Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Dilema Caleg di Antara Mimpi dan Kebutuhan Partai

26 Januari 2024   12:51 Diperbarui: 28 Januari 2024   07:07 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sinilah titik dilematisnya. Setiap partai sudah pasti memiliki minimal 1 orang caleg potensial dan diandalkan untuk menduduki jabatan anggota legistaltif terpilih. 

Biasanya caleg potensial ini berasal dari para incumbent atau pendatang baru yang memiliki background mumpuni. 

Lalu, akan ada 6 caleg lainnya yang akan berjuang bersama-sama mengumpulkan suara sebanyak mungkin untuk meloloskan satu kursi partai dari dapil. 

Tujuannya adalah membesarkan partai, akan tetapi dalam prakteknya, setiap caleg dari satu partai dan dapil yang sama bukannya membuka persaiangan dengan caleg dari partai lain, justru saling sikut memperebutkan suara. 

Tak ada istilah berjuang bersama untuk kebutuhan partai. Motivasi pribadi justru lebih menjiwai sebagian besar usaha caleg dalam mencari calon pemilih. 

Mimpi menjadi anggota legislatif atau anggota dewan menjadi misi terselubung setiap caleg. Urusan mengumpulkan suara untuk partai adalah persoalan di belakang.

Fakta saling sikutnya para caleg dalam satu partai dan pada dapil yang sama banyak saya temui di Tana Toraja dan Toraja Utara. Bukan hanya para caleg di tingkat kabupaten, tetapi terjadi juga di tingkat provinsi hingga pusat. Sekilas, hubungan persaudaraan, persahabatan dan kekerabatan sedikit terganggu demi mimpi dan kebutuhan partai. 

Contoh sederhana bisa terlihat ketika para caleg hadir pada kegiatan kemasyarakatan seperti acara kedukaan, syukuran dan perkawinan. Para caleg dalam satu partai dan satu dapil justru tidak saling menyapa. Para caleg sebenarnya berkawan ketika masih belum mengenakan baju partai, tetapi mulai berubah ketika APK sebagai bahan kampanye caleg berseliweran di mana-mana. Bisa dibayangkan jika berhadapan dengan caleg dari partai lain. 

Dua hari yang lalu saya mengikuti ibadah penguburan di salah satu rumah warga di kota Makale. Banyak caleg dari berbagai dapil dan jenjang pencalegan hadir melayat. Ada caleg yang ramah, murah senyum dan bahkan melontarkan candaan kepada segenap pelayat yang datang. Tapi caleg yang ramah ini bisa dihitung jari. Tidak sampai lima orang. Sebagian besar caleg yang datang memilih hanya duduk serius dan hanya mematung. Mereka lebih sibuk mengutak-atik handphone dibanding berinteraksi dengan warga di sekitarnya. Entah karena malu, segan atau apalah. Justru pelayat yang mengenali mereka yang datang menyalami. Katanya butuh suara pemilih, kok berdiam diri saja. 

Bahkan saya duduk diantara caleg dalam dapil yang sama, tetapi lucunya mereka justru saling berdiam diri. Jangankan bercakap-cakap, jabat tangan saja tak mereka lakukan. Justru saya yang banyak membuka pembicaraan. Loh, ini kan caleg dalam satu partai.

Lalu, bagaimana nasib para caleg yang statunya hanya mencukupkan kuota kebutuhan caleg dalam satu partai? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun