Masalah SARA merupakan salah satu masalah yang berkembang pesat di Indonesia akhir-akhir ini. SARA adalah singkatan dari Suku, Agama, Ras dan Antargolongan dan telah menjadi salah satu poin utama konflik sosial yang tampaknya sangat sensitif bagi kebanyakan orang. Salah satu penyebabnya adalah multikulturalisme yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Keberagaman suku, ras, dan agama menjadi isu sensitif ketika elit politik mulai menggunakan politik identitas dalam kampanye mereka. Pengerahan massa dengan konten SARA diakui sebagai salah satu cara tercepat dan termudah untuk meraih simpati dan dukungan. Dan dalam praktiknya hal ini membuahkan hasil yang cukup signifikan.
Saat ini, isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) menjadi masalah besar di Indonesia. Jika masalah ini tidak ditangani dengan baik, dapat menghilangkan rasa memiliki warga negara Indonesia. Salah satu bentuk masalah SARA adalah masalah rasisme. Menurut buku KBBI, rasisme adalah prasangka berdasarkan asal bangsa, faktor tidak adil terhadap perbedaan (etnis), dan pemahaman bahwa ras seseorang adalah ras yang unggul.
Rasisme berdampak negatif terhadap solidaritas masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda yang seharusnya mampu menciptakan solidaritas dan mendukung nilai-nilai persatuan Indonesia, namun hal tersebut hanya menjadi basis yang hilang akibat rasisme. Contoh rasisme remaja saat ini antara lain menolak untuk bermain dengan kelompok tertentu, cercaan dengan kata-kata yang menghina yang menandakan awal dari masalah kebencian sosial, atau komentar di media sosial yang mengungkapkan ketidaksukaan terhadap kelompok tertentu, dll.
Rasisme yang umum terjadi di sebagian besar penduduk Indonesia sangat sering ditujukan kepada etnis anak-anak Tionghoa. Ada sentimen anti-Tionghoa yang kuat di abad ke-20, yang menyebabkan kekerasan anti-Tionghoa, pembakaran rumah Tionghoa, pencurian properti Tionghoa, dll.
Studi kasus yang paling penting adalah kasus tragis tahun 1998. Masalah rasisme jelas diangkat oleh pakar politik Indonesia Daniel Lev (1933-2006). Lev menceritakan bagaimana orang Tionghoa yang sering disalahkan dalam sejarah Indonesia pada tahun 1950-an. Mereka sering dianggap sebagai pendukung komunisme.
Misalnya tuduhan terhadap Badan Pertimbangan Kebangsaan Indonesia (BAPERKI) yang dibentuk saat itu untuk mencegah masalah SARA dan mempersatukan solidaritas di antara masyarakat Indonesia. Dalam praktiknya, BAPERKI bahkan dianggap sebagai organisasi komunis, meskipun anggota BAPERKI Tionghoa memiliki pandangan yang berbeda tentang komunisme. Beberapa bahkan menentang komunisme. Di BAPERKI, perbedaan pendapat tentang komunisme menimbulkan banyak perselisihan di antara para anggotanya. Oleh karena itu tidak baik dikatakan bahwa BAPERKI sama dengan komunisme.
Menurut Levi, pendapat BAPERKI senada dengan pendapat Bung Karno bahwa BAPERKI dipandang sebagai sumber harapan bagi masyarakat kurang mampu. Daniel Lev juga berpendapat bahwa BAPERKI tidak menginisiasi Keputusan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 untuk menghidupkan kembali masalah SARA. Menurut Lev, sikap anti Tionghoa saat itu karena sikap militer yang melihat orang Tionghoa itu kaya dan akan menjadi masalah besar jika masuk pemerintahan. Itulah sebabnya pimpinan militer pun merasa bukan hanya sebagai aktor politik atau pemimpin politik, tetapi juga pengambil keputusan politik yang ingin mengusir orang Tionghoa dari desa-desa guna meningkatkan perekonomian.
Nyatanya, penduduk desa tidak menyetujui pemukiman kembali orang Tionghoa karena akan merugikan mereka. Namun, militer mencoba mengubah banyak hal, percaya bahwa China mendapat dukungan rakyat. Padahal, Bung Karno tidak setuju dengan PP-10. Namun, dia harus setuju, karena kehadiran PP-10 tidak hanya didorong oleh Masyumi dan lainnya, tetapi juga diorganisir oleh militer. Padahal, tujuan pembuatan PP-10 hanyalah untuk membatasi aktivitas ekonomi China.Â
Dalam perkembangannya, undang-undang ini mengembangkan gagasan bahwa Tionghoa menguasai ekonomi Indonesia dan karenanya harus dikembalikan ke Tiongkok.