Mohon tunggu...
Nur Fhaila Shofa
Nur Fhaila Shofa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jangan menjadi orang sombong

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tolak Politisasi SARA pada Pemilu 2024

10 Juli 2023   11:30 Diperbarui: 10 Juli 2023   20:38 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik-Agama-Pemilu.png

Masalah SARA merupakan salah satu masalah yang berkembang pesat di Indonesia akhir-akhir ini. SARA adalah singkatan dari Suku, Agama, Ras dan Antargolongan dan telah menjadi salah satu poin utama konflik sosial yang tampaknya sangat sensitif bagi kebanyakan orang. Salah satu penyebabnya adalah multikulturalisme yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Keberagaman suku, ras, dan agama menjadi isu sensitif ketika elit politik mulai menggunakan politik identitas dalam kampanye mereka. Pengerahan massa dengan konten SARA diakui sebagai salah satu cara tercepat dan termudah untuk meraih simpati dan dukungan. Dan dalam praktiknya hal ini membuahkan hasil yang cukup signifikan.

Saat ini, isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) menjadi masalah besar di Indonesia. Jika masalah ini tidak ditangani dengan baik, dapat menghilangkan rasa memiliki warga negara Indonesia. Salah satu bentuk masalah SARA adalah masalah rasisme. Menurut buku KBBI, rasisme adalah prasangka berdasarkan asal bangsa, faktor tidak adil terhadap perbedaan (etnis), dan pemahaman bahwa ras seseorang adalah ras yang unggul.

Rasisme berdampak negatif terhadap solidaritas masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda yang seharusnya mampu menciptakan solidaritas dan mendukung nilai-nilai persatuan Indonesia, namun hal tersebut hanya menjadi basis yang hilang akibat rasisme. Contoh rasisme remaja saat ini antara lain menolak untuk bermain dengan kelompok tertentu, cercaan dengan kata-kata yang menghina yang menandakan awal dari masalah kebencian sosial, atau komentar di media sosial yang mengungkapkan ketidaksukaan terhadap kelompok tertentu, dll.

Rasisme yang umum terjadi di sebagian besar penduduk Indonesia sangat sering ditujukan kepada etnis anak-anak Tionghoa. Ada sentimen anti-Tionghoa yang kuat di abad ke-20, yang menyebabkan kekerasan anti-Tionghoa, pembakaran rumah Tionghoa, pencurian properti Tionghoa, dll.

Studi kasus yang paling penting adalah kasus tragis tahun 1998. Masalah rasisme jelas diangkat oleh pakar politik Indonesia Daniel Lev (1933-2006). Lev menceritakan bagaimana orang Tionghoa yang sering disalahkan dalam sejarah Indonesia pada tahun 1950-an. Mereka sering dianggap sebagai pendukung komunisme.

Misalnya tuduhan terhadap Badan Pertimbangan Kebangsaan Indonesia (BAPERKI) yang dibentuk saat itu untuk mencegah masalah SARA dan mempersatukan solidaritas di antara masyarakat Indonesia. Dalam praktiknya, BAPERKI bahkan dianggap sebagai organisasi komunis, meskipun anggota BAPERKI Tionghoa memiliki pandangan yang berbeda tentang komunisme. Beberapa bahkan menentang komunisme. Di BAPERKI, perbedaan pendapat tentang komunisme menimbulkan banyak perselisihan di antara para anggotanya. Oleh karena itu tidak baik dikatakan bahwa BAPERKI sama dengan komunisme.

Menurut Levi, pendapat BAPERKI senada dengan pendapat Bung Karno bahwa BAPERKI dipandang sebagai sumber harapan bagi masyarakat kurang mampu. Daniel Lev juga berpendapat bahwa BAPERKI tidak menginisiasi Keputusan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 untuk menghidupkan kembali masalah SARA. Menurut Lev, sikap anti Tionghoa saat itu karena sikap militer yang melihat orang Tionghoa itu kaya dan akan menjadi masalah besar jika masuk pemerintahan. Itulah sebabnya pimpinan militer pun merasa bukan hanya sebagai aktor politik atau pemimpin politik, tetapi juga pengambil keputusan politik yang ingin mengusir orang Tionghoa dari desa-desa guna meningkatkan perekonomian.

Nyatanya, penduduk desa tidak menyetujui pemukiman kembali orang Tionghoa karena akan merugikan mereka. Namun, militer mencoba mengubah banyak hal, percaya bahwa China mendapat dukungan rakyat. Padahal, Bung Karno tidak setuju dengan PP-10. Namun, dia harus setuju, karena kehadiran PP-10 tidak hanya didorong oleh Masyumi dan lainnya, tetapi juga diorganisir oleh militer. Padahal, tujuan pembuatan PP-10 hanyalah untuk membatasi aktivitas ekonomi China. 

Dalam perkembangannya, undang-undang ini mengembangkan gagasan bahwa Tionghoa menguasai ekonomi Indonesia dan karenanya harus dikembalikan ke Tiongkok.

Pembahasan berkaitan dengan pandangan Daniel Levi tentang hal yang sama pada tahun 1950-an. Menolak politisasi SARA dan kebijakan moneter dengan melakukan upaya sosialisasi dan membuka dukungan masyarakat dalam proses pengawasan.

Kegiatan terkait sosialisasi pengendalian dilakukan dengan berbagai cara, seperti kegiatan deklarasi Panitia Pengendali Pemilu yang menyatakan penentangan terhadap kebijakan moneter dan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dalam pelaksanaannya. Untuk pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub).

Pernyataan yang dikeluarkan itu ditandai dengan komitmen bersama: “Kita tolak kebijakan moneter, bersama kita tolak politisasi SARA untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur 2024.”

Penjelasan anti-mata uang didasarkan pada asumsi bahwa setiap pemilih adalah pengontrol setidaknya oleh suaranya sendiri. Setiap pemilih adalah pengamat lingkungannya sendiri, setidaknya di mana dia memilih. Oleh karena itu, tugas utama dalam mempromosikan konsep kontrol universal adalah mendidik pemilih tentang hak politik mereka dalam pemilihan umum.

Hak suara dalam pemilu tidak terbatas pada pemungutan suara pada hari pemilu.

Pemilih juga harus memastikan bahwa hak mereka tidak disalahgunakan oleh pilihan yang buruk. Dalam situasi saat ini, pemilu bukan hanya tentang pembagian nafkah (uang), tetapi juga tentang kesadaran politik bahwa pemilu memiliki hak untuk memberikan penentuan nasib sendiri dan memastikan penentuan nasib sendiri pemilih. Tidak akan terganggu.

Tema pernyataan tersebut adalah menentang dan menentang politik uang dan politisasi SARA dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Isi pengumuman pembacaan tersebut adalah sebagai berikut:

“Melindungi pemilihan gubernur dan wakil gubernur, tata usaha negara dan wakil auditor dari praktik politik mata uang dan SARA, karena merupakan ancaman besar bagi demokrasi dan kedaulatan rakyat. Jangan menggunakan kebijakan moneter dan SARA sebagai sarana untuk membuat sebuah keuntungan.” Simpati pemilih karena merongrong keutuhan dan kedaulatan rakyat; Menyerukan pemilih untuk membuat pilihan cerdas berdasarkan program kerja, bukan kebijakan moneter dan SARA; mendukung pemantauan dan penanganan pelanggaran oleh lembaga pengawas pemilu terhadap kebijakan moneter dan SARA ; Tidak melakukan segala bentuk intimidasi, kekerasan atau perilaku yang dapat mempengaruhi penanganan pelanggaran kebijakan moneter dan SARA.”

Februari 2024 akan menjadi yang tersibuk di Indonesia karena pemilihan parlemen berlangsung di sana. Oleh karena itu, tahun 2023 merupakan hari terpenting bagi parpol dan politisi untuk merebut simpati masyarakat dan memilihnya di tahun 2024. Parpol sudah mulai mendaftarkan kader-kader terbaiknya untuk merebut hati rakyat. Ada yang berlatar belakang seperti tokoh agama, artis, pengusaha, aktivis, dll.

Akan ada begitu banyak kelompok kampanye dan strategi untuk memenangkan hati masyarakat, sehingga setiap partai politik dan kadernya harus memiliki strategi jitu. Terkadang strategi ini menggunakan berbagai cara, termasuk politik identitas dan SARA. Kebijakan SARA adalah sesuatu yang dirancang dalam rumah politik agar SARA menjadi aset politik yang digunakan pada saat-saat tertentu untuk mendapatkan keuntungan politik dengan menyebarkan isu-isu SARA. Kini, isu politik identitas dan politik SARA capres RI 2024 tersebar di berbagai platform media sosial. Indonesia memiliki suku, agama, ras dan golongan yang berbeda-beda sehingga memiliki potensi SARA yang besar.

Berbicara tentang pemilu yang lalu, isu SARA seringkali muncul menjelang pemilu. Politisi melakukan politik SARA dengan gencar menyebarkan isu SARA menjelang pemilu. Setidaknya ada empat faktor yang harus diperhatikan dalam setiap pemilihan umum, yaitu orang, partai, calon, dan sumber daya. Namun, hal-hal, waktu dan tempat mempengaruhi urutan faktor-faktor yang paling penting. Urutan penyebutan di awal surat merupakan urutan ideal yang jarang terjadi dalam kenyataan.

Pertanyaan yang diajukan harus menjadi faktor terpenting menurut psikologi orang Indonesia karena mereka sangat tertarik membahas suku, agama, ras, dan adat istiadat. Percakapan ini terkadang lebih penting daripada

Kemiskinan dan pendidikan. Survei memungkinkan kami untuk mengetahui topik mana yang paling potensial dan dari mana materi kampanye berasal. Selama masa kampanye pemilihan, orang sangat penting karena strategi yang berbeda digunakan untuk mendekatinya.

Politisi sering menggunakan pendekatan akar rumput dalam politik SARA untuk menarik perhatian masyarakat. Karena butuh emosi dan harganya murah. Isu SARA berulang kali diungkit oleh tokoh-tokoh politik untuk dianggap benar, sehingga memecah belah masyarakat. Umumnya partai politik dan politisi melakukan kampanye konvensional menjelang pemilu.

Dengan cara ini, isu SARA menarik emosi masyarakat kemudian dipopulerkan melalui televisi, radio, surat kabar, buku, spanduk dan website. Langkah ini sebenarnya cukup mahal dan tidak efisien. Karena iklan TV 30 detik saja bisa mencapai puluhan atau ratusan juta kantong. Namun, menurut pakar periklanan Ipang Wahid, sekitar 56 persen masyarakat Indonesia masih menonton TV. Khusus untuk penggemar Sinetron. Paket data internet tidak diperlukan untuk TV yang diperingkat.

Kecepatan pemilihan umum (pemilu) juga dapat dijadikan cerminan akan pentingnya toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Artinya saling menghormati dan menghargai pemikiran dan gagasan para calon pemilih tanpa saling merendahkan. Politisasi SARA tidak bisa ditolerir, oleh karena itu pemilu 2024 yang berkualitas dan damai harus ditentang dengan tegas.

Politisasi SARA terjadi akibat manipulasi elit politik. Sebaliknya, elit politik seharusnya hanya melayani kepentingan negara dan bukan kepentingan politik yang memperebutkan kekuasaan dalam menjalankan tugasnya. Padahal, elit politik juga termasuk rakyat. Yang membedakannya dengan orang lain adalah peran antara penguasa dan yang dikuasai.

Dinamika lima tahunan adalah pemilu di mana partai, calon presiden, dan calon wakil presiden harus bersaing secara atletis dan sehat, menyampaikan ide dan gagasan terbaik hanya untuk memajukan kedaulatan negara dan rakyat. Kemudian orang hanya perlu menggunakan hati nurani mereka untuk memutuskan siapa yang akan dipilih. Juga, jangan mencampuradukkan urusan SARA dengan urusan politik demi kepentingan politik bangsa dan negara. Ini tidak mudah. Pemilu harus diselenggarakan secara kualitatif, menghindari politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dan situasi antar pendukung pasangan calon terus memanas.

Politisasi SARA dapat menjadi kendala di kancah politik, seperti permasalahan horizontal antar pendukung pasangan calon, gangguan keamanan, kurangnya persiapan penyelenggara pemilu dan kurangnya netralitas penyelenggara pemilu. Konflik-konflik tersebut dapat mengakibatkan pemilih mengambil keputusan bukan atas dasar hati nurani, melainkan atas dasar kesamaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Dengan demikian, penolakan terhadap politisasi Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) digalakkan dan disosialisasikan agar Pemilu 2024 dapat diakses oleh seluruh masyarakat dengan harapan pemilu berlangsung aman dan damai tanpa menimbulkan kerusuhan di tengah masyarakat. Pendukung berasal dari organisasi. Pasangan Presiden dan Cawarres.

Menurut Herwyn JH Malonda, anggota Badan Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu), politisasi identitas merupakan hal yang sangat berbahaya dalam penyelenggaraan pemilu. Bagaimana tidak, pasal yang diawali dengan praktik politik identitas, berpotensi menghadirkan kekerasan dan agitasi berbasis SARA di tengah masyarakat, termasuk berpotensi memecah belah bangsa.

Selain itu, jika persoalan dan praktik politisasi SARA di masyarakat terus berlanjut, maka akan terjadi pula penolakan terhadap calon tertentu, meski dengan kedok latar belakang identitasnya, seperti ras, suku, atau agama. Jadi jelas ini akan memperlemah demokratisasi Indonesia.

Meski harus dalam surat suara, setiap pemimpin atau calon yang mencalonkan diri harus mampu menegaskan diri dengan mengedepankan gagasan atau visi dan visi misinya, termasuk program-program yang mereka tawarkan ke pelelangan publik. Dengan semua itu, publik nantinya bisa memilah dan memutuskan calon pemimpin mana yang dianggap layak dan layak untuk memimpin Indonesia ke depan, namun secara keseluruhan pertimbangan seleksi atau penolakan hanyalah gagasan dan tidak didasarkan pada latar belakang identitas calon tertentu. Pemimpin. Potensi Pemimpin.

Oleh karena itu, politisasi SARA memang menjadi momok sekaligus tantangan yang harus disikapi oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Politik berarti meruntuhkan tatanan kohesi sosial dengan sentimen-sentimen orisinal yang menghancurkan kehidupan bangsa yang diciptakan dengan susah payah oleh para pendiri bangsa. Tanpa mengecilkan daya rusak politik uang dalam pilkada dan pilkada, kebijakan Sara menjadi ancaman serius bagi pilkada dan pilkada (2024) yang sangat berbahaya.

Di tengah realitas politik negara kita yang sudah kehilangan akal sehatnya, jauh dari beradab dan mengabaikan nilai-nilai sopan santun yang muncul beberapa waktu lalu, bukan tidak mungkin Politisasi Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) pun menjadi nilai jual politik pada Pilkada dan Pilkada serentak 2024.

Politisasi Sara disebut membayangi pilkada serentak dan pilkada 2024. Isu adat dan agama dijual secara seksual, sehingga sering digunakan untuk membantu kelompok mencapai tujuannya, termasuk memenangkan pilkada 2024 dan pilkada. Ketika isu Sara menjadi mekanisme yang dinamis dan momen strategis bagi penjualan politik di Pilkada dan Pilkada, Pilkada dan Pilkada, maka pemilihan Presiden, Anggota Legislatif, DPD dan Pimpinan Daerah dengan kemampuan kepemimpinan yang mumpuni secara profesional tidak dapat dilaksanakan. Pemilihan dan permainan bola menjadi tidak produktif dan tidak beradab.

Karena pengaruh politik Sara yang sangat berbahaya, maka penyebaran gerakan anti Sara melalui berbagai cara harus sistematis, terstruktur dan masif agar pemilu 2024 dan pilkada berjalan lancar, lancar dan damai. penuh kesopanan.

Ada beberapa upaya strategis untuk memitigasi politisasi Sara dalam kehidupan demokrasi kita. Berkaitan dengan Pilkada serentak dan Pilkada tahun 2024, pengecekan dan verifikasi kebenaran data pemilih menjadi keharusan untuk memastikan keakuratan dan kebenaran data pemilih. Akurasi data pemilih penting untuk memerangi politik partisan.

Pihak terkait sehubungan dengan Pilkada Serentak dan Pilkada tahun 2024 harus memberikan informasi, pemahaman dan edukasi politik kepada masyarakat, khususnya yang memilih di Pilkada dan Pilkada, tentang bahaya politisasi Sara (politik uang dan kampanye hitam).

Muatan pemilu dan pilkada sebagai mekanisme dinamis dan momen strategis untuk memilih pemimpin dengan kualitas kepemimpinan yang handal untuk memperjuangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih baik harus dipahami dengan baik oleh masyarakat pemilih, secara benar dan komprehensif.

Dengan kepemimpinan kepala negara dan kepala daerah yang baik, krisis dapat diselesaikan, konflik diselesaikan dan daerah dan negara dapat bergerak maju. 

Satu hal yang sangat penting dalam antisipasi praktis politik identitas adalah bagaimana mengatakan bahwa peran tokoh lintas agama merupakan kunci penting untuk memahami kualitas pemilu 2024.

Mari kita wujudkan pemilu 2024 berkualitas tanpa oknum yang manipulatif dan jaga diri dari permainan politik SARA yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Referensi:

Murafer, Yakobus Rochard. “Peningkatan Pengawasan Partisipatif oleh Panwaslu Kota Jaya Pura Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Tahun 2018 di Kota Jayapura.” Jurnal Politik & Pemerintahan 2.2 (2018).

Syahputra, Muhammad Candra. “GERAKAN LITERASI POLITIK PEREMPUAN NAHDLATUL ULAMA DALAM MENYAMBUT PEMILIHAN UMUM 2019-2020.” Jurnal Islam Nusantara 4.2 (2020): 203-219.

https://www.merdeka.com/jatim/ketahui-kepanjangan-sara-dan-pengertiannya-pelajari-lebih-lanjut-kln.html

https://radarsampit.jawapos.com/nasional/15/01/2023/tolak-politisasi-agama-pada-pemilu-2024/

Nama : Nur Fhaila Shofa

Dosen Pengampu: Dr. WAHIDULLAH, S.H.I., M.H.

Program Studi: Perbankan Syariah

Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun