[caption id="" align="aligncenter" width="629" caption="Ada Cinta Di Singapura"][/caption]
"Saya perkenalkan asisten baru saya untuk membantu Anda semua lebih memahami mata kuliah saya. Namanya Mas Wahyu," demikan aku diperkenalkan oleh Pak Ali, dosen mata kuliah Ekologi Manusia siang itu kepada mahasiswanya di kelas di awal semester baru tingkat akhir. Disitulah awal perkenalanku dengan Dinda. Mahasiswi berjilbab asli kota kembang yang mengambil mata kuliah Ekologi Manusia di semester itu. Gadis cantik, cerdas, dan ceria.
Setelah selesai kuliah aku bergegas segera meninggalkan kelas. Tetapi langkahku terhalang, telingaku mendengar seorang mahasiswi bersuara lembut berseru dan tiba-tiba sudah berdiri di depanku.
"Tunggu, Pak Mas. Perkenalkan. Saya Dinda dari Bandung. Pak Mas Wahyu darimana?"
Saya tak urung menahan senyum dengan panggilannya itu. Terasa lucu. "Iya Dinda, saya berasal dari kota Jember, Jawa Timur. Panggil nama saya saja. Tanpa embel-embel Pak. Jadi Mas Wahyu. Memang nama saya itu. Atau kalau Dinda suka, panggil nama depan saya: Mas." "Baik Mas. Sampai jumpa di kuliah minggu depan, ya Mas."
*******
Bergegas aku menuju check-in counter di terminal internasional di Bandara Cengkareng. Penerbangan Rabu sore selalu kupilih, sehingga sesampainya di Singapura aku masih bisa istirahat dan keesokan harinya aku bisa menemui dokter yang merawatku, Dr Goh dalam keadaan segar. Aku memang rutin ke Singapura ke National Neuroscience Institute untuk pemerikasaan otakku. Aku divonis tumor otak setahun yang lalu. Dokter Goh memang tak memberikan vonis apa-apa terhadap penyakitku ini, tetapi cara dia merawatku aku tahu bahwa harapan hidup orang berpenyakit sepertiku ini tidak akan lama. Aku hanya memberitahu adik-adikku, selain itu tak ada yang tahu tentang penyakitku ini.
Karena itu, setiap Rabu seusai kelas Pak Ali, aku selalu bergegas untuk segera ke terminal bis di sekitar Bogor Botanical Square untuk ke Bandara Cengkareng. Di setiap hari itu pula Dinda, selalu mencegatku dan mengajak bicara sepatah dua patah kata. Keadaan sakitku yang memberikan harapan hidup yang tak panjang itulah aku selalu menjaga jarak pada setiap mahasiswi yang mendekati diriku, termasuk Dinda. Tapi sikap tak kenal lelah Dinda itu yang membuat aku berpikir ulang akan keputusanku. Aku membiarkan diriku larut dalam keceriaan Dinda, asal tidak hari Rabu dan Kamis hari untuk otakku yang harus selalu dicek oleh Dr. Goh.
*******
Di Bandara Internasional Changi Singapura sesaat sampai di antrian di immigration counter, aku nyalakan blackberryku. Ada pesan dari Pak Ali yang memberitahuku bahwa kunci kamarku ketinggalan di meja. Pak Ali juga memberitahuku bahwa kunci itu diberikannya ke Dinda.
Sudah tiga bulan aku menjadi asisten Ekologi Manusia, sejak itu pula Dinda selalu hadir dalam hidupku yang penuh kekhawatiran dan teka-teki. Dinda termasuk salah satu mahasiswa dari 50 mahasiswa yang aktif. Beberapa kuis yang aku berikan pada saat praktikum, Dinda termasuk yang mendapat nilai tertinggi. Aku senang, artinya kehadiranku sebagai asisten dosen Pak Ali tidak sia-sia.
Dinda dalam ketidaktahuan tentang tumor otakku membawa lima hari keceriaan dari tujuh hari dalam hidupku. Aku dan Dinda sepertinya tidak perlu mengucapkan rasa cinta satu sama lain. Hubungan kasih kami timbul begitu saja. Juga Dinda tidak pernah menanyakan kenapa setiap hari Rabu dan Kamis aku selalu bergegas pergi dan aku selalu tidak terlihat di kampus Baranangsiang di hari-hari itu.
Muncul dalam pikiranku untuk berterus terang saja kepada Dinda akan penyakitku ini, tapi selalu aku urungkan begitu sudah berada di dekat Dinda, seolah keceriaan Dinda mengusir jauh rencanaku. Seolah kehadiran Dinda meniadakan penyakitku. Hal itu terulang-ulang sehingga aku sendiri melupakan keinginanku untuk menceritakan penyakitku pada Dinda.
*******
Di suatu Kamis siang saat aku berbincang dengan Dr Goh setelah pemeriksaan otakku tiba-tiba blackberryku berdering. "Unknown number, siapa ya?" tanyaku dalam hati tak seperti biasanya ada telepon masuk saat aku di Singapura. Setengah ragu, aku meminta izin kepada Dr. Goh untuk menerima panggilan itu. Dr. Goh mempersilakan sambil berkata bahwa pemeriksaan sudah selesai. Jadi aku bebas menerima telepon. Aku bergegas menuju ruang tunggu depan yang lebih mirip sebuah living room mewah Aku duduk di salah satu sofa yang membelakangi pintu masuk di ruangan itu. "Hello, Mas speaking," aku memberi salam.
"Dinda is here, Mas" "Kukira siapa? Gimana, Din?"
Tak menjawab pertanyaanku, Dinda bertanya seperti biasanya lembut dan tenang. "Mas Wahyu dimana?"
Tertegun aku mendengar pertanyaan Dinda ini, tentu saja aku tidak bisa berterus terang dimana aku berada. Aku menjawab bohong pertanyaan Dinda. "Aku di Kampus Darmaga,"
"Mas, aku tulis puisi buatmu," suara itu terdengar lembut dan penuh semangat dari seberang sana. "Puisi apa, ya Dinda?" tanyaku singkat. "Sudah kukirim via sms. Puisi itu mewakili perasaanku padamu saat ini, Mas," terang Dinda masih dengan suara lembut kali ini kurasakan sedikit bergetar. Dinda mematikan panggilannya memberikan kesempatan untuk melihat puisi yang sudah ia kirim. Aku menghela nafas dan kudengar suara blackberryku bergetar tanda ada pesan masuk. Kulihat dan kubaca pesan itu. Seperti dibilang Dinda. Puisinya buatku ada dilayar blackberryku. Ada 10 baris kalimat singkat dan tegas berbentuk puisi yang membuat speechless dan aku tak tahu bagaimana perasaanku saat itu.
Aku ingin menggenggam tanganmu sekali saja Agar dapat kurasakan cinta yg mengalir dalam urat nadi kita Aku ingin memelukmu sekali saja Agar dapat kurasakan hangat rindu yang bergemuruh dalam dada kita Aku ingin menatapmu sekali saja Agar dapat kupahat wajahmu dalam benak hingga dapat selalu kuingat Aku ingin menyentuh wajahmu sekali saja Agar aku dapat tetap mengenalimu meski kita membisu tak pernah berucap cinta Aku ingin kita berucap bersama Ada cinta tulus di hati untuk menerima apa adanya siapapun kita
*******
Blackberryku bergetar lagi. Aku pun segera menerima panggilan itu. Belum sempat aku bertanya.
"Mas, tunggu aku disitu ya. Aku menuju ke arahmu." "Tak perlu Dinda, besok pagi saja kita bertemu." Aku menolak karena tahu Dinda takkan bisa menemukanku di Kampus Darmaga. Aku di ruang tunggu Dr Goh di Singapura. "Dinda..!!" seruku memanggil. Dinda sudah menutup panggilan teleponnya.
Tak berapa lama kemudian pintu ruang tunggu diketuk pelan. Seorang suster yang ada di ruang tunggu membukakan pintu. Sesaat suster itu menghampiriku "Sir, a lady is looking for you, she wants to visit you. She is from Indonesia. She told me that....," sebelum selesai suster itu menyelesaikan pembicaraannya. Pintu dibuka seseorang gadis berjilbab yang aku sangat kenal dan aku kasihi: Dinda.
"Mas Wahyu.....," seru Dinda sedikit terisak. Aku terkejut dan tertegun memandang Dinda, tak tahu apa yang harus kuucap. Dinda dengan cepat memelukku. Aku pun tak kuasa menolak. Aku pun memeluk Dinda dengan erat.
"Aku tahu Mas, kenapa kamu tak pernah mengungkapkan perasaanmu. Maafkan Dinda. Dinda tahu segalanya tentang penyakitmu. Dinda membuka kamarmu waktu kunci itu dititipkan Pak Ali kepadaku. Aku cinta Mas Wahyu apapun penyakitmu." Dinda berkata lirih dengan terisak.
Aku semakin tak bisa berkata apa-apa, hanya keharuan yang menyeruak, secara reflek aku pun semakin erat mendekap Dinda. Seolah menyatakan hal yang sama. aku berkata setengah berbisik, "Aku cinta padamu juga, Dinda."
-------mw-------
*) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia **) Nama-nama dalam cerita di atas sebagian disamarkan. Jika ditemukan sama adalah kebetulan semata. Cerita di atas diilhami oleh seseorang yang telah mengirim puisi kepada penulis lewat sms. Puisi tersebut ada dalam cerita tersebut di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H