Sinyal yang ketiga yang mengarah pada situasi bubar adalah konflik internal Gerindra sendiri. Sinyal ini terlihat pada ambisi Gerindra beserta KMP untuk mengembalikan pilkada yang sejak era reformasi dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPRD sebagaimana di era orde baru melalui pembahasan RUU Pilkada. Ambisi mereka ini mendapat perlawanan keras dari kadernya sendiri juga orang-orang yang terbaik yang didukungnya, termasuk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menjabat sebagai Wagub DKI Jakarta, selain kepala daerah lain semisal Ridwan Kamil Walikota Bandung yang didukungnya untuk menang juga menentang rencana Gerindra itu.
Ahok tak tanggung-tanggung melawannya, ia bahkan menarik diri menjadi kader Gerindra. Ahok menentang Gerindra bersama parpol-parpol yang bergabung di Koalisi Merah Putih di DPR untuk mengesahkan RUU Pilkada Perubahan 2014 itu sebagai suatu tindakan yang sangat tidak masuk akal, hanya menyuburkan korupsi, bahkan bertentangan dengan konstitusi. Pengunduran diri Ahok menjadi kader Gerindra menjadikan elit Gerindra bak cacing kepanasan.
Tentangan pun tak hanya dari kader sendiri, parpol lawannya melainkan juga masyarakat luas tak suka dengan rencana Gerindra dan KMP itu. Alasan yang mengemuka adalah pilkada yang dipilih oleh DPRD adalah bertentanan dengan hak azasi manusia (HAM), menggerus hak politik setiap warga negara. Pilkada pilihan DPRD itu bertentangan dengan Pasal 43 UU No. 39/1999 tentang HAM menyebut jelas, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Apalagi Indonesia juga telah mengesahkan UU No. 12/ 2005 Tentang Pengesahan Internasional Covenant On Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Sesuai dengan prinsip HAM yang berlaku secara universal, hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected) wajib dijamin oleh negara. Sebagai konsekuensinya Indonesia harus menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap hak warga negaranya tanpa ada diskriminasi. Hak tersebut adalah pada pokoknya menjamin setiap warga negara untuk secara bebas (freely) turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil-wakilnya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Hak ini juga berkaitan dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul (freedon of expression, assembly and association).
Jelas sekali bahwa keinginan mengesahkan pilkada dipilih oleh DPRD adalah mengkhianati kepercayaan rakyat yang memilihnya. Ibaratnya bahwa rakyat sudah memilih mereka dengan memberikan suaranya pada pemilu sebagai anggota legislatif, tetapi setelah berhasil menduduki jabatan itu malah suara rakyat dikebiri untuk tidak boleh memilih secara langsung pemimpinnya apapun dalihnya. Jelas ini gila dan jelas itu pengkhianatan di depan mata rakyat, Gerindra dan KMP menempatkan posisi diametral dengan konstituennya, rakyat yang mempercayakan suaranya kepada mereka.
Jika Gerindra dan KMP terus melaju dengan keinginan gilanya itu, rakyat yang akan menggilas mereka. Fakta membuktikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan melalui Quick Poll pada 5-7 September 2014, menyebutkan bahwa sebagaian besar masyarakat menolak pemberlakuan Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD, karena upaya itu bertujuan semata untuk kepentingan partai. Demikian pernyataan Peneliti LSI, Adji Alfaraby, saat memaparkan hasil survey di Kantor LSI, Jakarta (9/9/2014).
Survey dilakukan dengan menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia dengan margin of error sebesar +/- 2.9%. Survey ini dilengkapi juga dengan penelitian kualitatif dengan metode analisis media, FGD, dan in depth interview. Hasil survey menunjukkan bahwa 81 persen rakyat lebih memilih pilkada langsung untuk Kepala Daerah.
Rujuk yang Gagal
Sinyal terakhir. Di tengah musim kampanye pilihan presiden beredar kabar tentang rujuknya PS - Titiek Soeharto. Di beberapa kesempatan keduanya muncul di depan publik secara bersama, semisal di acara ulang tahun Titiek, saat debat capres-cawapres, bahkan sempat foto bersama dengan putra tunggal mereka. Tapi, ujungnya kabar ini tak bisa menjadi nyata. Hanya kabar angin dan mimpi.