Sasaran pertama mas Yasbi menangani sampah adalah kantin sekolah. Dari salah satu kantin sekolah, terkumpul sampah jenis kardus lebih dari dua ratus kilogram. Sekilo kardus dihargai 1.100 rupiah. Mas Yasbi membawa pula tiga buah karung untuk memasukkan sampah yang tidak layak jual. Sampah tersebut dirapikannya, sehingga seolah sampah untuk dibeli.Â
Setelah merampungkan sampah di kantin, kami beranjak ke tumpukan rongsokan di dekat gudang sekolah. Dari rongsokan dan kertas bekas di sekolah mencapai ratusan kilogram. Sekitar sejam kami menimbang sampah dan barang rongsokan yang layak jual di sekolah.Â
Oleh karena mobil pick up mas Yasbi sudah berjubel muatannya, ia pamit membongkar beberapa barang rongsokan dari komputer yang rusak di penampungan kontrakannya.Â
Setelahnya, mas Yasbi bertolak ke rumah saya. Selama puluhan tahun, saya menyimpan lembaran tugas siswa dari sekolah. Termasuk dokumen perangkat pembelajaran saya selam 14 tahun jadi guru. Kini, saya serahkan ke mas Yasbi untuk ditimbang.Â
Mas Yasbi yang masih memiliki hubungan kekerabatan langsung dengan sang pemilik pengepulan, mas Sul, juga membantu saya merapikan dan menimbang barang rongsokan lain selain kertas bekas. Mas Yasbi pun tak lupa menyortir sampah dengan teliti. Sampah yang tak layak jual dikumpulkan dalam karung, diikat dan ditaruh di tempat sampah. Berdasarkan hitungan  kasar di timbangan mas Yasbi, terkumpul pula ratusan kilogram sampah. Berat sampah di rumah yang bernilai ekonomi dan dihargai oleh mas Sul Rp 257.000.
Membereskan sampah rampung, kami pun menuju ke kantor pengepulan. Mas Sul sudah ada di meja kerjanya sedang menakae dan menawarkan jualan besi tua warga.Â
Ketika tiba giliran saya, mas Sul mengonfirmasi semua angka-angka yang saya catat. Ia mengonfirmasi berapa kilogram besi, kertas, botol dan plastik. Termasuk menanyakan langsung ke mas Yasbi. Setelah konfirmasi selesai, saya mulai paham tentang aktifitas jual beli sampah di pengepul.Â
Meskipun sampah dan rongsokan yang kami kumpulkan lebih dari satu mobil pick up, akan tetapi, banyak yang tidak terjual. Menurut mas Sul, jenis sampah yang bernilai ekonomis adalah besi, kardus, kertas, kabel, kuningan, tembaga, botol, atap seng, dan kaleng. Adapun jenis sampah non organik yang tak laku di pasaran adalah sampah berbahan dasar plastik dan karbon. Sampah ini berupa perangkat printer dan keyboard komputer.Â
Tetapi saya masih beruntung karena, mas Sul selaku pengepul masih bersedia membayar satu monitor tabung komputer yang rusak seharga Rp 15.000.Harga normalnya Rp 10.000 per buah.Â
Setelah setengah hari bergelut dengan sampah, terkumpul harga sampah yang terjual Rp 1.535.000. Dari penjelasan mas Sul, saya telah memiliki pengetahuan akan jenis sampah ke depan yang bisa dikumpulkan dengan baik di sekolah dan di rumah. Jika dirasa sampahnya telah terkumpul banyak, mas Sul meminta untuk langsung dihubungi lewat telepon. Ia dan pemulungnya siap menjemput sampah-sampah tersebut.Â