Di sinilah titik dilematisnya. Setiap partai sudah pasti memiliki minimal 1 orang caleg potensial dan diandalkan untuk menduduki jabatan anggota legistaltif terpilih.Â
Biasanya caleg potensial ini berasal dari para incumbent atau pendatang baru yang memiliki background mumpuni.Â
Lalu, akan ada 6 caleg lainnya yang akan berjuang bersama-sama mengumpulkan suara sebanyak mungkin untuk meloloskan satu kursi partai dari dapil.Â
Tujuannya adalah membesarkan partai, akan tetapi dalam prakteknya, setiap caleg dari satu partai dan dapil yang sama bukannya membuka persaiangan dengan caleg dari partai lain, justru saling sikut memperebutkan suara.Â
Tak ada istilah berjuang bersama untuk kebutuhan partai. Motivasi pribadi justru lebih menjiwai sebagian besar usaha caleg dalam mencari calon pemilih.Â
Mimpi menjadi anggota legislatif atau anggota dewan menjadi misi terselubung setiap caleg. Urusan mengumpulkan suara untuk partai adalah persoalan di belakang.
Fakta saling sikutnya para caleg dalam satu partai dan pada dapil yang sama banyak saya temui di Tana Toraja dan Toraja Utara. Bukan hanya para caleg di tingkat kabupaten, tetapi terjadi juga di tingkat provinsi hingga pusat. Sekilas, hubungan persaudaraan, persahabatan dan kekerabatan sedikit terganggu demi mimpi dan kebutuhan partai.Â
Contoh sederhana bisa terlihat ketika para caleg hadir pada kegiatan kemasyarakatan seperti acara kedukaan, syukuran dan perkawinan. Para caleg dalam satu partai dan satu dapil justru tidak saling menyapa. Para caleg sebenarnya berkawan ketika masih belum mengenakan baju partai, tetapi mulai berubah ketika APK sebagai bahan kampanye caleg berseliweran di mana-mana. Bisa dibayangkan jika berhadapan dengan caleg dari partai lain.Â
Dua hari yang lalu saya mengikuti ibadah penguburan di salah satu rumah warga di kota Makale. Banyak caleg dari berbagai dapil dan jenjang pencalegan hadir melayat. Ada caleg yang ramah, murah senyum dan bahkan melontarkan candaan kepada segenap pelayat yang datang. Tapi caleg yang ramah ini bisa dihitung jari. Tidak sampai lima orang. Sebagian besar caleg yang datang memilih hanya duduk serius dan hanya mematung. Mereka lebih sibuk mengutak-atik handphone dibanding berinteraksi dengan warga di sekitarnya. Entah karena malu, segan atau apalah. Justru pelayat yang mengenali mereka yang datang menyalami. Katanya butuh suara pemilih, kok berdiam diri saja.Â
Bahkan saya duduk diantara caleg dalam dapil yang sama, tetapi lucunya mereka justru saling berdiam diri. Jangankan bercakap-cakap, jabat tangan saja tak mereka lakukan. Justru saya yang banyak membuka pembicaraan. Loh, ini kan caleg dalam satu partai.
Lalu, bagaimana nasib para caleg yang statunya hanya mencukupkan kuota kebutuhan caleg dalam satu partai?Â