Pengepul dan pemulung adalah satu kesatuan yang memiliki peran penting terkait sampah. Pengepul bertindak sebagai pengumpul sampah-sampah pilihan yang dibawa oleh para pemulung. Selain mengumpulkan sampah, pengepul juga menjadi pemberi nafkah bagi para pemulung. Hasil kerja para pemulung berupa sampah yang bernilai ekonomi kemudian dibeli oleh pengepul.Â
Pengepul biasanya memiliki kompleks perumahan sendiri. Kompleks pengepul mudah dikenali karena tampilannya yang menyerupai barak. Di sekitar kompleks pengepul penuh dengan barang-barang rongsokan dan barang bekas.Â
Pemulung bertugas mengumpulkan sampah dari berbagai tempat. Para pemulung kemudian memilah sampah menurut jenisnya. Setelah terkumpul dengan baik, pemulung membawanya ke pengepul untuk dijual.Â
Di dalam ruangan besar pengepul, terdapat satu meja yang berfungsi sebagai meja kasir. Ada timbangan duduk besar di sekitar meja. Fungsi timbangan ini adalah untuk mengukur berat sampah yang telah dipilah. Selain membeli, pengepul juga menjual barang-barang rongsokan.Â
Hari ini saya berkesempatan berinterkasi dengan seorang pemulung dan seorang pengepul yang berada di kota Makale, Tana Toraja. Banyak hal baru yang saya temui seputar kegiatan memulung dan mengepul bersama mereka.Â
Terdapat dua "kantor" utama pengepul di kota Makale. Namun, pengepul yang saya temui hari ini terbilang peduli kepada masyarakat dan para pemulung. Ia menyewakan satu rumah besar untuk sejumlah pemulung yang ada di bawah komandonya. Rumah tersebut disewa tahunan.Â
Letak kantor pengepul tidak terlalu jauh dari rumah dan sekolah. Kira-kira setengah kilometer jauhnya. Berada di Jalan Sitarda Baru, arah ke STIKES LAKIPADADA. Tak perlu bertanya untuk menemukannya. Di bahu jalan sudah terparkir sejumlah mobil truk, pick up dan mobil kontainer. Tulisan "Besi Tua" terpampang pada beberapa kaca depan mobil pick up.Â
Tujuan saya menemui manajer pemulung adalah banyaknya sampah di sekolah yang menumpuk berupa kertas, kardus, besi, printer, keyboard, PC, monitor komputer, UPS dan berbagai sampah plastik lainnya. Menjalin komunikasi langsung ke pusat pengepulan akan memudahkan untuk mengangkut sampah tersebut di sekolah. Saya bertemu pemilik usaha pengepulan. Ia akrab disapa mas Sul. Ia masih muda, gagah, murah senyum dan ramah. Tubuhnya tinggi kekar dengan rambut hampir sebahu. Menurut mas Sul, usaha pengepulan tersebut adalah milik ayahnya. Hanya saja ayahnya ada urusan di tanah Jawa yang harus diselesaikan sehingga mas Sul mengambil alih pengelolaan pengepulan.Â
Mas Sul kemudian menelfon salah satu pemulung andalannya untuk pergi mengambil sampah di sekolah. Namanya mas Yasbi. Tak lama mas Yasbi menelfon saya. Wah, ternyata nomor kontaknya sudah tersimpan di HP saya.Â
Mas Yasbi mengambil satu mobil bak terbuka di kantor mas Sul. Tak butuh waktu lama, mobil mas Yasbi sudah terparkir di sekolah. Kami saling berbalas candaan bahwa kami pernah bertemu beberapa bulan yang lalu. Saya akhirnya ingat, mas Yasbi pernah memberikan uang sejumlah Rp 30.000 untuk putra saya yang mengumpulkan dua kardus kertas bekas dari lab bahasa.
Sasaran pertama mas Yasbi menangani sampah adalah kantin sekolah. Dari salah satu kantin sekolah, terkumpul sampah jenis kardus lebih dari dua ratus kilogram. Sekilo kardus dihargai 1.100 rupiah. Mas Yasbi membawa pula tiga buah karung untuk memasukkan sampah yang tidak layak jual. Sampah tersebut dirapikannya, sehingga seolah sampah untuk dibeli.Â
Setelah merampungkan sampah di kantin, kami beranjak ke tumpukan rongsokan di dekat gudang sekolah. Dari rongsokan dan kertas bekas di sekolah mencapai ratusan kilogram. Sekitar sejam kami menimbang sampah dan barang rongsokan yang layak jual di sekolah.Â
Oleh karena mobil pick up mas Yasbi sudah berjubel muatannya, ia pamit membongkar beberapa barang rongsokan dari komputer yang rusak di penampungan kontrakannya.Â
Setelahnya, mas Yasbi bertolak ke rumah saya. Selama puluhan tahun, saya menyimpan lembaran tugas siswa dari sekolah. Termasuk dokumen perangkat pembelajaran saya selam 14 tahun jadi guru. Kini, saya serahkan ke mas Yasbi untuk ditimbang.Â
Mas Yasbi yang masih memiliki hubungan kekerabatan langsung dengan sang pemilik pengepulan, mas Sul, juga membantu saya merapikan dan menimbang barang rongsokan lain selain kertas bekas. Mas Yasbi pun tak lupa menyortir sampah dengan teliti. Sampah yang tak layak jual dikumpulkan dalam karung, diikat dan ditaruh di tempat sampah. Berdasarkan hitungan  kasar di timbangan mas Yasbi, terkumpul pula ratusan kilogram sampah. Berat sampah di rumah yang bernilai ekonomi dan dihargai oleh mas Sul Rp 257.000.
Membereskan sampah rampung, kami pun menuju ke kantor pengepulan. Mas Sul sudah ada di meja kerjanya sedang menakae dan menawarkan jualan besi tua warga.Â
Ketika tiba giliran saya, mas Sul mengonfirmasi semua angka-angka yang saya catat. Ia mengonfirmasi berapa kilogram besi, kertas, botol dan plastik. Termasuk menanyakan langsung ke mas Yasbi. Setelah konfirmasi selesai, saya mulai paham tentang aktifitas jual beli sampah di pengepul.Â
Meskipun sampah dan rongsokan yang kami kumpulkan lebih dari satu mobil pick up, akan tetapi, banyak yang tidak terjual. Menurut mas Sul, jenis sampah yang bernilai ekonomis adalah besi, kardus, kertas, kabel, kuningan, tembaga, botol, atap seng, dan kaleng. Adapun jenis sampah non organik yang tak laku di pasaran adalah sampah berbahan dasar plastik dan karbon. Sampah ini berupa perangkat printer dan keyboard komputer.Â
Tetapi saya masih beruntung karena, mas Sul selaku pengepul masih bersedia membayar satu monitor tabung komputer yang rusak seharga Rp 15.000.Harga normalnya Rp 10.000 per buah.Â
Setelah setengah hari bergelut dengan sampah, terkumpul harga sampah yang terjual Rp 1.535.000. Dari penjelasan mas Sul, saya telah memiliki pengetahuan akan jenis sampah ke depan yang bisa dikumpulkan dengan baik di sekolah dan di rumah. Jika dirasa sampahnya telah terkumpul banyak, mas Sul meminta untuk langsung dihubungi lewat telepon. Ia dan pemulungnya siap menjemput sampah-sampah tersebut.Â
Oya, kata mas Sul, sudah menjadi kebiasaannya untuk membantu memilah sampah dan mengumpulkannya jika berkunjung ke sebuah tempat untuk mengangkut sampah. Jadi, ia dan sejumlah pemulung yang tergabung dengannya terbiasa membantu masyarakat membuang sampah yang tak bernilai ekonomi lagi. Dengan demikian, secara tidak langsung, mas Sul dan rekan-rekannya telah berkontribusi terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan.Â
Pekerjaan pemulung dan pengepul ini sebenarnya mengajarkan masyarakat untuk peduli dengan sampah yang berasal dari limbah rumah tangga. Ada baiknya, setiap rumah tangga belajar memilah dan merapikan sampah. Jika sudah terkumpul banyak, tingg memamggil pemulung atau pengepul. Menukarkan sampah yang layak jual dengan  beberapa lembar rupiah akan memberikan penghasilan tambahan. Lumayan buat sekedar pembeli pertalite atau kebutuhan dapur.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H