"Kopi ra ka?"Â adalah sebuah pertanyaan yang ditujukan sebagai tawaran ramah-tamah untuk seseorang apakah teman, sahabat, keluarga atau siapa pun yang saat itu bertamu.Â
Ungkapan ini juga bermakna ajakan ketika dua atau lebih orang Toraja berada di suatu tempat, misalnya di acara kedukaan, perkawinan, syukuran, cafe, warung atau warkop.Â
"Kopi ra ka?" dapat diartikan secara sederhana menjadi pertanyaan: apakah mau minum kopi? Meskipun orang yang diajak bukan penikmat kopi atau bahkan tidak minum kopi, ungkapan ini akan menjadi ungkapan pembuka tawaran ramah-tamah.Â
Toh, pada akhirnya yang dihidangkan hanya segelas air putih atau sekaleng minuman bersoda, tapi itulah kekuatan ungkapan "kopi ra ka?"
Jika tak minum kopi, atau tak berselera dengan kopi, tinggal membalas, uai lassu bangmo, uai tanak bangmo atau air putih saja.
"Kopi ra ka?" boleh ditanggapi dengan serius jika baru pertama kali mendengarnya. Namun, jika sudah terbiasa, maka balasannya pun bisa beragam. Misalnya, tuak bangmo atau ballo/tuak saja.Â
Lalu, bagaimana jika memang ingin minum kopi? Balasannya sederhana saja, mirip dengan respons di warung kopi tau kios-kios penyedia kopi.Â
Kurre sumanga', kawa mo atau terima kasih, kopi pahit saja atau terima kasih, kopi tanpa gula saja.Â
Kawa adalah nama kopi tanpa gula tau kopi pahit orang Toraja. Sehingga kopi pahit akan berbunyi kawa pai' atau kawa passik untuk orang Toraja.
Ungkapan ini sudah menjadi bahasa sehari-hari ketika menerima kunjungan tamu atau saya sendiri yang bertamu di Toraja. Kini, konteksnya pun sudah meluas ke berbagai penjuru.Â
Di mana ada orang Toraja, entah di pulau Jawa atau di luar negeri, jika sesama orang Toraja bertemu di sana, maka ungkapan pembangun kehangatan komunikasi yang terucap adalah Kopi Ra ka?