Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cepatlah Besar Matahariku

15 Maret 2016   14:18 Diperbarui: 15 Maret 2016   14:34 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="My Son is My Sun"][/caption]

Sumber Gambar

"Lin..!!," setengah berteriak suaraku kali ini. Hening sejenak. Aku masih menatap wajah istriku Lin di layar hapeku.

Lalu beberapa detik dengan ekspresi datar kudengar Lin berkata,"sudahlah Mas, percaya Lin. Sungguh Lin tak apa. Lin bisa urus diri sendiri."

Aku setengah tak percaya mendengar istriku bisa berkata begitu. Lin masih melanjutkan perkataannya.

"Kamu konsentrasi selesaikan pekerjaanmu saja, Mas. Biar aku yang selesaikan apa yang menjadi tanggungjawabku. Kita mesti menghemat. Mas tak perlu datang!"

Aku menggeleng keras. Kulihat Lin malah tersenyum. Senyum yang menampakkan keyakinan diri. Aku melihatnya di layar hapeku. Sudah lebih 15 menit kami berdiskusi melalui video call, namun kami tetap bersikukuh mempertahankan pendapat kami masing-masing. Tak ada titik temu. Padahal yang kutahu anak bungsu itu secara psikologis biasanya senang dimanja bahkan kolokan, tapi ini lha kok diametral dengan keumuman. Apa ini pencilan dari kurva normal statistik? Sungguh aku tak mengerti.

"Bagaimana bisa aku membiarkanmu berjuang sendiri di sana, Lin! Apa kata keluargaku, jika aku tak ada di sampingmu saat itu? Ini suatu hal yang tak bisa dibenarkan..! Pokoknya aku harus datang ke Phnom Penh. Kamu khan tinggal beri tahu aku kapan waktunya!," aku menimpali dengan suara pelan berusaha mencairkan kekerasan hati istriku.

*******

Sejak video call debate itu, aku jadi lebih sering call istriku. Lebih dari tiga kali sehari. Setiap ada kesempatan entah pagi, siang dan malam. Wajar saja perhatianku menjadi lebih, dia hamil tua, sudah mendekati hari kelahiran.

Aneh memang istriku ini. Adalah suatu hal yang wajar jika sang suami berada di dekat sang istri yang segera melahirkan. Menunggu, menghibur dan mendoakan. Namun, istriku bersikukuh dia tak perlu kehadiranku. Melahirkan memang mempertaruhkan nyawa, katanya. "Sudah kodrat wanita begitu, Mas!," argumennya singkat. "Kamu pun juga mempertaruhkan nyawa datang ke Phnom Penh. Naik mobil, naik pesawat, semuanya mempertaruhkan nyawa," katanya.

"Kalau sudah waktunya datang, tidur pun bisa nyawa kita melayang. Lagi pula bayi lahir juga tak bisa langsung panggil kamu "Papa". Bayi masih jelek wajahnya saat itu.Tak bisa senyum, bisanya menangis dan menyusu. Kalau wajahnya sudah berbentuk dan good looking, barulah kamu boleh melihat hasil karya kita," cerocos Lin sambil tersenyum manja. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tak percaya bagaimana bisa isi otak istriku seperti itu.

"Mas, kamu siapkan nama buat anak lelaki kita. Itu saja yang Lin minta," katanya suatu saat kami sedang video call. "Mudah-mudahan cakep seperti papanya dan putih kulitnya seperti mamanya," harapannya sambil senyum-senyum gimana gitu. Tak urung aku tersenyum geli mendengarnya, namun aku mengamininya dalam hati.

******

"Hah! Sudah lahir? Kapan? Dimana kamu? Kamu nggak apa khan? Bayinya sehat?" tanyaku bertubi-tubi saat Lin telepon sore hari.

"Alhamdulillah, kami semua sehat," kata Lin terdengar lemah namun suaranya menahan gembira dan mulutnya menyungging senyum.

"Mana bayinya perlihatkan padaku!" pintaku singkat. Lin pun mengarahkan kamera hapenya ke arah bayi lelaki mungil kami yang dibaringkan di sebelahnya. Aku melihat wajah bayi merah itu. Bayi wajahnya emang gitu ya? 

"Tolong letakkan speaker hapemu di telinganya, Lin. Aku mau mengumandangkan adzan di telinganya. Kamu buat speaker on, ya sayang" pintaku cepat. Lin pun menuruti permintaanku.

Setelah prosesi adzan selesai, Lin pun menceritakan kronologi lahirnya bayi kami. Pelan tapi penuh semangat. Aku khusyuk mendengarkan ceritanya sambil manggut-manggut, namun dengan perasaan entah bagaimana sulit menggambarkan.

"Mas, siapa nama bayi kita ini?" tanyanya di ujung percakapan kami.

"Setuju tidak jika kita panggil dia "Aren"? tanyaku pada Lin. Dia tersenyum menjawab,"Lin sudah melahirkannya, Mas yang harus beri nama. Asal baik Lin setuju saja"

Aku menjelaskan,"A-R-E-N. Artinya burung elang. "Eren" begitu pengucapannya. "E" pertama diucapkan seperti "e" pada kata "pendek" dan "e" berikutnya seperti pengucapan "e" pada kata "sendal".

Lin mengangguk setuju sambil terus tersenyum. Kami bahagia walaupun terpisahkan jauh oleh jarak.

*******

"Vong Chan Aren, nama Kambojanya. Nama Indnesia lengkapnya Aren Abdul Malikis Salim. Panggilannya "Aren"", kataku pada ibuku saat aku menceritakan nama cucunya. Ibuku manggut-manggut saja sambil mendoakan, "Semoga menjadi anak yang shaleh, berbakti pada orangtuanya, negara dan bangsa serta agamanya."

"Aamiin..!!"

"Bangun, Pak! Kita sudah sampai di rumah di Medan!" terdengar suara asistenku membangunkan aku. Aku lihat jam hapeku menunjukkan pukul 02.00 pagi. Ah, aku tertidur dengan kepala tegak di kursi depan mobil. Aku bermimpi.

Pelan terdengar lagu Iwan Fals dari CD player di mobil.

.....
Cepatlah besar matahariku
menangis yang keras janganlah ragu
tinjulah congkaknya dunia buah hatiku
doa kami di nadimu
.....

 -------mw-------

*) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia.
**) Sementara di Medan. 15 Maret 2016.
***) Semua nama dan karakter adalah karangan (fiksi) belaka. Kesamaan nama, sifat atau kejadian adalah kebetulan semata-mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun