Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Gadisku #1: Ditembak Cowok Ganteng

25 Oktober 2017   19:34 Diperbarui: 25 Oktober 2017   20:20 2273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: exploringyourmind.com

Hari ini hari Minggu. siang hari yang cukup terik, sehingga aku enggan keluar rumah. Aku manfaatkan waktu untuk bersantai tidur-tiduran di sofa ruang tengah sambil membaca berita-berita di media daring. Tiba-tiba smartphone-ku berbunyi.

"Ting...!"

Aku beranjak bangkit menghampiri smartphone-ku. Aku melihat ada seseorang yang menambahkan nomer teleponku, sehingga otomatis di messenger Line  milikku ada notifikasi yang memberitahu ia ingin menjadi temanku. Aku biasanya tak segera mengkonfirmasi, namun nama yang tertera itu yang membuatku penasaran. "Nurul Azizah" itu nama yang kubaca.

Aku tertegun sebentar. Nama yang aku merasa mengenalnya. Nama yang sudah 12 tahun aku lupakan, karena ia sudah mempunyai orangtua baru. Ya, ia sudah mempunyai ayah tiri --Mase, sahabat karibku. Mase menikahi Leidya Ana mantan istriku.

Banyak pertanyaan dalam benakku. Bagaimanakah rupa anakku? Tak kurang dari 12 tahun aku tak melihatnya, bahkan hanya sekedar meneleponnya. Pasti sekarang ia sudah berumur 15 tahun. Ia pasti sudah besar. Sengaja aku biarkan ia dalam didikan dan asuhan Mase sahabatku. Itulah kesepakatannya.  

Aku terkejut. Darahku terkesiap. Aku terkesima. Aku melihat Wajah seorang gadis remaja cantik. Aku seperti melihat wajahku sendiri semasa remaja. Kulit wajahnya putih bersih. Ia mengenakan tutup kepala. Jadi, secantik inikah Nurul Azizah anakku? sudah sebesar itukah anakku? Pose  senyumnya menawan, sungguh mengingatkanku pada ibunya.

"Ada apa?" begitu pikiranku. Aku pun segera menekan  Add. Segera setelah itu pesan muncul di layar smartphone-ku.

"Assalamu'alaikum, Abi!"

Ah, dia masih ingat cara memanggilku. Sejak kecil ia memang memanggilku Abi. Pikiranku pun menerawang pada terakhir kali aku melihatnya, saat ia berumur tiga tahun. Di penjara saat itulah terakhir aku melihatnya. Leidya membawanya menjengukku terakhir kalinya untuk memberitahu bahwa ia menggugatku di pengadilan untuk bercerai.

Kini, gadis kecilku sudah menjelma menjadi seorang gadis remaja. Ia bahkan bisa menggunakan smartphone  dan chat  di  Linedenganku. Mase tentu membelikan smartphoneitu buatnya. Aku penasaran dan bertanya-tanya, sudah 12 tahun kami tak berkomunikasi. Ada apa tiba-tiba anakku menghubungiku? Aku merasa ada hal yang penting yang akan disampaikannya. Aku pun segera membalas pesan itu.

"Wa'alaikum salam. Nurul kamukah?

"Iya, ini Nurul. Abi masih ingat sama Nurul?"

Aku tersenyum kecut mambaca kalimat tanya itu. Sebelum aku menjawabnya, sudah kubaca kalimat lain yang muncul.

Apa khabar, Bi?

Aku pun segera menjawabnya. "Baik. Khabarmu?"

"Nurul baik, Bi!"

"Kamu bagaimana bisa dapat nomor Abi?

"Ayah memberitahuku nomor Abi."

Jadi, Nurul memanggil ayah pada orang tua laki-laki tirinya. Aku tersenyum. Bagaimana khabar sahabatku itu. Mase memang sahabatku yang setia. Beruntung aku mempunyai karib sepertinya.

"Bi, Nurul sudah besar. Sekarang sudah kelas 11 di SMA Negeri 4 di kota dimana Nurul dan ayah tinggal. Seneng banget Nurul, Bi. Teman-teman baik pada Nurul. Ada yang spesial lho, Bi!" tulis Nurul bercerita.

Alhamdulillah, aku beryukur ternyata Mase menepati janjinya untuk membesarkan Nurul dengan penuh kasih sayang dan menganggap Nurul seperti anaknya sendiri, Namun pernikahan Leidya dengan Mase ternyata tak beruntung mereka tak satupun dikarunia anak sampai Leidya meninggal.

"Bi...!?" tulis Nurul lagi karena aku tak merespon pesannya. Namun aku yakin tanda read  ada di Line  di smartphonenya.

"Yups. Abi disini."

Aku terbawa suasana akrab yang terasa dari chit-chat  dengan Nurul. Ia menceritakan perasaannya betapa ia menghormati dan mencintai ayahnya. Ia bahkan tak menyinggung almarhumah Ibunya. Mungkin dia tak mau merusak suasana percakapan kami dengan hal yang sedih. Ia lebih banyak berkisah tentang sekolah, guru dan teman-temannya. Padahal kami sudah 12 tahun tak bertemu juga sama sekali tak berkomunkasi. Mungkin ikatan batin di antara kami masih kuat. Sejak ia masih bayi sampai ia berumur tiga tahun, akulah yang dominan bersamanya. Sementara Leidya mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.

Memandikan, mengganti popoknya saat ia ngompoldan BAB. Menyiapkan susu botol sebelum ia tidur. Aku pula yang menyuapinya bubur sarapan pagi, sebelum aku berangkat ke kantor. Juga, bermain di tempat tidur sebelum ia pulas kecapaian dengan polahnya sendiri

Saat ia lahir aku memperdengarkan adzan dan iqomah di telinga kiri-kanannya setelah dia dimandikan oleh perawat. Aku lah lelaki yang menggendongnya pertama kali.  Namun kebahagiaaku bersama Nurul terenggut setelah aku masuk penjara.

Kini anak kecilku bermain chit-chat. Kids  jaman now. Kids?No. She is a beautiful teenage. Sebagai ayahnya aku ingin anak gadisku yang sedang tumbuh dewasa ini dalam pengawasanku. Aku sudah lama tak merasakan senangnya kupingku dipanggil Abi. Sudah sekian tahun aku bagaimana bahagianya ada anak yang manja kepadaku. Yang meminta sambil merengek dibelikan sesuatu. Aku juga ingin melihat senyum Nurul, senyum ibunya, wanita yang pernah kucinta dengan sepenuh hati.

"Bi, Nurul mau cerita nich. Ada teman Nurul. Cowok, Bi. Dia baik dan perhatian pada Nurul. Kemarin sore sehabis pulang sekolah menembak Nurul. Terus tuchcowok diterima apa nggak ya, Bi?"

Aku tertegun membaca rentetan kalimat yang ditulis Nurul. Aku mengernyitkan dahiku. Ternyata betul, anakku sudah menjadi gadis remaja. Ia punya hati dan pikiran yang juga beranjak dewasa. Ini saat yang penting untuk menjaga dan mengawasinya. Aku mencoba menahan diri untuk tak memberondong pertanyaan interogratif. Aku mau mencoba akomodatif. Remaja jaman sekarang mesti tak boleh dilawan, namun diikuti jalan pikirannya dan diarahkan ke arah yang baik dan benar. Jadi, perlakukan ia seperti orang dewasa.

"Hadeh...! Maksudmu, ada teman cowok yang mencintaimu dan menyatakan cintanya padamu?" aku menegaskan.

"Inggih, Bi...! Gimana ya?" tulis Nurul meminta pendapatku

"Kamu sudah bicarakan dengan ayahmu soal ini?"

"Sudah Bi. Kata Ayah "bilang sama Abimu sana." Itulah sebabnya Ayah memberikan nomer HP Abi. Bagaimana, Bi?" Tulis Nurul seperti mendesakku untuk segera menjawab pertanyaannya. Aku mencoba mencairkan suasana. Tepatnya mencairkan keteganganku atas pertanyaan anakku sendiri itu.

"Wahahahah..."

Nurul tak merespon tawaku. Serius rupanya dia. Sedang tak ingin tertawa. Aku membayangkan dia merenggut dan manyun di depanku, bagaimana rasanya jika ada anak gadis remaja begitu di depanku.

"Cinta monyet itu...." aku tulis begitu mencoba mengetahui level keseriusannya.

Masih tak ada respon. Aku mulai yakin sekarang bahwa pertanyaannya memang serius.

"Kamu tuch  mau tanya minta izin Abi agar kamu menerima cowok itu atau memberitahu Abi ?" Aku yakin dia mengerti arah pertanyaanku. Jika hanya memberitahu artinya ia sudah menerima pernyataan cinta cowoknya, jika meminta izin berarti keputusan menerima atau menolak cinta cowoknya diserahkan padaku, Abinya.

"Memberi izin sekaligus memberitahu" respon Nurul dengan cepat.

"Gantheng, Bi. Lumayan..." tulis Nurul lagi dengan cepat

"Beuuuhhh..." jawabku.

"Abi mau lihat fotonya?"

"Boleh"

"Tuch Bi, ditembak cowok..!" tulis Nurul

Song Joong Ki sedang menembak (sumber foto pinterest.com )
Song Joong Ki sedang menembak (sumber foto pinterest.com )
(Terlihat aktor Korea Song Joong Ki dalam pose menembak)

Sontak aku tertawa. Melihat gambar yang dikirim anakku Nurul. Aha, dia punya sense of humoryang tinggi.

"Wahahahah... Dasar anak Abi. Kirain serius"

"Hihihihihi..."

-------mw-------

*Kisah fiksi ini diinspirasi oleh sebuah kisah nyata. Semua tokoh adalah rekaan semata. Kesamaan nama, karakter dan tempat adalah kebetulan semata.

**Inggih (bahasa Jawa halus) = iya 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun