Justru merekalah yang banyak berinteraksi dengan warga. APK besar dalam jumlah banyak mereka tidak miliki. Tetapi karena memiliki mimpi yang sama dengan caleg potensial, cara kampanye caleg tersebut justru lebih kreatif. Metode banyak berinteraksi langsung dengan orang lebih ditonjolkan. Selain itu, banyak yang menggunakan kekuatan jaringan keluarga dan pertemanan. Secara cost mereka memang tak terlalu istimewa.Â
Sayup-sayup, di belakang tempat duduk saya, ada sejumlah pelayat yang melakukan gosip politik. Katanya para caleg yang duduknya serius dan tak aktif menyapa warga sudah memiliki basis suara yang telah terpelihara sejak lama. Jadi, mereka tak perlu repot lagi. Kekuatan cost politik menjadi latar belakang kekuatan sejumlah caleg.Â
Kebanyakan caleg pendatang baru yang masuk sebagai pelengkap kuota caleg adalah mereka yang masih berusia muda. Cara kampanye mereka memang kreatif. Ada yang dengan sukarela membantu warga membuka jalan tani, memperbaiki jalan kampung, menyediakan mobil gratis bagi yang sakit, dll.Â
Cek per cek dari sisi popularitas, para caleg muda ini sudah mulai disenangi warga dalam dapilnya dibanding incumbent yang katanya sudah duduk satu periode tapi belum nampak aksi nyatanya selama 5 tahun.Â
Kembali ke persoalan caleg dalam satu partai dan satu dapil. Ada fakta menarik yang saya temukan. Bukan karena kebetulan saya berperan sebagai salah satu bagian pengawasan Pemilu dan Pilpres 2024 sebagai kepala sekretariat di salah satu Panwas Kecamatan.Â
Temuan tersebut adalah tidak semua caleg dalam satu partai akan mengikuti arahan partai untuk memilih calon presiden tertentu sesuai dengan capres-cawapres yang diusung partainya. Di sinilah titik menarik persaingan para caleg dalam satu partai. Perbedaan pilihan pada capres-cawapres tadi.Â
Menurut beberapa sumber dari orang dalam sejumlah caleg, indikasi ini gampang dikenali. APK yang dipasang di berbagai tempat hanya memuat foto caleg tanpa ada tambahan foto capres-cawapres. Ada yang justru memilih menambahkan ketua pengurus partai di tingkat kabupaten, menampilkan foto suami atau mantan bupati sebagai tambahan daya tarik untuk pemilih.Â
Alasan mereka tidak mengikuti arahan partai untuk tidak memasang foto ketua umum partai, caleg pada tingkat diatasnya dan capres-cawapres tertentu masuk akal juga. Calon pemilih di dapilnya enggan memilihnya jika terpasang tanda gambar capres-cawapres.Â
Intinya, sebuah wilayah sudah memiliki basis suara untuk partai tertentu untuk tingkat nasional. Jadi, demi menjaga peluang, mereka memilih berjalan sendiri hanya sebatas caleg partai dan bukan menjadi bagian kampanye untuk caleg setingkat di atasnya dan capres.Â
Pilihan caleg untuk tingkat provinsi dan pusat pun banyak yang tidak sejalan dengan anjuran partai mereka. Misalnya, caleg A dari partai warna pink berjuang untuk pencalegan tingkat kabupaten, tetapi ia memilih mendukung caleg B dari partai warna abu-abu di tingkat provinsi dan pusat. Salah satu alasannya adalah hubungan pertemanan yang susah dipisahkan.Â
Memang ini dilematis, antara upaya menggapai impian sebagai caleg atau tunduk pada arahan partai. Mengkampanyekan tokoh tertentu ketika melakukan sosialisasi diri di dapil, tetapi terancam kehilangan suara. Jadi, cari aman dengan hanya fokus memperkenalkan diri dibandingkan membawa beban kebutuhan partai.Â