[caption id="attachment_343644" align="aligncenter" width="567" caption="Prabowo Subianto dan partainya"][/caption]
Prabowo Subianto adalah Gerindra vise versa
Gerindra menuju ajal. Gerindra segera ambruk atau bubar. Sinyal akan ambruknya partai ini terlihat jelas pada beberapa rencana signifikan Partai Gerindra yang tak terwujud. Kegagalan menjadikan Prabowo Subianto menjadi Presiden Indonesia yang ke-7 adalah kegagalan yang paling fatal dan total yang pernah dialami oleh Partai Gerindra.
Pabowo Subianto Djojohadikusumo (PS) adalah salah satu tokoh kuat dan pendana berdirinya Partai Gerindra, di samping adiknya Hashim Djojohadikusumo (HD). PS adalah otoriter partai. Ia adalah satu-satunya tokoh yang kuat di partai, ia adalah public figure dan ia punya daya tarik. Karena itu sungguh wajar jika apa yang dilakukan dirinya sebagai pribadi signifikan mempengaruhi hidup-matinya Partai Gerindra. Ibarat bisa diucapkan: PS adalah partai, partai adalah PS. Keberhasilan partai adalah keberhasilan PS vise versa, demikian juga kegagalan PS adalah kegagalan partai vise versa. Bukti yang nyata bahwa PS adalah Gerindra vise versa adalah terpilihnya PS menjadi Ketua Umum dalam KLB Partai Gerindra beberapa waktu yang lalu menggantikan Suhardi yang meninggal. PS tak pernah akan melepaskan kendaraannya kepada orang lain.
Dengan demikian juga wajar jika tujuan didirikannya partai berlambang burung garuda ini adalah menjadikan PS sebagai Presiden. Persiapan matang pun dilakukan sejak partai ini didirikan tahun 2008. Tak hanya milyaran bahkan triliunan uang disediakan oleh HD untuk mewujudkan ambisi besar kakaknya PS: posisi puncak eksekutif negara, presiden. Seluruh kekuatan uang, mesin dan elemen partai pun bergerak demi tercapainya ambisi itu. Strategi pun dirancang secara berlapis perencanaannya. Demikian juga dengan promosinya, iklan dipasang dimana-mana, kunjungan ke berbagai tokoh, pertemuan akbar dan terbuka diselenggarakan secara berkala dari Sabang sampai Merauke, pembentukan media center yang bertujuan membuat public figure image building, media online, segala macam itu dilakukan untuk mensosialisasikan bahwa PS adalah sosok yang layak menjadi presiden. Berhasil. Sosok PS akhirnya dikenal sebagai sosok yang pantas dan satu-satunya menjadi presiden, walaupun ada satu yang tak dilakukan tak pernah dilakukan: menunjukkan prestasi.
Partai Gerindra yang didirikan sejak 6 Pebruari 2008 sampai pilpres 9 Juli 2014 adalah satu-satunya partai politik yang tidak pernah mengadakan pemilihan ketua umum partai melalui konggres. Hal ini tentu saja dipahami sebagai strategi agar PS tetap menjadi penguasa di partai ini dan memuluskan jalannya untuk menjadi calon tunggal sebagai capres pengganti Presiden SBY yang sudah dua kali menjabat.
Upaya yang gigih dengan kekuatan modal dana yang besar ternyata mampu menghantar Partai Gerindra menjadi pemenang ketiga pileg di bulan April 2014. Koalisi pun digalang oleh Gerindra, lobi-lobi pun dilakukan, hasilnya partai-partai besar pun ikut dalam barisan Gerindra. Partai Golkar, PPP, PKS, PBB, PAN akhir bergabung bersama Gerindra dalam koalisi merah putih (KMP). Pesona PS menjadikannya diusung sebagai capres oleh KMP yang dipasangkan bersama Hatta Rajasa (HR) Ketua Umum PAN sebagai cawapres.
Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, ambisi PS yang didukung oleh kekuatan KMP tak mampu mengalahkan koalisi yang lebih kecil. Laju PS-HR menjadi presiden dihadang oleh pasangan Jokowi-Kalla yang diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura.
Itulah sinyal pertama bubarnya Gerindra.
Soliditas Semu Koalisi Merah Putih
Kesamaan kepentingan politik lah yang menyatukan koalisi merah putih saat itu. Penggalangan koalisi merah putih sejak awal dimaksudkan mengusung PS menjadi presiden. Tapi itu sudah berlalu, PS telah gagal menjadi presiden. Ikatan KMP pun merenggang. Sekali lagi politik itu alat untuk meraih kekuasaan. Tak ada lagi ikatan yang kuat yang menyatukan anggota koalisi. Setiap partai anggota KMP masing-masing mempunyai kepentingan untuk meraih kekuasaan. Adalah omong kosong jika ada loyalitas dalam dunia politik. Tak ada kawan atau lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan yang sama.
Sebagai mayoritas, koalisi merah putih berpeluang untuk menjadi oposisi dari pemenang pilihan presiden Jokowi yang didukung yaitu PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura. Tetapi fakta tak dapat dibantah bahwa masing-masing partai di dalam KMP sendiri ada yang berkeinginan untuk berjalan bersama dengan kekuasaan, sebagai contoh adalah PAN. Ketua Umum PAN Hatta Rajasa memberikan sinyal untuk keluar dari KMP sejak KPU mengumumkan presiden terpilih. Sinyal itu berupa seringnya ia tak bersama pasangannya PS dalam berbagai peristiwa yang seharusnya pasangan itu terlihat harus solid.
Tak hanya itu, konflik berkepanjangan internal PPP pun menambah keyakinan publik bahwa PPP juga akan keluar dari KMP. Pendukung utama PS, Surya Dharma Ali (SDA) telah ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK dan dilengserkan oleh Romahurmuzy cs. PPP diduga kuat akan merapat ke kubu PDIP.
Golkar adalah partai yang dalam sejarahnya tidak pernah berpisah dari pusat kekuasaan. Berbagai manuver di dalam intern Golkar menguatkan bahwa ada keinginan partai ini hengkang juga dari KMP. Hanya soal waktu, cepat atau lambat. Setidaknya setelah 2015 setelah Munas Partai Golkar diadakan untuk memilih ketua umumnya yang baru.
PKS walaupun malu-malu, partai yang sudah keluar dari asas Islamnya ini memberikan kesan menolak untuk masuk ke dalam pusat kekuasaan eksekutif, tapi perlu diingat bahwa partai ini dalam sejarahnya selalu berdiri di dua kaki. Kaki pusat kekuasaan salah satunya.
Oleh karena itu, upaya Partai Gerindra menjadikan KMP solid permanen dengan tetap menahan partai dalam KMP adalah upaya yang sia-sia. Pada akhirnya koalisi ini akan bubar, hanya menunggu waktu saja. Tentu saja bubarnya tidak serta merta. Ada proses, ada pernik-pernik, ada intrik, ada konflik yang mengarah pada pembubaran koalisi. Jika pun toh ada yang bertahan, partai itu karena tak ada tempat dalam kekuasaan.
Partai Gerindra akan sendiri jika ia tak mampu memberikan "sesuatu" yang bisa ditawarkan secara politis kepada partai-partai dalam KMP tersebut.
Itu adalah sinyal kedua yang membawa Gerindra menuju kehancuran.
Blunder RUU Pilkada
Sinyal yang ketiga yang mengarah pada situasi bubar adalah konflik internal Gerindra sendiri. Sinyal ini terlihat pada ambisi Gerindra beserta KMP untuk mengembalikan pilkada yang sejak era reformasi dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPRD sebagaimana di era orde baru melalui pembahasan RUU Pilkada. Ambisi mereka ini mendapat perlawanan keras dari kadernya sendiri juga orang-orang yang terbaik yang didukungnya, termasuk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menjabat sebagai Wagub DKI Jakarta, selain kepala daerah lain semisal Ridwan Kamil Walikota Bandung yang didukungnya untuk menang juga menentang rencana Gerindra itu.
Ahok tak tanggung-tanggung melawannya, ia bahkan menarik diri menjadi kader Gerindra. Ahok menentang Gerindra bersama parpol-parpol yang bergabung di Koalisi Merah Putih di DPR untuk mengesahkan RUU Pilkada Perubahan 2014 itu sebagai suatu tindakan yang sangat tidak masuk akal, hanya menyuburkan korupsi, bahkan bertentangan dengan konstitusi. Pengunduran diri Ahok menjadi kader Gerindra menjadikan elit Gerindra bak cacing kepanasan.
Tentangan pun tak hanya dari kader sendiri, parpol lawannya melainkan juga masyarakat luas tak suka dengan rencana Gerindra dan KMP itu. Alasan yang mengemuka adalah pilkada yang dipilih oleh DPRD adalah bertentanan dengan hak azasi manusia (HAM), menggerus hak politik setiap warga negara. Pilkada pilihan DPRD itu bertentangan dengan Pasal 43 UU No. 39/1999 tentang HAM menyebut jelas, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Apalagi Indonesia juga telah mengesahkan UU No. 12/ 2005 Tentang Pengesahan Internasional Covenant On Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Sesuai dengan prinsip HAM yang berlaku secara universal, hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected) wajib dijamin oleh negara. Sebagai konsekuensinya Indonesia harus menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap hak warga negaranya tanpa ada diskriminasi. Hak tersebut adalah pada pokoknya menjamin setiap warga negara untuk secara bebas (freely) turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil-wakilnya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Hak ini juga berkaitan dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul (freedon of expression, assembly and association).
Jelas sekali bahwa keinginan mengesahkan pilkada dipilih oleh DPRD adalah mengkhianati kepercayaan rakyat yang memilihnya. Ibaratnya bahwa rakyat sudah memilih mereka dengan memberikan suaranya pada pemilu sebagai anggota legislatif, tetapi setelah berhasil menduduki jabatan itu malah suara rakyat dikebiri untuk tidak boleh memilih secara langsung pemimpinnya apapun dalihnya. Jelas ini gila dan jelas itu pengkhianatan di depan mata rakyat, Gerindra dan KMP menempatkan posisi diametral dengan konstituennya, rakyat yang mempercayakan suaranya kepada mereka.
Jika Gerindra dan KMP terus melaju dengan keinginan gilanya itu, rakyat yang akan menggilas mereka. Fakta membuktikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan melalui Quick Poll pada 5-7 September 2014, menyebutkan bahwa sebagaian besar masyarakat menolak pemberlakuan Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD, karena upaya itu bertujuan semata untuk kepentingan partai. Demikian pernyataan Peneliti LSI, Adji Alfaraby, saat memaparkan hasil survey di Kantor LSI, Jakarta (9/9/2014).
Survey dilakukan dengan menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia dengan margin of error sebesar +/- 2.9%. Survey ini dilengkapi juga dengan penelitian kualitatif dengan metode analisis media, FGD, dan in depth interview. Hasil survey menunjukkan bahwa 81 persen rakyat lebih memilih pilkada langsung untuk Kepala Daerah.
Rujuk yang Gagal
Sinyal terakhir. Di tengah musim kampanye pilihan presiden beredar kabar tentang rujuknya PS - Titiek Soeharto. Di beberapa kesempatan keduanya muncul di depan publik secara bersama, semisal di acara ulang tahun Titiek, saat debat capres-cawapres, bahkan sempat foto bersama dengan putra tunggal mereka. Tapi, ujungnya kabar ini tak bisa menjadi nyata. Hanya kabar angin dan mimpi.
Kegagalan ini memang urusan pribadi PS seolah tak ada sangkut pautnya dengan Partai Gerindra, tapi perlu diingat bahwa PS dan Gerindra adalah satu. Kegagalan PS akan menjadi kegagalan Gerindra vise versa. PS telah gagal menyatukan dan memimpin keluarga, bagaimana ia akan memimpin bangsa yang besar dimana ada ratusan juta penghuninya, jika memimpin satu orang wanita dan seorang anaknya saja ia tak sanggup? Ingat bahwa "behind the succesful man there is a great woman."
Saran Untuk PS
Sebagai warga negara biasa, saya tentu saja bangga dengan pemimpin-pemimpin bangsa, walaupun saya Jokowi Lover tapi ada rasa kagum dan hormat saya kepada PS. Dalam tulisan saya sebelumnya saya sudah memberikan saran kepada pemimpin-pemimpin bangsa yang saya hormati, termasuk kepada PS. Tapi mungkin saja tulisan saya tak sempat dibaca olehnya, saran pertama kepada PS adalah agar ia turut serta mendukung Jokowi (lihat tulisan Prabowo Akhirnya Dukung Jokowi?), dengan mendukung Jokowi ia akan ditulis sebagai negarawan dalam tinta emas sejarah Indonesia. Tapi, ternyata ia memilih berhadapan dengan Jokowi, akhirnya PS kalah bahkan kekalahannya tak meninggalkan bekas simpati di sebagian masyarakat karena ia menunjukkan arogansi dengan bersikukuh bahwa ia lah yang layak menjadi presiden dengan menggugat KPU, tapi dengan maksud menggugat pilihan rakyat kepada Jokowi dengan dalih ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif.
Kegagalan-kegagalan yang terlewati dalam banyak peristiwa politik adalah sinyal bahwa PS harus mundur dari arena perpolitikan Indonesia. Tak usah melawan takdir. Melawannya adalah menuju kehancuran. Sebaiknya PS melanjutkan hidup tenang di bukit hambalang yang indah dan nyaman. Menjadi warga negara biasa saja sambil bercengkerama dengan rakyat biasa di sekitarnya. Sungguh tenteram dan damai lho Pak..!
Pilihan memang ada di tangan PS sendiri. Wallahu 'alam.
-------mw-------
*) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia.
**) Sumber bacaan
1. Makna Tersembunyi Kelingking Jokowi dan Jempol Prabowo
2. Ngotot Pilkada Tidak Langsung, KMP Melanggar HAM
3. Yang Unik Pada Pribadi Jokowi dan Prabowo
4. PILKADA TAK LANGSUNG: Survei LSI, 81,25% Ingin Pilkada Langsung
5. Publik Ancam Tak Pilih KMP Pada Pemilu 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H