Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Gadisku #1: Ditembak Cowok Ganteng

25 Oktober 2017   19:34 Diperbarui: 25 Oktober 2017   20:20 2273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: exploringyourmind.com

"Yups. Abi disini."

Aku terbawa suasana akrab yang terasa dari chit-chat  dengan Nurul. Ia menceritakan perasaannya betapa ia menghormati dan mencintai ayahnya. Ia bahkan tak menyinggung almarhumah Ibunya. Mungkin dia tak mau merusak suasana percakapan kami dengan hal yang sedih. Ia lebih banyak berkisah tentang sekolah, guru dan teman-temannya. Padahal kami sudah 12 tahun tak bertemu juga sama sekali tak berkomunkasi. Mungkin ikatan batin di antara kami masih kuat. Sejak ia masih bayi sampai ia berumur tiga tahun, akulah yang dominan bersamanya. Sementara Leidya mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.

Memandikan, mengganti popoknya saat ia ngompoldan BAB. Menyiapkan susu botol sebelum ia tidur. Aku pula yang menyuapinya bubur sarapan pagi, sebelum aku berangkat ke kantor. Juga, bermain di tempat tidur sebelum ia pulas kecapaian dengan polahnya sendiri

Saat ia lahir aku memperdengarkan adzan dan iqomah di telinga kiri-kanannya setelah dia dimandikan oleh perawat. Aku lah lelaki yang menggendongnya pertama kali.  Namun kebahagiaaku bersama Nurul terenggut setelah aku masuk penjara.

Kini anak kecilku bermain chit-chat. Kids  jaman now. Kids?No. She is a beautiful teenage. Sebagai ayahnya aku ingin anak gadisku yang sedang tumbuh dewasa ini dalam pengawasanku. Aku sudah lama tak merasakan senangnya kupingku dipanggil Abi. Sudah sekian tahun aku bagaimana bahagianya ada anak yang manja kepadaku. Yang meminta sambil merengek dibelikan sesuatu. Aku juga ingin melihat senyum Nurul, senyum ibunya, wanita yang pernah kucinta dengan sepenuh hati.

"Bi, Nurul mau cerita nich. Ada teman Nurul. Cowok, Bi. Dia baik dan perhatian pada Nurul. Kemarin sore sehabis pulang sekolah menembak Nurul. Terus tuchcowok diterima apa nggak ya, Bi?"

Aku tertegun membaca rentetan kalimat yang ditulis Nurul. Aku mengernyitkan dahiku. Ternyata betul, anakku sudah menjadi gadis remaja. Ia punya hati dan pikiran yang juga beranjak dewasa. Ini saat yang penting untuk menjaga dan mengawasinya. Aku mencoba menahan diri untuk tak memberondong pertanyaan interogratif. Aku mau mencoba akomodatif. Remaja jaman sekarang mesti tak boleh dilawan, namun diikuti jalan pikirannya dan diarahkan ke arah yang baik dan benar. Jadi, perlakukan ia seperti orang dewasa.

"Hadeh...! Maksudmu, ada teman cowok yang mencintaimu dan menyatakan cintanya padamu?" aku menegaskan.

"Inggih, Bi...! Gimana ya?" tulis Nurul meminta pendapatku

"Kamu sudah bicarakan dengan ayahmu soal ini?"

"Sudah Bi. Kata Ayah "bilang sama Abimu sana." Itulah sebabnya Ayah memberikan nomer HP Abi. Bagaimana, Bi?" Tulis Nurul seperti mendesakku untuk segera menjawab pertanyaannya. Aku mencoba mencairkan suasana. Tepatnya mencairkan keteganganku atas pertanyaan anakku sendiri itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun