"Kalau sudah waktunya datang, tidur pun bisa nyawa kita melayang. Lagi pula bayi lahir juga tak bisa langsung panggil kamu "Papa". Bayi masih jelek wajahnya saat itu.Tak bisa senyum, bisanya menangis dan menyusu. Kalau wajahnya sudah berbentuk dan good looking, barulah kamu boleh melihat hasil karya kita," cerocos Lin sambil tersenyum manja. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tak percaya bagaimana bisa isi otak istriku seperti itu.
"Mas, kamu siapkan nama buat anak lelaki kita. Itu saja yang Lin minta," katanya suatu saat kami sedang video call. "Mudah-mudahan cakep seperti papanya dan putih kulitnya seperti mamanya," harapannya sambil senyum-senyum gimana gitu. Tak urung aku tersenyum geli mendengarnya, namun aku mengamininya dalam hati.
******
"Hah! Sudah lahir? Kapan? Dimana kamu? Kamu nggak apa khan? Bayinya sehat?" tanyaku bertubi-tubi saat Lin telepon sore hari.
"Alhamdulillah, kami semua sehat," kata Lin terdengar lemah namun suaranya menahan gembira dan mulutnya menyungging senyum.
"Mana bayinya perlihatkan padaku!" pintaku singkat. Lin pun mengarahkan kamera hapenya ke arah bayi lelaki mungil kami yang dibaringkan di sebelahnya. Aku melihat wajah bayi merah itu. Bayi wajahnya emang gitu ya?Â
"Tolong letakkan speaker hapemu di telinganya, Lin. Aku mau mengumandangkan adzan di telinganya. Kamu buat speaker on, ya sayang" pintaku cepat. Lin pun menuruti permintaanku.
Setelah prosesi adzan selesai, Lin pun menceritakan kronologi lahirnya bayi kami. Pelan tapi penuh semangat. Aku khusyuk mendengarkan ceritanya sambil manggut-manggut, namun dengan perasaan entah bagaimana sulit menggambarkan.
"Mas, siapa nama bayi kita ini?" tanyanya di ujung percakapan kami.
"Setuju tidak jika kita panggil dia "Aren"? tanyaku pada Lin. Dia tersenyum menjawab,"Lin sudah melahirkannya, Mas yang harus beri nama. Asal baik Lin setuju saja"
Aku menjelaskan,"A-R-E-N. Artinya burung elang. "Eren" begitu pengucapannya. "E" pertama diucapkan seperti "e" pada kata "pendek" dan "e" berikutnya seperti pengucapan "e" pada kata "sendal".