada parit kecil dan berair. Saya tidak memberikan komando lagi untuk melompat. Saya dan dua teman berjalan normal melewati parit, tanpa melompat. Dan.... Empat dua dari lima rekan yang berjalan di belakang terperosok masuk parit. Tawa kami langsung pecah dan anjing warga pun menyambut....... 

***Cerita KKN dari Masanda Tahun 2006.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun