Mohon tunggu...
Ovi Vensus H. Samosir
Ovi Vensus H. Samosir Mohon Tunggu... Editor - Menjadi Terang

Pendidikan, Sosial, Budaya, Politik, dan Hubungan Internasional adalah beberapa bidang kehidupan yang berhasil menarik minatku.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Singapura Berlahan Luas di Indonesia: Buah Busuk dari Modernisasi Kelapa Sawit (Palm Oil) Indonesia

17 Juni 2022   20:47 Diperbarui: 17 Juni 2022   20:54 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan ungkap ada perusahaan sawit asing asal Singapura yang memiliki banyak lahan di Indonesia. (TEMPO.CO, Jakarta - Kamis, 16 Juni 2022)

Kok bisa sih? Bisa saja, itu buah "busuk" atau  konsekuensi negatif dari modernisasi kelapa sawit (Palm Oil) Indonesia.

Indonesia pengen modern

Gerakan modernisasi tahun 1950-an dan 1960-an merupakan implementasi teori ekonomi yang berakar pada kapitalisme. Teori modernisasi menggabungkan spektrum transisi dan transformasi drastis yang mana masyarakat tradisional harus menjalani proses untuk menjadi modern (Hussain et al., 1981; Lenin, 1964). Teori ini juga berbicara tentang pertukaran pertanian yang lebih tua praktiknya dengan sesuatu yang lebih baru (Smith, 1973: 61). Oleh karena itu, masyarakat pertanian dapat dianggap sebagai modern ketika mereka menampilkan karakteristik dalam tingkatan tertentu. Karakteristik secara ringkas oleh Coetzee dkk. (2007: 31) sebagai: (i) Kesiapan untuk mengakomodasi proses transformasi yang dihasilkan dari perubahan. (ii) Perluasan pengalaman hidup yang berkelanjutan dan penerimaan terhadap pengetahuan baru. (iii) Perencanaan berkelanjutan, perhitungan dan kesiapan menuju pengalaman baru. (iv) Prediktabilitas tindakan dan kemampuan untuk melatih kontrol yang efektif. (v) High premium pada keterampilan teknis dan pemahaman tentang prinsip-prinsip produksi. (vi) Mengubah sikap kekerabatan, peran keluarga, ukuran keluarga dan peran agama. (vii) Mengubah perilaku konsumen dan penerimaan terhadap stratifikasi sosial. Dalam teori modernisasi ini tampil Rostow mengidentifikasi tahapan modernisasi dari : 1. Primitive society: 2. Preparation for take-off: 3. Take-off: 4. Drive to maturity: 5. Period of mass consumption.

Sebagai fenomena global, gerakan modernisasi ini menghampiri Indonesia. Kala itu, pada pertengahan 1960-an Indonesia merupakan salah satu negara paling miskin di dunia dengan pendapatan perkapita hanya USD 50. (Barber, 1998). Indonesia dengan modal lahan yang luas, dimanfaatkan para elit pengambil kebijakan Indonesia sebagai upaya penanggulangan kemiskinan atau upaya pembangunan nasional. (McCharty and Cramb, 2009) Indonesia mengelola dan mengembangkan berbagai lahan perkebunan - termasuk lahan-lahan peninggalan kolonial Belanda - khususnya lahan perkebunan kelapa sawit. (Varkkey, Helena, 2012).

Hingga tahun 1980-an, pengelolaan luas perkebunan kelapa sawit Indonesia baru sekitar 200.000 an hektar.[1] Pada tahun 1990, pengembangan luas perkebunan sawit Indonesia berkisar 1,1 juta hektar, hingga tahun 2009 telah mencapai 7,2 juta hektar, dan terus meningkat sekitar 16,3 juta hektar hingga tahun 2020.[2] Dengan penanaman kelapa sawit secara luas dan tentunya komersial --guna pembangunan ekonomi-, Indonesia menjadi negara penghasil sekaligus pengekspor minyak kelapa sawit terbesar pertama karena sejak tahun 1985 minyak sawit telah menjadi minyak nabati kedua yang paling banyak dikonsumsi oleh penduduk dunia, setelah minyak soyabean.[3]

Singkat cerita, Indonesia memilih memodernisasi perkebunan kelapa sawitnya. Namun yang menjadi permasalahan kemudian, modernisasi ini membuat kepemilikan lahan di Indonesia menjadi terbuka untuk semua pihak. Secara hitungan dan logika ekonomi di era kapitalisme, pemilik lahan -yang erat kaitannya dengan pemilik modal- adalah pihak yang paling diuntungkan. Semisal jika pemilik lahan terbesar adalah negara dan rakyat, secara rasionalisasi ekonomi maka negara dan rakyat yang akan menerima nilai manfaat terbesar. Namun jika semisal pemilik lahan adalah korporasi -- terkait erat dengan pemilik modal atau investasi luar negeri -- maka penerima manfaat terbesar bukanlah negara atau rakyat.

Data dari Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat bahwa luas areal perkebunan minyak kelapa sawit di Indonesia  mencapai 15,08 juta hektare (ha) pada 2021. Kepemilikannya  oleh Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,08 juta ha (40,34%); dan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 tibu ha (3,84%); oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) seluas 8,42 juta ha (55,8%). [4]. Dari 55,8% lahan PBS tersebut, seberapa luas lahan yang dimiliki perusahaan sawit asal Singapura? Luaslah pokoknya. Sejauh ini, Bapak Luhut baru sebatas sampaikan ada perusahaan sawit asing asal Singapura yang memiliki banyak lahan di Indonesia.

Memperhatikan PBS atau perusahaan yang memiliki kendali atas lahan dan produksi dalam mekanisme modernisasi (liberalisasi dan kapitalisasi) di Indonesia, maka pihak yang paling diuntungkan adalah bukanlah negara atau rakyat. 

 

Ketergantungan Indonesia

Secara konseptual dari Dos Santos, Indonesia sedang berada dalam kondisi ketergantungan. Dos Santos mengartikan ketergantungan sebagai situasi dimana perekonomian negara-negara tertentu dikondisikan oleh pembangunan dan perluasan ekonomi negara lain. Hubungan ketergantungan antara dua ekonomi atau lebih dalam perdagangan dunia mengambil bentuk ketergantungan ketika beberapa negara yang dominan dapat berekspansi dan mempertahankan dirinya, sementara negara-negara lain yang tergantung hanya sebagai refleksi dari ekspansi tersebut, yang dapat berdampak positif atau malah negatif terhadap pembangunan negara-negara yang tergantung tersebut. (Dos Santos, 1970).

 

Dalam kerangka pemikiran Dos Santos, ketergantungan dapat dibedakan; (1). Ketergantungan Kolonial, dalam ketergantungan ini terjadi ekspor perdagangan alam dari negara-negara jajahan ke negara kolonial dalam hal ini adalah bangsa Eropa. Negara-negara kolonialis melakukan monopoli perdagangan dengan juga monopoli tanah, pertambangan, tenaga kerja di negara-negara jajahannya.  (2). Ketergantungan Finansial-Industrial, yang menguat di akhir abad 19, ditandai dengan dominasi kapital besar pada pusat-pusat hegemonik, dan ekspansinya ke luar negeri melalui investasi terhadap produksi bahan-bahan mentah dan produk-produk pertanian untuk konsumsi di pusat-pusat hegemoni. Sebuah struktur produktif telah bertumbuh di negara-negara yang fokus pada ekspor produk-produk tersebut; istilah ini oleh Levin disebut export economies; analisis lain di wilayah lain, produksi yang oleh ECLA sebut foreign-oriented development. (3). Pada periode pasca perang, sebuah ketergantungan baru telah terkonsolidasi, didasarkan pada korporasi-korporasi multinasional yang mulai berinvestasi dalam industri-industri yang  menyesuaikan pada pasar internal negara-negara underdeveloped. Bentuk ketergantungan ini secara mendasar adalah ketergantungan teknologi-industri.

 

Indonesia telah melewati ketergantungan kolonial, namun saat ini dengan sistem perdagangan terbukanya, Indonesia sedang mengalami ketergantungan finansial-industrial sekaligus ketergantungan teknologi-industri. Ketergantungan finansial-industrial, secara kasat mata terlihat dari kepemilikan lahan oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) seluas 8,42 juta ha (55,8%). Berlanjut juga pada finansial penentuan harga, bukan dikendalikan oleh Indonesia tetapi oleh pasar internasional. Syahril, Masbar, R., Majid, M.S.A., Syahnur, S. (2019) dalam penelitiannya -yang mempertanyakan Does Indonesia as the world largest palm oil producing country determine the world crude palm oil price volatility? -- memperoleh jawaban bahwa the study found that the world CPO price volatility is only Granger-caused by the changes in the real exchange rate, while other variables were found to have no significant effect.

 

Ketergantungan teknologi industri tidak ketinggalan juga memperkuat ketergantungan Indonesia di bidang kepala sawit ini. Dengan tujuan memodernisasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Indonesia tertarik untuk menerapkan teknologi Geo-Al. Teknologi yang mengkombinasi artificial intelligence, machine learning, dan location analitycs sebagai alat monitor perkembanan tanaman sawit  dan kondisis tanah. [5] Lagi-lagi, teknologi ini, belum dipelopori dan belum berhasil diciptakan Indonesia. Kuat dugaan bahwa hasil inovasi dan produksi teknologi Geo-Al ini akan dihadirkan oleh pihak-pihak dari luar negeri. Perusahaan-perusahaan luar negeri saat ini memberi perhatian lebih dalam pengembangan teknologi Geo-Al. (Asrianda, dkk, 2021). Sedangkan Indonesia terlihat masih sibuk dalam urusan tata kelola administrasi minyak sawit, khususnya minyak goreng. Indonesia mau sampai kapan seperti itu? Aduh, maaf saya tidak tau. Saya hanya penonton biasa, itupun dari balik layar HP.

  

Kesimpulan

 

Ketika Indonesia memilih modernisasi untuk mengentaskan kemiskinan, ternyata mengakibatkannya terjebak pada sistem ketergantungan. Alih-alih Indonesia menjadi pihak yang paling diuntungkan dari modernisasi perkebunan kelapa sawit, malah mengalami ketergantungan finansial-industri dan ketergantungan teknologi-industri, selain dahulu juga mengalami ketergantungan kolonial.

 

Alangkah penting ke depan bahwa Indonesia sebagai negara - yang memiliki pengaruh politik dan regulasi -- lebih serius dan dapat secara maksimal memainkan peranannya dalam perkembangan dunia produksi dan perdagangan minyak sawit demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

 

Catatan Kaki:

[1] https://www.iopri.org/  dan https://gapki.id/news/3652/video-sejarah-kelapa-sawit-indonesia diakses tanggal 17/12/2021 pukul 19:20

[2] PASPI-Monitor, Asal Usul Lahan Perkebunan Sawit Indonesia Dan Polemik Deforestasi Palm Oil Journal, Vol II No. 34/09/2021. hal. 490.

[3] http://www.palmoilworld.org/about_malaysian-industry.html, diakses tanggal 18/12/2021 pukul 14:26.

[4] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/31/luas-perkebunan-minyak-kelapa-sawit-nasional-capai-1508-juta-ha-pada-2021, diakses tanggal 15/06/2022 pukul 22:46.

[5] https://mediaindonesia.com/teknologi/414554/teknologi-geo-ai-tingkatkan-produktivitas-perkebunan-sawit, diakses tanggal 15/06/2022, pukul 23:19.

 

 

Referensi

 

Coetzee KJ, Graaf J, Heindricks F, Wood G. (2007). Development: Theory, Policy and Practice. Cape Town: Oxford University Press.

  

Dos Santos, Theotonio. (1970). The Structure of Dependence. American Economic Review, Vol. 60, No.2.

 

Frank AG. (1967). Crisis in the Third World. New York. Holmes and Meier.

 

Hussain A, Tribe K (1981). Marxism and the Agrarian Question: German Social Democracy and  the Peasantry 1890-1907. Hong Kong: MacMillain Press Ltd.

  

Lenin VI. (1964). The Development of Capitalism in Russia. Moscow: Progress Publishers.

 

PASPI-Monitor. (2021). Asal Usul Lahan Perkebunan Sawit Indonesia Dan Polemik Deforestasi .Palm Oil Journal, Vol II No. 34/09/2021. hal. 490.

  

Smith AD. (1973). The Concept of Social Change. London: Routledge and Kjegab Paul.

 

Syahril, Masbar, R., Majid, M.S.A., Syahnur, S. (2019). Does Indonesia as the world largest palm oil producing country determine the world crude palm oil price volatility? Regional Science Inquiry 11(2), pp. 93-104

 

https://www.iopri.org/  dan https://gapki.id/news/3652/video-sejarah-kelapa-sawit-indonesia diakses tanggal 17/12/2021 pukul 19:20

http://www.palmoilworld.org/about_malaysian-industry.html, diakses tanggal 18/12/2021 pukul 14:26.

                                                                                                                                                           

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/31/luas-perkebunan-minyak-kelapa-sawit-nasional-capai-1508-juta-ha-pada-2021, diakses tanggal 15/06/2022 pukul 22:46.

https://mediaindonesia.com/teknologi/414554/teknologi-geo-ai-tingkatkan-produktivitas-perkebunan-sawit, diakses tanggal 15/06/2022, pukul 23:19.


https://bisnis.tempo.co/read/1602456/luhut-sebut-perusahaan-sawit-singapura-yang-berlahan-luas-di-indonesia, diaksestanggal 17/06/2022, pukul 20:23.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun