Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Dilema Caleg di Antara Mimpi dan Kebutuhan Partai

26 Januari 2024   12:51 Diperbarui: 28 Januari 2024   07:07 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puluhan APK terpasang di salah satu pertigaan kota Makale, Tana Toraja (Dok. pribadi)

Pemilu 2024 tinggal menghitung hari. Hingar bingar dan gemerlap kampanye telah berjalan sejak 28 November 2023 yang lalu. Hanya saja kemeriahan kampanye caleg sepertinya tidak semeriah dan segemerlap kampanye caleg lima tahun yang lalu. 

Kampanye caleg pemilu 2024 sepertinya adem-adem saja. Lebih hot kampanye pilpres 2024 dibandingkan kampanye caleg. Padahal caleg yang nantinya terpilih sebagai wakil rakyat adalah subjek terdekat masyarakat untuk mengadu dan meminta perbaikan pembangunan. 

Tenggelamnya hiruk pikuk kampanye caleg oleh kampanye pilpres 2024 sebenarnya tidak juga. Kemeriahan kampanye caleg ditandai dengan ramainya pemasangan alat peraga kampanye (APK). Para caleg berlomba-lomba memasang APK dengan beragam ukuran. Warna dasar APK tentunya mengikuti warna kebesaran partai pengusung.

Dibalik kemeriahan kampanye lewat pemasangan APK, sebenarnya banyak caleg yang sedang ada dalam kondisi dilematis. Menjadi caleg memang sudah memunculkan dilema pada kebutuhan cost politik yang tidak sedikit. 

Cost politik di tingkat kabupaten saja ada yang di atas 1 miliar rupiah. Dengan asumsi menyiapkan dana untuk 3000 suara sebagai ambang terbawah posisi aman untuk lolos sebagai anggota legislatif di level DPRD Kabupaten/Kota.

Di samping dilema cost politik, yang paling menonjol adalah dilematisnya para caleg yang sedang berjuang memperkenalkan diri dan mengumpulkan calon pemberi suara di Pemilu 2024 ditinjau dari mimpi mereka untuk duduk sebagai anggota legislatif nantinya. 

Bagaimanapun juga, tak ada istilah caleg untuk memenuhi kebutuhan partai. Mereka semua memiliki mimpi dan tujuan yang sama. Satu partai rata-rata memiliki 7 caleg pada setiap daerah pemilihan. Nah, dari 7 caleg tersebut wajib ada keterwakilan 30% perempuan. 

Caleg perempuan hanya sedikit yang ada pada posisi potensial terpilih. Sisanya adalah caleg dengan usia muda dan pensiunan. Apakah para caleg yang bisa dikatakan sedikit "dipaksakan" untuk memenuhi kebutuhan partai akan memiliki peluang yang sedikit pula? 

Bisa ya, bisa pula tidak. Kemungkinan besar ada yang akan mampu menghadirkan kejutan. Meskipun minim dana kampanye, tetapi faktor kekuatan lingkungan sosial bisa menjadi pembeda. 

Pemenuhan kuota caleg bukan hanya menimpa kaum perempuan. Pada titik sebelahnya, banyaknya partai turut menyulitkan partai untuk mencari caleg laki-laki. Alhasil, banyak pendatang baru. 

Di sinilah titik dilematisnya. Setiap partai sudah pasti memiliki minimal 1 orang caleg potensial dan diandalkan untuk menduduki jabatan anggota legistaltif terpilih. 

Biasanya caleg potensial ini berasal dari para incumbent atau pendatang baru yang memiliki background mumpuni. 

Lalu, akan ada 6 caleg lainnya yang akan berjuang bersama-sama mengumpulkan suara sebanyak mungkin untuk meloloskan satu kursi partai dari dapil. 

Tujuannya adalah membesarkan partai, akan tetapi dalam prakteknya, setiap caleg dari satu partai dan dapil yang sama bukannya membuka persaiangan dengan caleg dari partai lain, justru saling sikut memperebutkan suara. 

Tak ada istilah berjuang bersama untuk kebutuhan partai. Motivasi pribadi justru lebih menjiwai sebagian besar usaha caleg dalam mencari calon pemilih. 

Mimpi menjadi anggota legislatif atau anggota dewan menjadi misi terselubung setiap caleg. Urusan mengumpulkan suara untuk partai adalah persoalan di belakang.

Fakta saling sikutnya para caleg dalam satu partai dan pada dapil yang sama banyak saya temui di Tana Toraja dan Toraja Utara. Bukan hanya para caleg di tingkat kabupaten, tetapi terjadi juga di tingkat provinsi hingga pusat. Sekilas, hubungan persaudaraan, persahabatan dan kekerabatan sedikit terganggu demi mimpi dan kebutuhan partai. 

Contoh sederhana bisa terlihat ketika para caleg hadir pada kegiatan kemasyarakatan seperti acara kedukaan, syukuran dan perkawinan. Para caleg dalam satu partai dan satu dapil justru tidak saling menyapa. Para caleg sebenarnya berkawan ketika masih belum mengenakan baju partai, tetapi mulai berubah ketika APK sebagai bahan kampanye caleg berseliweran di mana-mana. Bisa dibayangkan jika berhadapan dengan caleg dari partai lain. 

Dua hari yang lalu saya mengikuti ibadah penguburan di salah satu rumah warga di kota Makale. Banyak caleg dari berbagai dapil dan jenjang pencalegan hadir melayat. Ada caleg yang ramah, murah senyum dan bahkan melontarkan candaan kepada segenap pelayat yang datang. Tapi caleg yang ramah ini bisa dihitung jari. Tidak sampai lima orang. Sebagian besar caleg yang datang memilih hanya duduk serius dan hanya mematung. Mereka lebih sibuk mengutak-atik handphone dibanding berinteraksi dengan warga di sekitarnya. Entah karena malu, segan atau apalah. Justru pelayat yang mengenali mereka yang datang menyalami. Katanya butuh suara pemilih, kok berdiam diri saja. 

Bahkan saya duduk diantara caleg dalam dapil yang sama, tetapi lucunya mereka justru saling berdiam diri. Jangankan bercakap-cakap, jabat tangan saja tak mereka lakukan. Justru saya yang banyak membuka pembicaraan. Loh, ini kan caleg dalam satu partai.

Lalu, bagaimana nasib para caleg yang statunya hanya mencukupkan kuota kebutuhan caleg dalam satu partai? 

Justru merekalah yang banyak berinteraksi dengan warga. APK besar dalam jumlah banyak mereka tidak miliki. Tetapi karena memiliki mimpi yang sama dengan caleg potensial, cara kampanye caleg tersebut justru lebih kreatif. Metode banyak berinteraksi langsung dengan orang lebih ditonjolkan. Selain itu, banyak yang menggunakan kekuatan jaringan keluarga dan pertemanan. Secara cost mereka memang tak terlalu istimewa. 

Sayup-sayup, di belakang tempat duduk saya, ada sejumlah pelayat yang melakukan gosip politik. Katanya para caleg yang duduknya serius dan tak aktif menyapa warga sudah memiliki basis suara yang telah terpelihara sejak lama. Jadi, mereka tak perlu repot lagi. Kekuatan cost politik menjadi latar belakang kekuatan sejumlah caleg. 

Kebanyakan caleg pendatang baru yang masuk sebagai pelengkap kuota caleg adalah mereka yang masih berusia muda. Cara kampanye mereka memang kreatif. Ada yang dengan sukarela membantu warga membuka jalan tani, memperbaiki jalan kampung, menyediakan mobil gratis bagi yang sakit, dll. 

Cek per cek dari sisi popularitas, para caleg muda ini sudah mulai disenangi warga dalam dapilnya dibanding incumbent yang katanya sudah duduk satu periode tapi belum nampak aksi nyatanya selama 5 tahun. 

Kembali ke persoalan caleg dalam satu partai dan satu dapil. Ada fakta menarik yang saya temukan. Bukan karena kebetulan saya berperan sebagai salah satu bagian pengawasan Pemilu dan Pilpres 2024 sebagai kepala sekretariat di salah satu Panwas Kecamatan. 

Temuan tersebut adalah tidak semua caleg dalam satu partai akan mengikuti arahan partai untuk memilih calon presiden tertentu sesuai dengan capres-cawapres yang diusung partainya. Di sinilah titik menarik persaingan para caleg dalam satu partai. Perbedaan pilihan pada capres-cawapres tadi. 

Menurut beberapa sumber dari orang dalam sejumlah caleg, indikasi ini gampang dikenali. APK yang dipasang di berbagai tempat hanya memuat foto caleg tanpa ada tambahan foto capres-cawapres. Ada yang justru memilih menambahkan ketua pengurus partai di tingkat kabupaten, menampilkan foto suami atau mantan bupati sebagai tambahan daya tarik untuk pemilih. 

Alasan mereka tidak mengikuti arahan partai untuk tidak memasang foto ketua umum partai, caleg pada tingkat diatasnya dan capres-cawapres tertentu masuk akal juga. Calon pemilih di dapilnya enggan memilihnya jika terpasang tanda gambar capres-cawapres. 

Intinya, sebuah wilayah sudah memiliki basis suara untuk partai tertentu untuk tingkat nasional. Jadi, demi menjaga peluang, mereka memilih berjalan sendiri hanya sebatas caleg partai dan bukan menjadi bagian kampanye untuk caleg setingkat di atasnya dan capres. 

Pilihan caleg untuk tingkat provinsi dan pusat pun banyak yang tidak sejalan dengan anjuran partai mereka. Misalnya, caleg A dari partai warna pink berjuang untuk pencalegan tingkat kabupaten, tetapi ia memilih mendukung caleg B dari partai warna abu-abu di tingkat provinsi dan pusat. Salah satu alasannya adalah hubungan pertemanan yang susah dipisahkan. 

Memang ini dilematis, antara upaya menggapai impian sebagai caleg atau tunduk pada arahan partai. Mengkampanyekan tokoh tertentu ketika melakukan sosialisasi diri di dapil, tetapi terancam kehilangan suara. Jadi, cari aman dengan hanya fokus memperkenalkan diri dibandingkan membawa beban kebutuhan partai. 

Boleh dikatakan, sejumlah caleg adalah caleg independen dalam satu partai. Menarik untuk ditunggu, caleg mana yang akan sukses meraih hati rakyat, apakah yang independen atau yang mengikuti arahan partai untuk pilihan satu paket.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun